Di bawah sinar rembulan yang menerangi pekarangan Kumayan, suara raungan bergema di seluruh penjuru hutan, menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya. Gumara dalam wujud Harimau Putih, berdiri tegap dengan tatapan tajam menatap Alam yang telah kehilangan kendali, berubah menjadi Harimau Sumatera yang ganas. Alam, tubuhnya sepenuhnya berbentuk harimau, bergerak liar, kekuatannya tidak stabil. Mata kuningnya bersinar penuh kebencian dan kekacauan, seakan-akan kepribadiannya telah sepenuhnya dikendalikan oleh inyik yang bersemayam di dalam dirinya.
Alam menerjang dengan kecepatan luar biasa, menerkam ke arah Gumara. Kuku tajamnya siap menghantam, namun Gumara dengan cekatan menghindar, melompat ke samping dengan lincah. Kedua makhluk itu kini saling berhadapan, napas mereka memburu, siap untuk saling menyerang. Gumara tahu, meskipun Alam adalah lawannya.Kedua harimau itu saling berhadapan, tubuh mereka yang besar dan kuat saling mengukur kekuatan dan ketajaman insting. Gumara yang telah bertransformasi menjadi Harimau Putih, mencoba menahan diri, berusaha tidak menyerang terlalu agresif. Dia tahu, di dalam tubuh Alam, terperangkap seorang anak muda yang tak bersalah, putra Humbalang dan Inyik Baru yang kini dikuasai oleh roh harimau yang terlalu kuat.
Alam, yang tidak dapat mengontrol kekuatan barunya, menyerang dengan raungan penuh kemarahan. Tubuhnya melesat ke depan dengan kecepatan yang mengerikan, cakar-cakarnya mencakar udara dengan kekuatan liar. Gumara menghindar dengan cepat, melompat ke samping dan berputar, namun serangan Alam begitu gesit, sehingga salah satu cakarnya mengenai bahu Gumara, membuat darah menetes dari luka yang terbuka.
Raungan Gumara menggema di hutan, namun dia tidak membiarkan dirinya lemah. Dengan kekuatan yang terkendali, dia menerkam balik, mendorong tubuh Alam ke tanah. Keduanya berguling di tanah, bergulat dalam pertempuran sengit. Tanah di bawah mereka bergetar, daun-daun kering beterbangan, sementara kedua makhluk buas itu saling mencakar dan menerjang.
Dari sisi lain, Ki Tunggal yang menyaksikan pertempuran itu dengan hati cemas, akhirnya mengambil keputusan. Sebagai salah satu anggota 7 manusia harimau Kumayan yang dihormati, dia tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan kegilaan ini adalah dengan bergabung dalam pertempuran. Dengan sebuah raungan yang dalam, tubuhnya mulai berubah. Tulang-tulangnya berderak, kulitnya meregang, dan wajahnya perlahan berubah menjadi wajah seekor Harimau Sumatera yang agung.
Dalam hitungan detik, Ki Tunggal telah sepenuhnya bertransformasi menjadi manusia-harimau. Tubuhnya telah bertransformasi menjadi Harimau besar, namun kekuatan dan ketenangan dari harimau di dalam dirinya memancar jelas. Dia melompat ke dalam pertempuran, bergabung dengan Gumara yang sedang kesulitan menahan Alam yang terus mengamuk.
Dengan lompatan yang penuh kekuatan, Ki Tunggal menerkam Alam, menghantamkan tubuhnya ke tanah dengan kuat. Gumara menggunakan kesempatan ini untuk berdiri dan mendorong Harimau Alam untuk berusaha menenangkan anak muda itu. Alam menggeram keras, mencoba melawan, tetapi kombinasi kekuatan Ki Tunggal dan Gumara perlahan berhasil menahan tubuhnya.
“Alam!” raung Ki Tunggal dalam suara yang terdengar lebih seperti gemuruh petir. “Kendalikan dirimu! Kau adalah dirimu, jangan biarkan inyik dalam darahmu menguasiamu!”
Alam meronta, matanya yang kuning berkilat-kilat dengan amarah, tetapi suara Ki Tunggal seolah mulai menembus kekacauan dalam pikirannya. Gumara, yang masih menggenggam erat tubuh Alam, berusaha menggunakan ketenangan dan kekuatan batinnya untuk membantu. Ia mendekatkan wajahnya, menatap lurus ke mata Alam, mencoba menjangkau jiwa yang tersesat di balik wujud harimau liar itu.
“Alam, kau harus mengendalikan inyik ini. Kau lebih kuat dari pada inyik itu, kau adalah manusia, seperti ayahmu. Kau harus melawan pengaruh ini!” kata Gumara, suaranya penuh dengan harapan dan keyakinan.
Alam berhenti meronta sejenak, matanya mulai redup, tubuhnya gemetar di antara wujud manusia dan harimau. Ki Tunggal dan Gumara memperketat cengkeraman mereka, memberikan kekuatan kepada Alam untuk melawan perubahan yang belum sempurna itu.
Dalam kebisuan yang mencekam, terdengar suara lirih dari Humbalang yang terbaring lemas di tanah. "Alam, nak... dengarkan aku, ayahmu..." Suaranya lemah, namun dipenuhi kasih sayang seorang ayah yang sangat mencintai anaknya. Kata-kata itu seperti panah yang tepat menghujam hati Alam.
Perlahan, Alam mulai mengendurkan tubuhnya. Matanya yang kuning mulai memudar, kembali ke warna aslinya. Cakar-cakar yang tajam perlahan-lahan menghilang, tubuhnya yang besar menyusut, kembali menjadi wujud manusianya. Gumara dan Ki Tunggal melepaskan cengkeraman mereka, namun tetap waspada jika ada lonjakan kekuatan lagi.
Alam akhirnya jatuh terkulai di tanah, tubuhnya bergetar, tetapi kini dalam wujud aslinya—manusia, bukan harimau. Mata Alam kembali normal, penuh kebingungan dan ketakutan, seolah baru saja terbangun dari mimpi buruk yang panjang.
Semua orang yang menyaksikan, termasuk Datuk Lebai Karat Datuk Abu, dan Rajo Langit, tertegun menyaksikan pertarungan itu. Mereka melihat bagaimana perjuangan Gumara, Ki Tunggal, dan kasih sayang seorang ayah akhirnya berhasil menenangkan Alam. Pertempuran telah usai, namun semua tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanan yang lebih panjang dan berat di masa depan.
Di sisi lain, Andi, Datuk Abu, dan Datuk Lebai Karat tiba-tiba merasakan sakit yang mendera dada mereka perlahan memudar. Tubuh mereka yang sebelumnya tertekan oleh kekuatan luar biasa, kini mulai merasakan kelegaan. Rasa sakit yang seperti menarik-narik jiwa mereka perlahan hilang, seolah-olah ada sesuatu yang menghentikan gangguan yang membuat mereka hampir kehilangan kendali.
Andi menghela napas panjang, duduk terengah-engah di tanah, keringat mengalir di wajahnya. Matanya masih penuh ketakutan, tapi dia merasakan dadanya lebih ringan sekarang, meskipun ada sesuatu yang masih terasa aneh dalam dirinya.
Datuk Abu dan Datuk Lebai Karat juga merasakan hal yang sama. Kedua pria tua itu saling memandang, menyadari bahwa pertempuran batin yang mereka rasakan telah berhenti. Inyik harimau dalam tubuh mereka, yang sebelumnya berusaha keluar, kini kembali tenang, seolah ditarik kembali oleh kekuatan misterius.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” bisik Datuk Lebai Karat, sambil menatap Datuk Abu.
Datuk Abu menggelengkan kepalanya, “Entahlah, tapi kita beruntung semuanya berhenti sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi.”
Keadaan kini kembali tenang, seolah badai yang menerjang mereka tiba-tiba mereda. Udara di sekitar mereka terasa lebih ringan, dan tidak ada lagi rasa sakit yang menekan dada mereka. Semua orang, meskipun lelah dan penuh luka, bersyukur bahwa setidaknya mereka berhasil melewati cobaan berat ini—untuk saat ini.
Namun, di balik keheningan ini, mereka tahu bahwa ini baru permulaan. Masih banyak pertanyaan yang tersisa, terutama mengenai kekuatan inyik yang ada dalam diri mereka dan apa artinya bagi masa depan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Manusia Harimau New Generation : Kembali (Fan Fiction)
Fiksi PenggemarSetelah mengalahkan Ratu Hang Ci Da dan pasukan silumannya, Key, Putra Alam, Alina, Sakti, dan Risa kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Memasuki semester 6, mereka memutuskan untuk menjalani KKN mandiri di Desa Kumayan, yang terkenal dengan...