Sosok yang ditunggu

96 6 2
                                    

Di bawah sinar matahari, saat mentari bersinar pucat di langit mendung, Datuk Abu duduk sendiri di ambang rumahnya yang sederhana. Angin sepoi membelai wajah tuanya yang dipenuhi guratan-guratan kenangan. Rindu yang mendalam menusuk hatinya, perasaan yang telah lama ia simpan. Pitaloka, putrinya yang tercinta, selalu hadir dalam mimpinya akhir-akhir ini. Seakan-akan arwahnya ingin kembali ke Kumayan, kembali ke pelukan ayahnya.

"Apakah kau akan kembali, Pitaloka?" bisik Datuk Abu kepada dirinya sendiri, matanya menerawang menembus malam.

Dalam mimpinya, Datuk Abu sering melihat Pitaloka berjalan dengan anggun, menyusuri jalan-jalan desa yang tenang, wajahnya bersinar di bawah sinar matahari pagi. Pitaloka tersenyum, namun setiap kali Datuk Abu mencoba mendekat, sosok putrinya itu menghilang, lenyap seperti embun yang tersapu angin. Mimpi itu selalu berhenti di tempat yang sama—di gerbang Kumayan, tempat yang penuh makna bagi keluarga mereka.

Di sisi lain, jauh dari Kumayan, di tengah hiruk pikuk kota besar, Harum, dia sedang duduk di ruang tamu bakery miliknya, sebuah toko roti kecil namun populer yang menyajikan kue-kue khas Bengkulu. Aroma manis dari bolu kojo dan kue tat memenuhi udara, membawa kesenangan bagi para pelanggannya. Namun, malam ini, pikirannya terasa berat.

Harum menghela napas panjang, menatap ponselnya. "Andi, kamu baik-baik saja, kan?" gumamnya pelan. Sejak Andi pergi ke Kumayan, ada sesuatu yang tidak bisa ia pahami. Kumayan, nama itu terdengar begitu akrab namun juga terasa jauh, seperti bagian dari ingatan yang terkubur. Setiap kali mencoba mengingat, pikirannya tertutup kabut, dan tak ada yang jelas tentang desa itu.

"Ada apa dengan tempat itu?" Harum menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan kegelisahannya.

Tiba-tiba, tangan hangat melingkar di pinggangnya, memeluknya dari belakang. Harum terkejut sejenak, tapi kemudian tersenyum kecil saat ia mengenali pelukan itu. Bisma, suaminya, berdiri di belakangnya, menyandarkan dagunya di pundak Harum. Bisma adalah pria tinggi dengan senyum yang selalu membawa rasa nyaman dan ketenangan bagi Harum. Mereka telah bersama selama bertahun-tahun, dan cinta mereka tetap hangat seperti hari pertama.

"Sedang memikirkan apa, sayang?" tanya Bisma, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Harum menghela napas pelan, menoleh sedikit ke arahnya. "Aku... aku hanya kepikiran Andi, dan juga Kumayan. Rasanya aneh, aku tidak bisa mengingat apa pun tentang desa itu. Seperti ada sesuatu yang hilang."

Bisma mempererat pelukannya, lalu mencium pelan kepala Harum. "Mungkin hanya karena kamu terlalu khawatir dengan Andi. Dia anak yang pintar, dia pasti bisa menjaga diri di sana."

Harum mengangguk, tapi kegelisahan itu tetap ada. Dia merasa ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tersembunyi di balik ingatan yang terkunci. Kumayan seolah memanggilnya, namun ia tidak tahu kenapa atau bagaimana.

"Aku harap begitu," balas Harum, menghela napas panjang. Tapi jauh di dalam hatinya, dia merasa bahwa masa lalu yang tak ia ingat sedang mendekat, membawa rahasia yang mungkin akan mengubah segalanya.

Di Kumayan, di bawah langit yang sama, Datuk Abu juga termenung dalam kesepiannya. Ia memejamkan matanya, berharap bisa melihat putrinya sekali lagi, meskipun hanya dalam mimpi.

Harum menghela napas lagi, kali ini lebih berat. Ia memiringkan tubuhnya sedikit, cukup untuk menatap wajah Bisma yang selalu penuh kasih sayang. Namun, kali ini, pikirannya teralihkan oleh sesuatu yang sudah lama mengganggu pikirannya.

"Bisma, aku belum cerita padamu tentang mimpi-mimpiku, ya?" tanya Harum pelan. Matanya tampak gelisah, seolah mimpi itu begitu nyata dan membekas.

Bisma mengerutkan dahi, melepaskan pelukannya dan duduk di samping Harum. "Mimpi? Mimpi yang mana? Kamu belum cerita apa-apa soal itu."

7 Manusia Harimau New Generation : Kembali (Fan Fiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang