Bencana

73 5 0
                                    

Pagi itu, suasana di rumah Datuk Lebai Karat terasa tegang. Setelah malam yang penuh ketegangan, para warga Kumayan mulai berdatangan, membawa keluhan mereka tentang kondisi desa. Tanaman-tanaman di kebun rusak, sebagian mengering, sementara yang lain seolah tersentuh kekuatan misterius yang merusaknya. Bahkan, air di sungai dan irigasi yang biasanya mengalir lancar, tiba-tiba berhenti, seolah-olah ada sesuatu yang memblokirnya.

Di dalam rumah, Datuk Lebai Karat berdiri gelisah di depan pintu, sementara istrinya, Ratih, menemani di sampingnya, berusaha menenangkan para warga yang terus datang silih berganti. Wajah-wajah mereka menunjukkan kecemasan yang dalam, penuh dengan harapan agar Datuk dapat memberikan jawaban.

“Apo yang terjadi, Datuk? Tanaman kito hancur. Air tak lagi ngalir. Ini pasti tanda musibah besar,” keluh salah seorang warga yang paling senior, suaranya dipenuhi rasa khawatir.

Datuk Lebai Karat mengusap wajahnya yang lelah, mencoba meredam kegelisahan yang terus merayap dalam dirinya. Namun, tanpa jawaban yang pasti, dia juga tidak bisa menenangkan warganya.

“Aku paham. Kita semua tengah mengalami hal yang tak biasa. Tapi percayalah, ini bukan musibah tanpa sebab. Kita harus tetap tenang dan mencoba mencari tahu,” katanya, meski dalam hatinya ia sama bingungnya dengan warga lainnya.

Ratih, yang tak jauh darinya, menambahkan dengan nada lembut namun penuh ketegasan, “Kita perlu para inyik untuk turun tangan. Mungkin ada kekuatan yang bermain di balik semua ini. Kita harus berkumpul dan mencari solusi bersama.”

Datuk Lebai Karat mengangguk setuju. “Benar kata Ratih. Aku akan segera menghubungi inyik yang lain. Mungkin ado jawaban di antara kekuatan leluhur kito.”

Namun, di balik wajahnya yang tenang, Datuk Lebai Karat merasa ada sesuatu yang lebih besar terjadi, sesuatu yang mungkin berhubungan dengan kejadian aneh malam sebelumnya, terutama saat inyik mereka hampir berpindah. Ia tak bisa menyingkirkan pikiran bahwa hal itu bisa jadi penyebab masalah yang sedang menimpa Kumayan sekarang.

Setelah membubarkan warga dengan janji untuk segera mencari jalan keluar, Datuk Lebai Karat masuk ke dalam rumah, matanya bertemu dengan tatapan Ratih.

“Kita harus bertindak cepat, Ratih,” ucapnya dengan nada yang berat. “Aku merasa ini semua tidak terpisah dari kejadian semalam. Sesuatu telah terganggu.”

Ratih mengangguk pelan, meski wajahnya menunjukkan rasa khawatir yang mendalam. “Kau benar, Datuk. Kumayan terasa tak tenang. Sepertinya malam itu membuka sesuatu yang tak seharusnya dibuka.”

Di luar rumah, suasana desa Kumayan semakin gundah. Sementara itu, Datuk Lebai Karat dan Ratih bersiap untuk mencari solusi, berharap para inyik yang lain dapat memberikan pencerahan dan menghentikan bencana yang tampaknya mulai mengancam desa mereka.

Datuk Lebai Karat duduk di kursinya dengan wajah penuh kekhawatiran. Setelah mendengar keluhan warga, ia tahu harus segera mengambil tindakan. Sambil menghela napas, ia memanggil Rajo Langit yang berdiri tidak jauh dari pintu.

"Rajo Langit," panggil Datuk dengan suara tegas.

Rajo Langit melangkah maju, sorot matanya tajam seperti biasa. Ia adalah pria yang tangguh, pemimpin bagi beberapa penduduk di Kumayan, dan selalu setia pada Datuk Lebai Karat.

"Apo, Datuk? Ado yang biso ku bantu?" jawab Rajo dengan logat tegas dan cepat.

Datuk Lebai Karat berdiri dari kursinya, mendekati Rajo Langit. “Kita ada masalah besar di desa. Air irigasi tak ngalir. Orang-orang mulai panik. Aku butuh kau pergi ke sumber mata air, periksa pipanya. Bisa jadi ado kebocoran atau ado hal lain yang ganggu aliran.”

Rajo Langit mengangkat alisnya. "Heh, biso jadi, Datuk. Ajo ndak pantes, eh, ado yang ganggu aliran air. Tapi ku raso aneh nih datuk, selama ini baik-baik sajo."

7 Manusia Harimau New Generation : Kembali (Fan Fiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang