Tanda Kedua

43 3 0
                                    

Datuk Lebai Karat dan Limbubu melangkah cepat menuju rumah Humbalang, suasana malam yang kelam semakin mendekatkan mereka pada tujuan. Ketegangan terasa di udara, dengan setiap langkah membawa mereka lebih dekat kepada anak-anak yang menderita. Limbubu, yang berjalan di samping Datuk, merasa ketidakpastian semakin menghimpit dada.

“Datuk, apakah kita akan mampu mengatasi ini?” tanya Limbubu dengan nada penuh kecemasan. “Kekuatan gelap itu… Apa sebenarnya yang menginginkan Key dan Andi?”

Datuk Lebai Karat terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. “Aku tidak yakin, Alim. Tapi kita tidak punya waktu untuk ragu. Kita harus segera ke Humbalang dan menolong mereka. Setiap detik sangat berarti.”

Tiba-tiba, Datuk Lebai Karat merasa sesak di dadanya, seperti ada sesuatu yang ingin menariknya keluar dari dalam tubuhnya. Sakit itu terasa seperti tarikan yang kuat, dan dia terhuyung sejenak. Limbubu yang berada di sampingnya langsung menyentuh bahunya dengan cemas. “Datuk, apa yang terjadi?”

“Aku tidak tahu,” jawab Datuk Lebai Karat, berusaha menenangkan diri. “Rasa sakit ini… seolah-olah aku merasakan apa yang mereka rasakan. Sepertinya ada sesuatu yang menghubungkan kita.”

Limbubu menatap Datuk Lebai Karat dengan kekhawatiran yang mendalam. “Apa mungkin ada ikatan antara kalian? Atau mungkin kekuatan jahat itu berusaha mempengaruhi kita juga?”

Datuk Lebai Karat menggigit bibirnya, berusaha mengabaikan rasa sakit yang semakin dalam. “Aku rasa kita harus lebih berhati-hati. Jika mereka terhubung dengan kekuatan gelap, kita mungkin tidak aman di sini.”

Mereka berlanjut berjalan, Datuk Lebai Karat berusaha menyalurkan energi positif ke dalam dirinya untuk melawan tarikan menyakitkan itu. Namun, rasa sakit terus mengganggu, seolah-olah mengingatkannya bahwa waktu tidak berpihak kepada mereka. Setiap langkah terasa lebih berat, dan dia bisa merasakan energinya mulai terkuras.

“Datuk, kita perlu melakukan sesuatu,” ucap Limbubu, tidak ingin melihat sahabatnya semakin menderita. “Mungkin kita bisa melakukan ritual kecil untuk memperkuat diri kita sebelum sampai di Humbalang?”

“Baiklah,” kata Datuk Lebai Karat sambil berusaha menahan sakit di dadanya. “Kita bisa menggunakan mantra perlindungan yang pernah kita ajarkan. Mari kita berhenti sejenak.”

Mereka berdua menemukan tempat yang sedikit lebih tenang, dan Datuk Lebai Karat mengajarkan mantra perlindungan yang akan membantu menetralkan energi negatif. Limbubu mengikuti setiap gerakan dan suara yang diucapkan Datuk dengan seksama. Saat mereka menyelesaikan mantra, Datuk Lebai Karat merasakan sedikit kelegaan, meskipun sakit di dadanya masih ada.

“Ini hanya sementara,” ucap Datuk Lebai Karat sambil menarik napas dalam-dalam. “Kita perlu segera menuju Humbalang. Semoga Karina dan anak-anak masih aman di sana.”

Dengan tekad yang semakin kuat, mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah Humbalang. Meskipun rasa sakit di dada Datuk Lebai Karat masih ada, dia berusaha untuk tetap fokus. Mereka menyusuri jalanan setapak yang dikenal, menjelajahi malam yang semakin gelap.

Di sisi lain desa, Rajo Langit dan Datuk Abu juga menuju rumah Ki Tunggal. “Datuk, aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam diriku,” ucap Rajo Langit. “Sepertinya ada sesuatu yang mengintai di dalam kegelapan.”

“Aku merasakannya juga,” jawab Datuk Abu dengan nada serius. “Kita harus tetap waspada. Kita tidak tahu apa yang mungkin mengintai kita di malam ini.”

Setelah beberapa saat, mereka akhirnya tiba di rumah Ki Tunggal. Pintu terbuka, dan mereka disambut oleh sosok yang anggun dan misterius. Ki Tunggal, dengan matanya yang tajam dan penuh kebijaksanaan, memandang mereka dengan cermat.

“Apa yang membawa kalian ke sini di malam yang gelap ini?” tanyanya, suaranya lembut namun mengandung wibawa.

“Kami membutuhkan bantuanmu, Ki Tunggal,” jawab Datuk Abu. “Karina telah menghubungi Datuk Lebai Karat mengenai Key dan Andi yang sakit parah. Kami khawatir mereka terpengaruh oleh kekuatan gelap.”

Ki Tunggal terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Aku sudah mendengar kabar itu. Kekuatan gelap memang semakin mendekat. Ayo masuk, kita perlu berbicara lebih jauh.”

Saat mereka melangkah masuk, Rajo Langit merasakan sekelebat bayangan di sudut matanya. Sebuah peringatan dari dunia yang tak terlihat. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, merasakan ada sesuatu yang jahat mengintai mereka.

“Kita harus cepat, sebelum terlambat,” bisik Rajo Langit kepada Datuk Abu.

Di luar, malam semakin pekat, dan ketegangan meningkat. Kekuatan gelap yang mengintai mulai menampakkan diri, sementara harapan akan keselamatan Key dan Andi semakin menyusut. Datuk Lebai Karat, Limbubu, Rajo Langit, dan Datuk Abu, bersatu dalam usaha terakhir untuk menyelamatkan masa depan Kumayan.

Gumara yang duduk di kursi belakang mobil bersama Humbalang merasa suasana di dalam mobil semakin mencekam. Lampu jalan yang berkelip-kelip dan bayangan pepohonan yang melintas cepat di jendela tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari rasa nyeri yang tiba-tiba menggerogoti dadanya. Seperti ada tangan tak terlihat yang menarik energinya keluar, membuatnya terengah-engah dan mengerang pelan.

“Humbalang, ada yang tidak beres,” Gumara mengerang sambil menekankan tangan ke dadanya, mencoba meredakan rasa sakit yang semakin menyengat. “Rasanya… seolah ada sesuatu yang menarikku.”

Humbalang, yang merasakan gelombang kecemasan, menoleh cepat. “Apa yang kau rasakan, Gumara?” tanyanya dengan nada serius. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”

“Seperti ada ikatan yang kuat,” jawab Gumara, suaranya tercekat. “Sesuatu yang jahat… aku bisa merasakannya. Ini berhubungan dengan Kumayan, mungkin.”

“Tidak! Kita harus segera menuju Kumayan,” seru Humbalang, menekan gas mobil lebih dalam. “Mereka mungkin membutuhkan bantuan kita.”

Gumara menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit yang semakin dalam. Dia tahu bahwa apa yang dia rasakan bukan sekadar keluhan fisik; ini adalah panggilan dari dunia lain, sebuah peringatan bahwa kegelapan semakin dekat. Dalam pikirannya, terlintas gambaran wajah Key yang rentan, seolah-olah putrinya sedang terjebak dalam kegelapan yang sama.

“Bisa jadi kekuatan gelap itu mencoba mengganggu kita,” Gumara berusaha menyadarkan dirinya. “Kita harus kuat, Humbalang. Kita harus berusaha menyelamatkan mereka.”

Di tengah perjalanan, rasa sakit itu semakin menusuk, membuatnya merasa seolah-olah separuh dari dirinya ditarik keluar. Dia bisa merasakan aliran energi positif dalam tubuhnya berkurang sekitar 20%, membuatnya semakin lemah. Gumara menutup matanya sejenak, berusaha menyalurkan energi positifnya melalui nafas yang dalam.

“Gumara, kita hampir sampai,” seru Humbalang, melihat tanda-tanda desa Kumayan di kejauhan. “Bersiaplah. Begitu kita tiba, kita perlu mencari cara untuk melindungi mereka.”

“Ya, Humbalang,” Gumara menjawab sambil membuka matanya. “Aku akan berjuang. Kita tidak bisa membiarkan kekuatan gelap ini menang.”

Saat mobil memasuki desa Kumayan, suasana malam semakin terasa tebal dan mengerikan. Tanda-tanda ketidakberdayaan dan kesedihan menyelimuti desa itu, seolah-olah desa itu sendiri merasakan kehadiran kekuatan gelap yang mengintai.

Humbalang menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Humbalang, dan mereka melangkah keluar dengan hati-hati. Gumara merasakan satu tarikan lagi di dalam dirinya, seolah sesuatu sedang memanggilnya untuk mendekat ke arah rumah tersebut. Dengan gemetar, dia berusaha mengabaikan rasa sakit itu dan mengikuti Humbalang menuju pintu.

“Semoga kita tidak terlambat,” Gumara berbisik, melangkah dengan langkah mantap meskipun tubuhnya terasa lelah. Ketegangan dan ketidakpastian menyelimuti mereka saat mereka mengetuk pintu, bersiap untuk menghadapi apapun yang menanti di dalam.

Di dalam, harapan untuk menyelamatkan Key dan Andi menggantung tipis, sementara kegelapan semakin mendekat, siap menerkam siapa saja yang berani melawan.

7 Manusia Harimau New Generation : Kembali (Fan Fiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang