Kedatangan

62 4 0
                                    

Setelah perjalanan panjang yang terasa melelahkan, akhirnya mobil mereka mulai memasuki gerbang Desa Kumayan. Jalanan berbatu dan pepohonan rimbun yang menyambut mereka memberi kesan mistis, seolah mereka telah memasuki dunia yang berbeda. Udara terasa lebih dingin, dan suara alam menjadi semakin jelas di telinga mereka.

Mobil berhenti di depan sebuah halaman luas, di mana para warga desa sudah berkumpul. Di antara mereka, berdiri sosok-sosok yang tampak lebih menonjol; Datuk Lebai Karat, Datuk Abu, Karina, Limbubu, Rajo Langit, dan Ratna serta warga desa lainnya. Wajah mereka tampak hangat, meskipun ada sedikit keheningan misterius yang menyelimuti suasana.

Alam yang duduk di depan segera mematikan mesin mobil, dan satu per satu mereka keluar dari kendaraan. Alina yang manja langsung menarik lengan Sakti sambil memandangi desa dengan mata terbelalak. "Sak, lihat tuh, ayah pasti kesal deh samaku," bisiknya pelan.

Sakti mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, tapi pak cik Alim rindu samamu, lin," jawabnya, mencoba menenangkan Alina.

Di depan mereka, Datuk Lebai Karat berdiri dengan syal khusus di lehernya, sosoknya kokoh meski sudah terlihat berusia lanjut. Dengan senyum bijak, ia melangkah maju untuk menyambut. "Selamat datang, anak-anak. Ini adalah tanah Kumayan, tempat kalian akan melakukan tugas mulia kalian," ucapnya dengan suara dalam yang berwibawa.

Datuk Abu, yang berdiri di sampingnya, ikut tersenyum ramah, meskipun wajahnya tampak lebih serius. "Kalian akan tinggal di sini selama beberapa waktu. Kami berharap kalian bisa menjaga keseimbangan di desa ini."

Ratih, yang berdiri di samping suaminya, Datuk Lebai Karat , tampak mengusap air matanya yang mudah jatuh. Dia selalu emosional, apalagi melihat para pemuda-pemudi yang baru datang ini. "Ya ampun, anak-anak ini pasti kecapekan! Ayo, cepat bawa mereka masuk ke dalam rumah! Jangan sampai kelaparan di sini!" serunya, sambil menggerakkan tangannya ke arah para warga agar segera membantu.

Rajo Langit dan istrinya, Ratna, tampak lebih tenang. Rajo menatap mereka dengan tatapan tajam penuh perhatian, sementara Ratna dengan senyum lembutnya ikut menyambut. Ratna, yang terkenal sebagai ibu yang penuh kasih sayang, segera mendekat ke arah Sakti dan teman-temannya, terutama Alina yang tampak masih ketakutan karena masih merajuk dengan Limbubu.

"Kalian pasti lelah setelah perjalanan panjang ini. Jangan khawatir, kami sudah menyiapkan tempat untuk kalian beristirahat," kata Ratna dengan suara lembutnya. "Dan jika kalian butuh apa pun, kalian bisa datang ke rumah kami."

Sakti, yang melihat ibunya menyambut dengan hangat, merasa lega. "Terima kasih, Bu. Semua kelihatannya sehat sajo kok."

Rajo Langit menyela dengan nada serius. "Ingatlah, dan dengar kata pak cik kalian ini, desa ini punya aturan dan sejarah. Pastikan kita semua menghormati semua yang ada di sini. Kita semua menyambut kalian, tapi kalian juga harus siap menghadapi apapun yang mungkin terjadi di sini."

Key yang masih merasa bingung setelah insiden di perjalanan menatap ke sekeliling, berusaha memahami desa ini. Ada sesuatu yang berbeda di udara. Sementara itu, Bayu hanya diam, meski matanya tetap waspada. Mereka semua menyadari, ini bukan sekadar desa biasa.

Warga desa mulai berdatangan, membawa senyuman dan berbagai makanan untuk disuguhkan kepada para tamu. Sambutan hangat dari mereka membuat suasana sedikit mencair, meskipun di balik senyuman, ada banyak mata yang memandang penuh kegembiraan.

Di tengah hiruk pikuk itu, Key mendekat ke Sakti dan berbisik, "Tempat ini... terasa aneh, beda dengan dulu kita tinggal di sini sebelumnya, sak. Gue nggak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang kita belum lihat."

Sakti menatap Key sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kita lihat aja nanti, Key. Tapi yang jelas, ini mungkin perasaan kau saja yang lelah."

Setelah sambutan hangat dari para tetua desa, waktu berlalu dengan cepat saat mereka mulai dibagi-bagi untuk tinggal di rumah warga. Setiap orang ditugaskan untuk tinggal di tempat yang sudah disiapkan, agar mereka bisa lebih dekat dengan komunitas selama masa tinggal mereka di Kumayan.

Datuk Lebai Karat, dengan wibawa yang tenang, membimbing mereka satu per satu.

“Alina, kamu akan tinggal dengan orang tuamu, Limbubu dan Karina,” ucap Datuk Lebai Karat sambil menatap Alina dengan senyum penuh makna. Alina menatap ke arah Limbubu, ayahnya yang masih tampak serius namun senyumnya mulai tersirat di wajahnya yang tegas.

Karina langsung memeluk Alina. “Akhirnya kamu pulang juga, nak! Ibu sudah rindu banget sama kamu, lin,” katanya dengan nada penuh keibuan. Alina hanya tersenyum kecil, tapi jelas terlihat ia lega bisa kembali ke rumahnya sendiri, meskipun masih sedikit canggung karena hubungannya dengan Limbubu yang dingin.

Datuk kemudian beralih ke Sakti dan Bayu. "Sakti, Bayu, kalian akan tinggal di rumah Rajo Langit dan Ratna. Kalian pasti merasa nyaman di sana," kata Datuk dengan suara dalam. Sakti menatap ayahnya, Rajo Langit, yang mengangguk tegas.

“Baik, Datuk,” jawab Sakti, sementara Bayu hanya tersenyum sopan ke arah orang tua Sakti.

Ratna melangkah maju dan meraih tangan mereka berdua. "Jangan khawatir, anak-anakku. Kalian akan dirawat dengan baik di rumah kami," katanya dengan lembut, membuat Bayu merasa sedikit tenang.

Kemudian, Datuk memanggil Key dan Risa. "Key, Risa, kalian akan tinggal di rumah Pak Cik Humbalang. Rumah itu kosong karena Humbalang masih berada di kota, tapi jangan khawatir, rumah itu sudah dipersiapkan dengan baik," jelasnya sambil menatap mereka dengan tatapan meyakinkan.

Risa mengangguk. "Baik, Datuk. Kami akan jaga rumah itu baik-baik," jawabnya, sedikit ragu tapi tetap percaya diri.

Key, yang lebih pendiam, hanya mengangguk setuju. Key dan Risa pun diantar oleh warga ke rumah tersebut, yang meskipun kosong, terlihat hangat dan terawat.

Terakhir, Datuk menatap Andi dengan penuh perhatian. "Andi, kamu akan tinggal di rumah saya dan Ratih," kata Datuk Lebai Karat dengan nada lebih hangat, berbeda dari sebelumnya. "Kami akan memastikan kamu mendapatkan tempat terbaik untuk beristirahat."

Andi, yang masih sedikit terpukul oleh kejadian di perjalanan, mengangguk pelan. "Terima kasih, Datuk," ucapnya singkat, sambil mengikuti Datuk dan Ratih ke rumah mereka.

Ratih, yang selalu emosional, dengan cepat menyentuh bahu Andi. "Kamu harus banyak istirahat, nak. Kami sudah siapkan kamar terbaik buat kamu, dulu itu kamarnya Gumara, ayah dari Key" katanya penuh perhatian.

Malam itu, mereka semua tiba di rumah masing-masing, merasa lelah tapi sedikit lega karena sudah sampai di tempat tujuan. Namun, rasa cemas masih menyelimuti hati mereka. Setiap langkah di desa Kumayan ini membawa nuansa misterius yang tak terjelaskan, seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu mereka.

7 Manusia Harimau New Generation : Kembali (Fan Fiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang