Cp. 22

934 128 43
                                    

Sabtu, 11 November 20xx
___________

Hari yang baru telah tiba. Seolah mendukung perasaan Delynn, pagi hari ini kota Jakarta diguyur hujan deras disertai angin kencang. Hujan yang mengalir sejak malam itu membawa udara dingin, tak membiarkan cahaya mentari menghangatkan pagi seperti biasanya.

Kemarin, Delynn benar-benar tertidur di pangkuan Aralie dengan nyaman. Mami bahkan hadir menyapanya melalui mimpi, seolah mengerti perasaan sang anak. 

"Mami baru aja datang ke mimpi aku, Lie. Mami bilang Mami bahagia punya aku. Mami bahagia, Lie."

Suara lemah disertai isak tangis milik Delynn pastinya terdengar oleh belasan pasang telinga di sana. Sebab sesaat Delynn terbangun dari tidur singkatnya, ia menangis, yang kemudian membawa keheningan.

Delynn menghela napasnya, memperhatikan jendela yang dibasahi oleh rintik hujan. Segalanya masih belum tercerna baik dalam kepalanya, namun entah mengapa semuanya berlalu dengan cepat, seolah tak membiarkannya berpikir lebih dulu.

Usai meregangkan otot-ototnya, Delynn beranjak menuju meja yang sudah tersedia pakaian serba hitam di sana. Hitam, warna yang seringkali ia gunakan dalam sehari-hari pun rasanya berbeda saat ia gunakan pada hari ini. Hitam yang biasa menggambarkan kesan misterius, kini justru menggambarkan suasana berkabung.






Klek






"Del? Oh, udah bangun?"

Delynn menoleh, menatap Aralie mulai memasuki kamarnya. Ah, perempuan itu bahkan sudah rapi dengan pakaian serba hitamnya.

"Di bawah sudah ramai, ya?" balik tanya Delynn yang sontak diangguki Aralie.

"Teman-teman juga udah pada datang." Aralie maju selangkah lebih dekat untuk mengikat rambut panjang Delynn. "Ayah minta aku tanya, kamu beneran mau ikut jadi saksi?"

Delynn mengangguk ringan, tak ingin menganggu kegiatan Aralie di balik punggungnya. "Aku harus hadir."

"Kalo gitu aku ikut," putus Aralie.

"Jangan. Itu mimpi buruk, Lie." Delynn menggeleng tak setuju, tubuhnya mulai berbalik dan meraih pinggang Aralie lebih dekat.

"Kamu cukup tunggu kepulangan aku bersama Papi nanti, di sini. Jangan ikut aku atau pergi ke manapun. Aku pasti pulang, Lie. Tunggu aku pulang."

"Aku— juga udah bicarakan ini sebelumnya. Ayah dan Eyang bersedia menemani aku di sana."

Delynn menatap lembut mata Aralie, berusaha meyakinkan perempuan itu.

"Kamu tunggu di sini aja, ya?" bisik Delynn.

_______

"Untuk pihak keluarga bisa menyaksikan dari dalam ruangan kecil di sana. Sesuai rencana sebelumnya, pidana mati akan dilakukan pada pukul 10.00 WIB."

Salah seorang kepala sipir menunjuk pada ruangan yang pintunya hanya bisa diakses melalui luar, dan ada sebuah kaca besar yang mengarah pada area lapangan tempat pelaksanaan pidana mati dilakukan.

"Kamu siap?"

"Bahkan kalau Delynn belum siap, semuanya tetap terjadi, Eyang."

Pria paruh baya itu tersenyum kecil, tangannya senantiasa merangkul bahu Delynn. Ia tak bisa membayangkan Aralie, cucu kesayangannya, berada di posisi Delynn. Anak sekecil itu harus merelakan banyak hal, terutama hal yang memiliki peran besar dalam hidupnya.

"Ayo."

Dengan langkah berat, Delynn mulai memasuki ruangan kecil di sana. Ternyata, kaca yang menghadap langsung pada lapangan merupakan kaca buram, membuatnya tak bisa melihat dengan jelas.

Take Me - AralynnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang