Ki Tunggal

68 2 0
                                    

Di sisi lain, di kedalaman Goa Batu, tempat yang penuh misteri dan hanya sedikit orang yang tahu, Ki Tunggal duduk bersila di atas tikar anyaman yang sudah usang. Tubuhnya yang kurus dan wajahnya yang dipenuhi kerutan mencerminkan kebijaksanaan dan usia yang panjang. Di sekitar goa, hanya ada suara tetesan air yang jatuh perlahan dari stalaktit di atas, mengisi keheningan dengan irama alam yang menenangkan.

Namun, malam itu, suasana terasa lain. Ada angin dingin yang tiba-tiba berhembus di dalam goa, membawa bisikan-bisikan halus yang hanya bisa didengar oleh telinga-telinga yang peka terhadap dunia gaib.

Ki Tunggal, yang sedang dalam pertapaannya, tiba-tiba membuka mata. Matanya yang tajam dan dalam, seperti menatap sesuatu yang tak kasat mata. Ia diam sejenak, mendengarkan lebih dalam, hingga suara lelembut—makhluk gaib penjaga Kumayan—mulai terdengar lebih jelas di telinganya.

"Ki Tunggal..." bisik lelembut itu, suaranya serupa dengan deru angin yang melewati celah-celah batu. "Bumi Kumayan akan dirundung bala lagi. Kehancuran kedua akan tiba... lebih besar dari yang sebelumnya."

Ki Tunggal menarik napas dalam-dalam. Bibirnya mengatup rapat, namun ia tidak terkejut mendengar kabar itu. Dalam hatinya, ia tahu masa itu akan datang, tetapi tidak disangka secepat ini.

"Apo ado jalan untuk menyelamatkan Kumayan, Datuk?" tanya Ki Tunggal perlahan, suaranya penuh ketenangan yang terlatih selama bertahun-tahun dalam dunia spiritual.

Lama lelembut itu terdiam, seolah berpikir keras. Kemudian terdengar lagi, "Sik jiwo ado... mampu merintang Kumayan sampek ke akarnyo..." suara itu terputus sejenak, membuat Ki Tunggal semakin fokus.

"...tapi duo jiwo ado kuko untok ngukir jejak di tanah Kumayan."

Mendengar kata-kata itu, mata Ki Tunggal menyipit, mencoba memahami makna di balik ramalan yang baru saja diucapkan. Dua jiwa? Siapa yang dimaksud oleh lelembut itu? Dan apakah mereka akan membawa kehancuran atau penyelamatan bagi Kumayan?

Ki Tunggal bangkit perlahan, tubuhnya yang kurus berdiri tegak di tengah kegelapan goa. Ia menghadap ke arah pintu goa, seolah melihat sesuatu di luar sana yang tak kasat mata. “Waktu sudah dekat,” gumamnya pelan. “Aku harus bertindak sebelum terlambat.”

Dengan langkah mantap, Ki Tunggal meninggalkan pertapaannya, menuju ke permukaan. Hatinya penuh dengan kegelisahan, namun ia tahu tugasnya belum selesai. Lelembut telah memberikan peringatan, dan ia, sebagai penjaga spiritual Kumayan, harus mencari dua jiwa yang dimaksud dan memastikan Kumayan tidak terperosok ke dalam jurang kehancuran yang lebih dalam dari yang pernah terjadi sebelumnya.

Di langit malam, bulan tampak redup, seakan alam juga merasakan bahwa sesuatu yang besar sedang mendekat.

Di tengah keheningan malam, Ki Tunggal berjalan keluar dari goa Batu Gajah, pikirannya terfokus pada pesan lelembut yang baru saja diterimanya. Di bawah sinar rembulan yang pucat, ia berhenti sejenak di puncak bukit, matanya terpejam rapat. Kini, tugasnya adalah menyampaikan pesan penting ini, tetapi tidak secara langsung. Ia harus mengandalkan salah satu ajian yang dikuasainya, sebuah ilmu langka yang hanya digunakan dalam situasi yang genting: *Ajian Santi Jiwa*—sebuah bentuk telepati kuno yang bisa menghubungkan pikirannya dengan orang lain.

Dengan napas yang teratur, Ki Tunggal mulai merapalkan mantra di dalam hati, tangannya membentuk mudra, perlahan-lahan menyiapkan dirinya untuk memasuki alam bawah sadar. Matanya terbuka, namun pandangannya kosong, fokusnya terpecah, kini terhubung dengan alam pikiran Rajo Langit. Dalam sekejap, ia dapat merasakan keberadaan Rajo Langit yang sedang terjaga di rumahnya, pikirannya penuh kekhawatiran akan kedatangan para mahasiswa KKN dan ancaman di Desa Kumayan.

Suara Ki Tunggal muncul lembut di dalam kepala Rajo Langit, seperti bisikan dari angin malam. *"Rajo Langit..."* panggil Ki Tunggal dalam suara yang hanya bisa didengar oleh Rajo.

Rajo Langit yang sedang duduk di beranda rumah, dengan cepat tersentak kaget. Suara itu sangat familiar baginya. "Datuk Tunggal?" bisiknya sambil melihat sekeliling, tetapi tak ada siapa pun di sana.

*"Ya, ini aku. Dengarkan baik-baik, Rajo. Lelembut telah memberiku titah. Kumayan akan menghadapi kehancuran besar untuk kedua kalinya. Ada dua jiwa yang akan tiba—mereka memiliki kemampuan untuk menulis jejak baru di tanah Kumayan. Namun, salah satu jiwa itu juga dapat membawa kehancuran, jika kita tidak siap."*

Rajo Langit menggertakkan giginya, matanya melebar. "Apa maksudnyo datuk? Dua jiwo? Apa ini ada hubungannya dengan kedatangan anak-anak KKN itu?"

*“Benar. Salah satu dari mereka memiliki kemampuan untuk melindungi, tapi juga ada yang bisa menghancurkan. Aku tidak tahu siapa di antara mereka, tetapi kita harus berjaga. Sampaikan pesan ini pada Datuk Lebai Karat dan Datuk Abu. Kumayan harus dipersiapkan untuk segala kemungkinan."*

Rajo Langit mengangguk walaupun ia tahu Ki Tunggal tak bisa melihat. Hatinya dipenuhi kecemasan, tetapi juga tekad. "Aku akan sampaikan. Tapi gimano caranya kita bisa memastikan siapa yang berbahaya dan siapo yang bisa menyelamatkan?"

Suara Ki Tunggal tetap tenang meski penuh makna mendalam. *"Jiwa yang bisa mendengar lelembut adalah kuncinya. Perhatikan tanda-tanda. Telinga mereka akan menjadi saksi awal."*

Ajian *Santi Jiwa* itu perlahan memudar, menyisakan Rajo Langit dalam diam. Ia duduk, tertegun, merasakan beban berat yang baru saja disampaikan kepadanya. Namun, ia tak punya waktu untuk merenung lama. Dengan segera, ia bangkit dan bersiap-siap menemui Datuk Lebai Karat dan Datuk Abu. Pesan dari Ki Tunggal harus segera disampaikan, karena masa depan Kumayan kini tergantung pada bagaimana mereka bertindak.

Di kejauhan, angin malam bertiup pelan, seolah membawa pesan yang belum diucapkan, berbisik di antara pepohonan dan menyelimuti malam yang semakin mencekam.

7 Manusia Harimau New Generation : Kembali (Fan Fiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang