Musuh Baru Kumayan

73 4 0
                                    

Bisma yang berada di kamarnya menerima telepon dari anak buahnya. Kabar buruk bahwa mereka gagal menemukan Pitaloka membuat darahnya mendidih. Wajahnya memerah, matanya menyala penuh kemarahan. “Apa maksud kalian?!” suaranya menggelegar di ujung telepon, menggema di sekeliling ruangan.

"Maaf, tuan... Kami sudah menyisir area, tapi dia hilang begitu saja. Kami tidak tahu kemana dia pergi."

“Tidak tahu?! Kalian tidak berguna! Aku akan makan kalian semua!” Dengan satu tarikan napas berat, Bisma mengakhiri panggilan teleponnya dengan kasar. Suasana di sekitarnya berubah menjadi gelap, dinding ruangan terasa menyempit saat kemarahannya semakin menguasai dirinya. Pikirannya tak lain hanya terfokus pada Pitaloka yang berusaha kabur, pada anak buah yang tidak becus, dan pada semua rencananya yang tampak hancur di hadapannya.

Dengan murka yang tak bisa lagi ditahan, Bisma mulai menggumamkan sebuah mantra kuno. Tangannya bergetar, tapi suaranya tajam dan penuh tekad.

Hei Batara Kala, 
Aku njaluk wujud macan ireng, 
Siluman angkara, njajah jagad, 
Tak tibaning pepeteng, tak ancurke musuh, Tanpa welas, tanpa pangapura!”

Udara di sekelilingnya mendadak berubah. Bayangan kelam menyelimuti ruangan. Tubuh Bisma mulai bergetar hebat, suaranya menjadi lebih rendah, hampir menggeram. Perlahan, sosoknya mulai berubah. Kulitnya menjadi gelap, hitam legam seperti malam yang tanpa bintang. Tubuhnya membesar dengan cepat, bulu hitam pekat menutupi seluruh badannya, taring-taring tajam mencuat dari mulutnya, dan sorot mata merah penuh amarah menyalak seperti api neraka.

Bisma telah berubah menjadi siluman macan kumbang—sebuah wujud mengerikan, besar, dan ganas. Tubuhnya seperti bayangan yang tidak bisa disentuh oleh cahaya, penuh kegelapan dan angkara murka. Suara aumannya menggema di seluruh rumah, menghancurkan jendela-jendela kaca di sekelilingnya. Nafasnya berat, setiap langkahnya meninggalkan bekas hitam di lantai, seolah-olah kematian sedang mengikutinya.

Dalam wujud ini, Bisma bukan lagi manusia biasa. Dia adalah makhluk penghancur yang hidup dalam bayangan. Tanpa ampun dan tanpa belas kasih. Amarahnya begitu kuat sehingga semua makhluk di sekitarnya bisa merasakannya.

“Aku akan menemukanmu, Pitaloka... atau siapa pun namamu sekarang!” geramnya dengan suara dalam yang menggelegar. Dengan kekuatan barunya, dia berlari menuju hutan, mengejar jejak Pitaloka yang sedang berada dalam perlindungan harimau putih. Setiap lompatan besar dari tubuh silumannya membuat tanah bergetar, menandakan kedatangannya yang tak terbendung. Tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang.

Pitaloka mungkin aman untuk sementara waktu, tetapi Bisma—dalam wujud siluman macan kumbangnya—telah membangkitkan kekuatan kegelapan yang lebih kuat dari sebelumnya. Pertarungan antara kegelapan dan cahaya sedang mendekat, dan hanya waktu yang akan menunjukkan siapa yang akan bertahan.

Di sisi lain, Gumara yang terlelap di ruang tamu rumah Datuk Lebai Karat mulai gelisah dalam tidurnya. Dalam mimpinya, ia melihat sesosok macan kumbang hitam besar, dengan mata merah menyala, menerkam seseorang. Sosok yang diterkam itu adalah Pitaloka.

Macan kumbang itu mengaum mengerikan, cengkeramannya kuat. Pitaloka berlari, namun sia-sia. Gumara berusaha berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya terasa tertahan, seolah seluruh kekuatannya tak mampu menyentuh kenyataan.

Gumara tiba-tiba terbangun. Keringat dingin membasahi tubuhnya, napasnya tersengal-sengal. "Pitaloka..." pikirnya, mimpi itu terlalu nyata untuk diabaikan. Di tengah kebingungannya, langkah kaki mendekat.

Rajo Langit muncul dari arah ruang tengah sambil membawa kopi hitam, matanya memperhatikan Gumara yang masih kebingungan.

"Wajah kau Cemana Gumara, lai ado mimpi buruk sajo," ujar Rajo Langit, menyeruput segelas kopi di tangannya saat melihat ekspresi Gumara yang tampak lelah.

Gumara menatap Rajo Langit, berusaha menenangkan diri. "Mimpi... Macan kumbang... Dia menyerang Pitaloka. Aku tidak mengerti... Pitaloka sudah lama menghilang, tapi kenapa sekarang?"

Rajo Langit duduk di sebelah Gumara, mengernyitkan dahinya mendengar nama Pitaloka. "Pitaloka? Lah lamo indak ado urang mambicarokan nan tu. Tapi kalau mimpi kau seperti itu, mungkin ado petanda," katanya sambil memandang serius.

Gumara meraih kepalanya, masih terbayang mimpi tersebut. "Ini terlalu nyata... Apa mungkin Pitaloka masih hidup? Dan kenapa macan kumbang?"

Rajo Langit mengusap dagunya. "Kadang, mimpi urang sakti tu bukan mimpi biasa. Mungkin ado sesuatu nan mau baliak... Kau paham maksudku?"

Gumara merenung sejenak. "Kalau benar Pitaloka kembali, dan kalau memang ada sesuatu yang mengincarnya, aku tidak bisa diam saja, Rajo."

Rajo Langit mengangguk setuju. "Betul tu. Kalau memang ado hubungan jo mimpik kau, alah baik kito cari tahu nan sabananyo. Jan tunggu sampai musuh mendekat tanpa kito sadari."

Gumara mengangguk dengan tekad. "Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya lagi, Rajo. Bantu aku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."

"Kau memang anak Kumayan, inyik paling kuat Kumayan. Aku bantu kau sampai Pitaloka aman. Urusan kau, urusan kito jugo," jawab Rajo Langit dengan penuh keyakinan.

Malam itu terasa semakin dingin, dan perasaan buruk terus menyelimuti hati Gumara. Mimpi itu lebih dari sekadar peringatan—itu adalah pertanda bahwa sesuatu yang besar dan berbahaya tengah mendekat.

Datuk Lebai Karat, dengan langkah cepat dan mantap, berjalan masuk ke ruang utama rumahnya, di mana Rajo Langit dan Gumara tengah berbincang. Keduanya tampak serius, membicarakan hal yang baru saja Gumara alami dalam mimpinya. Datuk Lebai Karat langsung memotong percakapan mereka tanpa basa-basi.

"Kita perlu mengumpulkan semua inyik sekarang. Kumayan dalam bahaya. Jika Pitaloka benar-benar kembali, kita harus bersiap," kata Datuk Lebai Karat dengan nada tegas.

Rajo Langit mengangguk, lalu menambahkan, "Iyo, semua inyik harus dikumpulkan. Ini urusan serius, kito tak tau sapo nan lebih tau soal ini," ucapnya dengan penuh semangat pejuang.

Gumara yang masih merasakan sisa ketegangan dari mimpi buruknya, segera berdiri. "Baik, aku akan bantu memanggil yang lainnya," katanya, sudah siap bergerak keluar.

Datuk Lebai Karat, yang tidak ingin membuang waktu, berkata kepada Rajo Langit, "Bantu kumpulkan Humbalang, Limbubu, Ki Tunggal, Key, Alam, Sakti, dan Alina. Mereka harus tahu apa yang kita hadapi."

Rajo Langit mengangguk lagi dan segera beraksi, "Tenang, Datuk. Biar aku urus. Aku akan kumpul secepatnyo."

Namun, sebelum mereka sempat bergerak lebih jauh, tiba-tiba Datuk Lebai Karat terhenti. Sebuah suara bergema dalam pikirannya—suara Datuk Abu melalui ajian telepati. Suara yang tegas dan penuh kewaspadaan.

"Lebai Karat... aku ada hal penting yang harus dibicarakan, tapi ini tidak boleh didengar oleh semua orang," suara itu terdengar jelas di kepala Datuk Lebai Karat, menandakan sesuatu yang mendesak.

Datuk Lebai Karat mengerutkan dahi, lalu mengangguk pelan meski tak ada yang melihat. "Aku mengerti, Abu. Kita akan bicarakan ini setelah semua inyik berkumpul. Ini tentang Pitaloka dan Kumayan, bukan?"

"Benar. Tapi ini lebih besar dari itu. Kita harus segera bertindak," balas Datuk Abu dengan nada yang sarat akan kewaspadaan, sebelum kemudian menghilang dari pikiran Datuk Lebai Karat.

Datuk Lebai Karat menoleh pada Rajo Langit dan Gumara yang sudah bersiap untuk keluar. "Barusan, Datuk Abu menghubungi aku. Ada hal lebih besar yang harus dibicarakan. Tapi pertama-tama, kumpulkan semua inyik sekarang. Ini urusan besar."

Tanpa banyak kata lagi, Rajo Langit segera bertindak. "Aku urus sekarang, Datuk. Lai biar para inyik tu berkumpul di balai dulu."

Malam yang dingin dan sunyi di Kumayan itu berubah menjadi penuh ketegangan. Dalam waktu singkat, semua inyik mulai dipanggil: Humbalang, Limbubu, Ki Tunggal, Key, Alam, Sakti, dan Alina. Suasana desa yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan firasat buruk. Sesuatu yang besar dan tidak biasa akan segera terjadi, dan para inyik harus siap menghadapi apa pun yang datang. Sementara itu, Datuk Lebai Karat menunggu, menyadari bahwa percakapan mendalam dengan Datuk Abu akan menjadi kunci untuk memahami ancaman ini.

7 Manusia Harimau New Generation : Kembali (Fan Fiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang