Ratu Hang Ci Da memandang penuh kebencian ke arah bayangan harimau putih yang berdiri di gerbang Kumayan. Ia tahu bahwa itu bukan sekadar harimau biasa—itu adalah wujud dari Ki Tunggal, yang sekali lagi menghancurkan rencananya.
“Ki Tunggal,” desisnya dengan suara marah, “kau lagi. Selalu kau yang menghalangi jalanku. Dari dulu, dari zaman sebelum aku menguasai kekuatan ini. Mengapa kau terus mencampuri urusanku?”
Ratu Hang Ci Da menggertakkan giginya, memaki dalam hati. Bagaimana mungkin lelaki tua itu, yang sudah seharusnya lenyap dari dunia ini, masih bertahan dan tetap kuat?
Sementara di sekelilingnya, pasukannya yang terdiri dari dukun-dukun dan makhluk-makhluk hitam dari dunia gaib menunduk, merasakan aura kemarahan sang ratu yang semakin membara. Ajiram, dukun hitam kuat dari Jakarta yang juga memiliki darah inyik dari Kerinci, berdiri paling depan. Ia tahu bahwa posisinya terancam jika dia tidak segera bertindak.
“Ratu,” Ajiram memulai, suaranya tenang meskipun dia bisa merasakan amarah yang tak tertahankan di dalam diri Ratu Hang Ci Da. “Ki Tunggal adalah makhluk tua, lebih tua dari kita semua. Kekuatan dia berasal dari akar spiritual yang sangat dalam. Tapi, kita bisa menghancurkannya, asalkan kita punya rencana yang tepat.”
Ratu Hang Ci Da berbalik dengan cepat, tatapannya menembus Ajiram dengan tajam. “Rencana yang tepat? Kau bicara tentang rencana tepat setelah kau dan pasukanmu membiarkan dua anak itu lolos di bawah hidung kita! Ki Tunggal selalu berada di depanku, menghadangku, bahkan di saat aku hampir mencapai kemenangan!”
“Ratu, maafkan saya,” Ajiram berujar, mencoba menenangkan situasi. “Kami tidak menduga bahwa Ki Tunggal akan cepat mengetahui rencana kita. Kekuatan seperti itu jarang dia gunakan, dan ini menunjukkan bahwa dia merasa terdesak.”
Ratu Hang Ci Da mendengus marah. “Dia tidak terdesak, dia tahu persis kapan harus muncul! Dari dulu, Ki Tunggal selalu punya caranya sendiri untuk menipu dan menyesatkan. Tapi kali ini, aku tidak akan kalah. Tidak lagi!” Ia berhenti, suaranya dipenuhi tekad.
Ajiram menundukkan kepala, meskipun dalam hatinya dia tahu bahwa situasinya semakin rumit. “Jika saya diperkenankan, Ratu, ada ritual dari tanah leluhur saya yang bisa mematahkan ikatan spiritual seseorang dengan tanah ini. Ritual itu akan memutus hubungan Ki Tunggal dengan Kumayan, dan dengan begitu, kita bisa mengalahkannya.”
Ratu Hang Ci Da terdiam sejenak, mempertimbangkan apa yang dikatakan Ajiram. “Ritual macam apa itu?” tanyanya, suaranya kini lebih tenang namun tetap penuh ancaman.
“Ritual hitam kuno dari bangsa kami,” jawab Ajiram. “Ilmu ini sudah jarang digunakan karena membutuhkan bahan-bahan khusus dan energi yang sangat besar. Tapi, jika kita bisa melakukannya, Ki Tunggal akan kehilangan kekuatannya. Kita bisa melumpuhkannya.”
Ratu Hang Ci Da mendengus. “Aku tidak ingin mendengar rencana lain yang akan gagal, Ajiram. Kau lebih baik benar kali ini.” Ia menatap Ajiram dengan tajam. “Kau akan melakukan ritual itu. Bawa apa pun yang kau perlukan dari sana. Tapi ingat, jika kau gagal lagi…”
Ajiram menundukkan kepalanya, sadar akan ancaman yang tersirat dalam kata-kata itu. “Saya tidak akan gagal, Ratu.”
Sambil menatap kembali ke arah gerbang Kumayan, Ratu Hang Ci Da mengepalkan tangannya. “Ki Tunggal… kali ini kau tidak akan bisa menyelamatkan mereka lagi. Harimau putih atau tidak, aku akan menghancurkan mu dan merebut Kumayan.”
Di sisi lain, di tengah malam yang disinari oleh rembulan samar, Ki Tunggal dengan wujud harimau putih terus menuntun Key dan Andi mendekati gerbang Kumayan. Harimau itu berjalan anggun dan tegas, sementara Key dan Andi mengikuti di belakangnya. Detak jantung Key berdetak lebih cepat, tapi ada perasaan nyaman yang muncul setiap kali ia menatap sosok harimau putih itu. Di dalam hati kecilnya, Key tahu bahwa sosok ini ada di pihak mereka.
Di depan gerbang Kumayan, kerumunan orang telah menanti dengan perasaan cemas. Gumara, Limbubu, Karina, Humbalang, Datuk Lebai Karat, Rajo Langit, dan Datuk Abu berdiri dengan wajah tegang. Mereka sudah tahu bahwa kedua anak itu keluar dari gerbang tanpa sepengetahuan mereka, dan sekarang, mereka kembali—tapi tidak sendiri.
Key adalah yang pertama berlari, matanya dipenuhi dengan air mata lega. Begitu ia melihat sosok ayahnya, Gumara, berdiri di depan gerbang, ia segera memeluknya erat-erat. “Ayah!” serunya, suaranya pecah karena kelegaan dan rasa aman yang selama ini ia rindukan.
Gumara membalas pelukan itu dengan lembut, merasakan ketegangan yang selama ini menggantung di antara mereka. "Kamu aman, Key. Ayah di sini. Kamu aman sekarang." Suaranya penuh dengan kehangatan, meski di matanya masih ada rasa cemas dan kebingungan tentang apa yang terjadi di luar gerbang.
Namun, Andi berhenti di depan gerbang, tidak seperti Key yang segera masuk. Ia berdiri diam, seolah ada sesuatu yang menghalanginya untuk melangkah lebih jauh. Matanya tertuju ke tanah, sementara di belakangnya, Ki Tunggal mulai berubah kembali ke wujud manusianya—seorang lelaki tua dengan sorot mata penuh kebijaksanaan dan kekuatan yang tidak bisa diremehkan.
Limbubu, yang memperhatikan Andi dari jauh, berjalan mendekat. "Andi, kenapa kamu tidak masuk?" tanyanya lembut, namun ada kekhawatiran di suaranya.
Andi menggeleng pelan, seolah sedang bertarung dengan perasaannya sendiri. “Aku… aku ragu. Rasanya seperti aku bukan bagian dari sini,” jawab Andi, suaranya pelan namun terdengar jelas di antara keheningan malam.
Semua mata tertuju pada Andi. Datuk Abu, yang mendengar kata-kata itu, menatapnya dengan penuh perhatian. Di dalam hatinya, ia mulai merasakan kegelisahan yang semakin kuat, karena ia sadar ada rahasia besar yang belum terungkap sepenuhnya.
Ki Tunggal, yang kini kembali dalam wujud manusia, menatap Andi dengan sorot mata penuh kebijaksanaan. "Anak muda, terkadang perjalanan hidup membawamu ke tempat yang tidak pernah kau sangka. Tapi ke mana pun langkahmu, kebenaran akan selalu menemukan jalannya. Jangan takut untuk masuk, karena ini juga bagian dari takdirmu."
Namun, Andi tetap tak bergerak. Ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa melangkah lebih jauh. Ia merasa, meskipun ia telah mengikuti harimau itu, bahwa tempat ini bukanlah tempatnya untuk berada sepenuhnya.
Gumara, yang masih memeluk Key, menatap Andi dengan penuh perhatian. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa takut atau kebingungan di balik mata Andi. Ada misteri yang lebih besar, sesuatu yang belum mereka pahami sepenuhnya.
Di sisi lain, Datuk Lebai Karat dan Rajo Langit saling bertukar pandang. Mereka juga merasakan adanya aura berbeda di sekitar Andi, seolah-olah anak itu memang membawa sesuatu yang belum terungkap.
Ki Tunggal menghela napas panjang, kemudian melangkah mendekati Andi. “Tidak apa-apa jika kau merasa belum siap. Tapi ingat, tidak peduli apa yang kau hadapi, keberanian akan selalu ada di dalam hatimu. Kau hanya perlu menemukannya.”
Andi menatap Ki Tunggal dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban dari dalam dirinya sendiri. Meski ia masih ragu, kata-kata Ki Tunggal terasa menghangatkan dan menenangkan.
Di belakang mereka, suasana di depan gerbang Kumayan tetap tegang. Semua orang, meskipun merasa lega karena Key telah kembali, tetap khawatir dengan apa yang mungkin akan terjadi selanjutnya, terutama dengan Andi yang masih berdiri di luar gerbang.
Apa pun yang terjadi, malam ini jelas menjadi titik balik bagi semua yang terlibat—baik bagi Key, Andi, maupun desa Kumayan yang penuh misteri.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Manusia Harimau New Generation : Kembali (Fan Fiction)
FanficSetelah mengalahkan Ratu Hang Ci Da dan pasukan silumannya, Key, Putra Alam, Alina, Sakti, dan Risa kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Memasuki semester 6, mereka memutuskan untuk menjalani KKN mandiri di Desa Kumayan, yang terkenal dengan...