Key semakin penasaran, pandangannya tidak lepas dari wajah Andi. Dia menggeser duduknya mendekat, ingin mendapatkan penjelasan yang lebih jelas tentang sosok ayah Andi yang terlihat begitu misterius.
"Jadi, Andi," tanya Key pelan tapi tegas, "sebenernya gimana sih sosok ayah kamu? Kenapa kamu sampai takut banget sama dia? Kamu bilang dia kayak monster kalau marah—itu maksudnya gimana?"
Andi menelan ludah, wajahnya terlihat tegang sejenak. Dia mengingat kembali masa kecilnya yang penuh dengan ketakutan, sebuah trauma yang selama ini ia pendam dalam-dalam. "Ayah saya... dia bisa berubah, Key. Bukan cuma marah kayak orang normal. Dia benar-benar berubah, kayak...sesuatu lain."
Key mengerutkan dahi, tidak percaya sepenuhnya dengan apa yang didengarnya. "Berubah? Kamu maksud berubah gimana?"
Andi terdiam sejenak, menatap lantai seperti mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan ingatannya. "Saya nggak tau jelasnya gimana. Saya waktu itu masih kecil. Tapi ada satu malam, ayah marah banget—saya nggak ingat kenapa. Saya cuma ingat dia tiba-tiba berubah, badannya jadi hitam legam, kayak bayangan yang hidup. Matanya merah, Key. Saya ingat itu banget, matanya merah terang, dan suaranya... bukan suara manusia lagi."
Sakti menahan napas, merasa bulu kuduknya meremang mendengar cerita Andi. "Kau serius?."
Andi mengangguk perlahan. "Iya, dan yang bikin lebih aneh, saya ingat itu cuma sekali, tapi saya nggak pernah tanya lagi soal itu. Setiap kali saya coba ingat-ingat kejadian itu, semuanya jadi samar, kayak otak sendiri berusaha ngelupainnya. Tapi saya yakin satu hal—ayah bukan manusia biasa. Saya nggak tau dia apa, tapi kayak... dia mirip dengan yang kalian semua bilang soal inyik Kumayan."
Key membelalak, menyadari keseriusan dari pengakuan Andi. "Jadi ayah kamu juga bisa berubah jadi sesuatu kayak inyik? Terus kenapa lo nggak pernah coba cari tahu lebih lanjut?"
Andi menghela napas panjang, berusaha menahan getaran suaranya. "Saya nggak pernah berani, Key. Saya tahu dia bisa baik banget, selembut salju, kayak nggak ada apa-apa. Tapi kalau dia udah marah... dia berubah jadi monster yang saya nggak kenal. Sejak itu, saya selalu nurut. Saya nggak pernah berani ngebantah, apalagi ngungkit-ngungkit soal ibu."
Key mengangguk pelan, mencoba memahami. Dia tahu sekarang mengapa Andi begitu takut dan penuh keraguan terhadap keluarganya sendiri. Tapi rasa penasaran Key tidak bisa dipadamkan begitu saja. "Andi... gue rasa kamu harus cari tahu soal ibu Harum dan kenapa ayah kamu bisa berubah kayak gitu. Ada yang nggak beres di sini, dan kamu punya hak buat tahu."
Andi terdiam lagi, kebingungan antara ketakutan lamanya dan rasa penasaran yang baru muncul berkat dorongan Key. Dia tahu bahwa jawabannya mungkin akan mengubah segalanya, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang selalu menahannya untuk mencari tahu lebih dalam.
Andi menunduk dalam-dalam, menghindari tatapan Key dan Sakti yang penuh harap. Tangannya gemetar sedikit saat ia meremas ujung kausnya, seolah mencoba menahan perasaan yang mulai membuncah di dadanya. Key menatapnya dengan alis berkerut, sementara Sakti menunggu dengan diam, tak sabar ingin tahu apa yang akan Andi katakan.
"Andi, kamu nggak bisa gini terus," kata Key pelan namun tegas. "Kamu nggak bisa cuma diam dan nerima semua ini."
Sakti mengangguk setuju, "Yo lah betul, Ndik. Kau Ndak bisa diam cam ini terus. Urang ndak seharusnyo terus diam."
Andi menggelengkan kepalanya, menghindari tatapan mereka berdua. "Nggak, saya nggak bisa," gumamnya lemah. "Nggak bisa, Key. Saya nggak berani tanya apa-apa ke ayah. Kalian nggak tau gimana seremnya dia kalau udah kayak gitu. Saya... Saya lebih baik diem."
Key mengerutkan alis, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Di, kamu beneran nggak mau tahu soal ibu Harum, Andi? Kamu lebih milih diam dan terus hidup dalam bayang-bayang ayah mu, kayak pengecut?"
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Manusia Harimau New Generation : Kembali (Fan Fiction)
FanfictionSetelah mengalahkan Ratu Hang Ci Da dan pasukan silumannya, Key, Putra Alam, Alina, Sakti, dan Risa kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Memasuki semester 6, mereka memutuskan untuk menjalani KKN mandiri di Desa Kumayan, yang terkenal dengan...