Di sisi lain, malam terasa sepi di rumah Bisma. Setelah pulang dari rumah temannya, ia membuka pintu depan dan menyadari sesuatu yang ganjil. Rumah terasa kosong. Biasanya, Harum menyambutnya dengan senyum, atau setidaknya terdengar suara dari dapur atau ruang tengah. Namun kali ini, tidak ada satu pun tanda keberadaan Harum.
Bisma mulai memanggil, “Harum? Harum, kamu di mana?”
Hanya keheningan yang menjawab. Ia berjalan cepat ke kamar, membuka pintu dengan sedikit lebih kasar dari biasanya, dan menyadari lemari terbuka, beberapa pakaian tidak ada. Ransel Harum juga tidak ada di tempatnya. Detik itu, kemarahannya mulai mendidih. Ia tahu Harum telah pergi. Tapi ke mana?
Pikirannya teringat pada percakapan terakhir mereka, tentang mimpi Harum, tentang Kumayan, dan rasa penasaran Harum yang semakin tak terkendali. Bisma menghentakkan kakinya, merasa muak karena Harum tak mematuhi perintahnya. “Kumayan…” gumamnya pelan, tapi suaranya penuh amarah yang tertahan.
Ia meraih ponselnya dan langsung menelpon salah satu anak buahnya. “Cari Harum sekarang juga. Dia pergi menuju Kumayan. Aku mau tahu semua langkahnya—semua pergerakannya! Gunakan semua orang yang kita miliki untuk melacaknya!” Suaranya meninggi, menunjukkan betapa serius dan marahnya ia saat itu.
Setelah memutuskan panggilan, Bisma menghela napas, namun kemarahannya tak berkurang. Ia tahu Harum tidak seharusnya pergi ke Kumayan. Di sana terlalu banyak rahasia, terlalu banyak bahaya yang bisa mengungkap siapa dia sebenarnya—atau lebih buruk lagi, rahasia tentang Pitaloka.
Mata Bisma menyala dengan kegelisahan, lalu tanpa ragu ia menelpon seseorang yang telah lama menjadi bagian dari rencananya, Ajiram. Bisma tahu hanya Ajiram yang dapat membantunya mengatasi situasi ini dengan cara yang tak terduga.
Ketika panggilan tersambung, suara berat dan tenang Ajiram terdengar di seberang.
"Bisma," suara itu dingin, tak terpengaruh. "Ada apa kau menelpon di waktu seperti ini?"
Bisma menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan amarahnya yang masih mendidih. "Pitaloka. Dia menuju Kumayan. Istriku, dia... pergi ke sana. Aku tak bisa membiarkan dia mengungkap siapa dirinya, apalagi bertemu dengan orang-orang di sana. Kumayan tidak boleh mengetahui apa yang sebenarnya terjadi."
Ajiram mendengarkan dengan tenang, tanpa memotong. Setelah beberapa detik, ia berbicara lagi, "Aku mengerti. Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi. Kumayan harus tetap terkunci dari masa lalu, dan orang-orang di sana tidak boleh tahu siapa Harum sebenarnya. Aku akan bergerak. Apa perintahmu?"
Bisma meremas gagang telepon, suaranya rendah tapi sarat dengan ancaman. "Pastikan dia tidak pernah sampai ke Kumayan. Atau, jika dia sampai di sana... buat dia tak bisa mengingat apa pun yang dia temukan."
Ajiram tertawa pelan. "Itu bisa diatur, Bisma. Aku akan segera bertindak. Kita akan memastikan Pitaloka, atau siapa pun, tidak mengubah rencana besar ini."
Bisma mematikan telepon, wajahnya dingin dan penuh tekad. Ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Kumayan tidak boleh terbuka untuk masa lalu, dan Harum... harus diingatkan bahwa ada batasan untuk rasa penasarannya.
Dengan amarah yang masih tersisa, Bisma berjalan ke luar rumah, malam yang dingin menambah suasana hatinya yang tegang. Kumayan kini bukan hanya sebuah desa kecil, tapi medan pertempuran yang akan segera datang, dan Bisma bertekad untuk menang—dengan cara apa pun.
Setelah memutus telepon, Bisma berdiri di ambang pintu, memandangi kegelapan malam. Kemarahan masih membara di dalam dadanya. Tak ada yang boleh mengganggu rencana yang sudah ia susun dengan matang, terutama Harum. Atau, lebih tepatnya, Pitaloka—nama yang ia ketahui sebagai masa lalu yang terlupakan, namun kini mulai kembali dalam mimpi-mimpi Harum. Sesuatu harus dilakukan.
Bisma mengambil teleponnya lagi dan menghubungi Ajiram untuk kedua kalinya. Nada dering terdengar sebentar sebelum suara dingin Ajiram muncul lagi.
"Bisma," suara itu masih tetap tenang. "Ada sesuatu lagi yang perlu kau perintahkan?"
Bisma menghela napas, menyiapkan kata-kata dengan cermat sebelum berbicara. "Ajiram, kita harus lebih dari sekadar menghentikan Harum. Aku butuh kau melakukan sesuatu yang lebih mendalam—lebih permanen."
Ajiram terdiam sebentar, menunggu instruksi berikutnya. Bisma melanjutkan dengan nada lebih serius.
"Kau tahu siapa Harum sebenarnya, bukan? Dia bukan hanya istriku. Dia Pitaloka—anak Datuk Abu, ratu Andalas yang seharusnya telah terlupakan oleh Kumayan. Tapi sekarang, mimpi-mimpi dan ingatannya mulai bangkit kembali. Dia sudah terlalu dekat dengan kebenaran, terlalu dekat dengan masa lalunya."
Ajiram mendengus kecil. "Ah, jadi itu masalahnya. Pitaloka mulai mengingat siapa dia sebenarnya. Itu bisa berbahaya, terutama bagi rencana kita."
"Benar," Bisma menjawab dengan suara dingin. "Aku ingin kau membuat ajian khusus. Sesuatu yang bisa menghancurkan ingatannya tentang siapa dia sebenarnya. Aku ingin Harum—atau Pitaloka, siapapun dia—melupakan seluruh masa lalunya. Dia harus percaya bahwa dia hanyalah Harum, seorang istri yang hidup damai di kota. Tidak lebih."
Ajiram terdiam lagi, merenungkan permintaan itu. Suaranya kembali setelah beberapa detik, kali ini dengan nada yang lebih serius.
"Ajian untuk melupakan identitas sejati bukan perkara kecil, Bisma. Itu membutuhkan pengorbanan, dan ada risiko besar. Jika tidak dilakukan dengan hati-hati, kau bisa kehilangan lebih dari sekadar ingatan Pitaloka. Tapi aku bisa melakukannya, tentu saja. Asalkan kau siap dengan segala konsekuensinya."
Bisma menyipitkan mata, tangannya mengepal kuat. "Apa pun harganya, lakukan. Aku tak peduli risiko apa yang harus kita hadapi, asalkan Pitaloka tidak pernah ingat siapa dia sebenarnya. Kau tahu apa yang harus dilakukan."
Ajiram tertawa kecil, suara tawanya mengirimkan getaran dingin. "Baiklah, Bisma. Kalau begitu, aku akan mempersiapkan ajian itu. Tapi ingat, begitu ini dimulai, tidak ada jalan kembali. Pitaloka yang kau kenal akan hilang selamanya, dan hanya akan ada Harum."
"Itu yang aku inginkan," tegas Bisma, suaranya tajam seperti pisau. "Pastikan ajian itu bekerja dengan sempurna."
Ajiram mengangguk di seberang telepon, lalu suaranya terdengar lebih rendah dan lebih misterius. "Aku akan mulai dengan persiapannya. Tunggu kabar dariku, dan pastikan Harum tetap dalam jangkauan. Saat waktunya tiba, kita akan memastikan dia tak pernah kembali ke Kumayan sebagai Pitaloka."
Bisma mengakhiri panggilan dengan perasaan dingin menjalar di tubuhnya. Rencana besar yang ia susun kini bergerak maju, dan ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, Harum tidak boleh menemukan kembali siapa dirinya. Dunia mereka akan runtuh jika rahasia itu terungkap. Dan untuk menjaga rahasia tersebut, ia bersedia mengorbankan segalanya—bahkan ingatan Pitaloka.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Manusia Harimau New Generation : Kembali (Fan Fiction)
Fiksi PenggemarSetelah mengalahkan Ratu Hang Ci Da dan pasukan silumannya, Key, Putra Alam, Alina, Sakti, dan Risa kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Memasuki semester 6, mereka memutuskan untuk menjalani KKN mandiri di Desa Kumayan, yang terkenal dengan...