Di tengah ketegangan yang menyelimuti suasana, Rajo Langit yang terkenal berjiwa bebas dan ceria tiba-tiba melemparkan candaan untuk mencairkan suasana.
“Apo mungkin, Ki? Kalu kito takdo inyik cukup, mungkin aku buat anak lagi samo Ratna saja. Siapo tau inyik baru lahir cepat!” katanya sambil tertawa, menepuk-nepuk bahu Datuk Abu di sampingnya.
Datuk Abu tersenyum kecil mendengar candaan Rajo, namun matanya tetap serius. Sementara itu, Ki Tunggal, yang dikenal bijaksana dan penuh wibawa, hanya menatap Rajo dengan sorot mata tajam, seolah mengingatkannya bahwa ini bukan waktu untuk bercanda.
Suasana ruangan yang sempat mencair, seketika kembali hening ketika Ki Tunggal berbicara dengan nada yang tenang namun tegas. "Ini bukan perkara sembarangan, Rajo. Para leluhur tidak akan menunggu kita bercanda soal kehidupan dan tugas kita. Ancaman yang datang nyata dan bisa menghancurkan segalanya."
Rajo Langit yang santai tetap menghargai Ki Tunggal dan menyadari ketegasan itu, namun dia tidak tersinggung. Dia menundukkan kepala sedikit sambil berkata dengan nada ringan, “Aku paham, Ki. Aku hanya coba meringankan suasana. Lagian, hidup ni kalau terlalu serius, biso bikin tuo cepat.”
Ki Tunggal hanya mengangguk kecil, matanya tetap serius meskipun Rajo sudah berusaha menenangkan situasi. “Kita semua harus fokus, Rajo. Waktu kita sedikit, dan yang kita hadapi bukan lawan sembarangan. Apapun langkah yang kita ambil harus benar-benar dipikirkan matang-matang."
Rajo Langit menghela napas panjang, menyadari bahwa candaan ini mungkin tidak pada tempatnya. Meskipun begitu, dia tetap dengan sikap santai yang sudah menjadi bagian dari dirinya. "Baiklah, Ki. Aku paham. Jangan khawatir, aku tetap siapo ngikut apo rencana kito," jawabnya, tetap menjaga nada santai tapi dengan penghargaan.
Meski berbeda sikap dan pandangan hidup, Rajo Langit menghormati Ki Tunggal sebagai orang yang penuh kebijaksanaan. Ki Tunggal memahami bahwa kepribadian santai Rajo Langit adalah bagian dari kekuatannya dalam menghadapi tekanan, namun ia juga tahu bahwa Rajo Langit adalah orang yang bisa diandalkan saat situasi genting.
Setelah sejenak keheningan, Ki Tunggal kembali melanjutkan pembicaraan dengan nada serius. “Key, Alina, Sakti, dan Alam harus kita latih dengan cepat. Mereka harus siap saat saatnya tiba. Dan, Rajo… candaanmu tadi mungkin ada benarnya. Jika kita tidak menemukan tiga inyik lain, mungkin saja mereka sudah di antara kita, belum kita sadari.”
Rajo Langit mengangguk dengan senyum tipis. "Siapo tau, Ki. Kadang, inyik biso muncul dari tempat yang tak terdugo."
Tiba-tiba, di tengah percakapan serius antara Ki Tunggal dan Rajo Langit, Datuk Abu terdiam. Matanya membelalak dan tubuhnya menegang. Hanya dalam sekejap, sebuah kilasan muncul di benaknya—wajah Pitaloka, putri satu-satunya yang sudah lama menghilang. Wajah cantik dan lembutnya, yang sudah lama tidak dia lihat, muncul begitu jelas. Kilasan itu begitu cepat, tapi juga begitu nyata.
"Pitaloka…" bisiknya dengan suara serak.
Ki Tunggal dan Rajo Langit langsung menoleh, melihat perubahan mendadak pada Datuk Abu. Rajo Langit, yang biasanya ceria, kini menatap sahabatnya dengan kekhawatiran.
"Apo yang kau liat, Datuk?" tanya Rajo, suaranya tak lagi santai, tapi penuh perhatian.
Datuk Abu tidak segera menjawab. Dia terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja dilihatnya. Kilasan itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Wajah Pitaloka tampak tenang, namun ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat hati Datuk Abu mencelos. Ada rasa duka, tapi juga ada peringatan.
Ki Tunggal maju selangkah, tatapannya tajam menembus kebingungan Datuk Abu. "Datuk Abu, apa yang kau lihat? Apa ini terkait dengan Pitaloka?"
Datuk Abu mengangguk pelan, masih berusaha mengumpulkan pikirannya. "Aku… aku melihat Pitaloka. Tapi ini bukan sekadar bayangan. Dia terlihat… nyata. Wajahnya seperti sedang berusaha mengatakan sesuatu kepadaku, tapi aku tidak tahu apa."
Rajo Langit mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kau pikir itu hanya kilasan masa lalu, atau mungkin ini petunjuk?"
Datuk Abu terdiam sesaat, lalu menggeleng pelan. "Aku tidak tahu pasti. Tapi ada sesuatu di balik matanya. Seperti… ada peringatan. Aku takut dia masih dalam bahaya, atau mungkin mencoba memperingatkan kita tentang sesuatu yang lebih besar."
Ki Tunggal mengepalkan tangan, menyadari betapa pentingnya kilasan ini. "Kalau begitu, ini bukan kebetulan. Jika Pitaloka benar-benar berusaha berkomunikasi denganmu, ini bisa jadi pertanda besar. Kekuatan gelap yang kita hadapi mungkin punya hubungan dengannya. Kita harus menemukan jawabannya, Datuk. Mungkin Pitaloka adalah kunci dari semua ini."
Datuk Abu menunduk, hatinya diliputi campuran rasa haru dan ketakutan. Putrinya sudah menghilang bertahun-tahun, namun sekejap wajahnya hadir kembali seperti bayangan yang mengintip dari balik tirai kegelapan.
Rajo Langit menepuk bahu Datuk Abu, mencoba memberikan dukungan. "Kito bakal cari tahu, Datuk. Pitaloka mungkin masih ado di antara kito. Apo yang terjadi nanti, kito bakal hadapi samo-sama."
Ki Tunggal menatap Datuk Abu dengan penuh kebijaksanaan. "Mungkin kilasan ini datang untuk membuka jalan bagi kita. Pitaloka punya rahasia, dan mungkin rahasia itulah yang bisa menyelamatkan Kumayan. Kita harus bergerak cepat, dan kilasan yang kau dapatkan bisa menjadi petunjuk pertama."
Datuk Abu menarik napas dalam-dalam, mengangguk. Meskipun hatinya dipenuhi kecemasan, ia tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju jawaban yang telah lama dia cari—jawaban tentang keberadaan putrinya, dan mungkin, nasib Kumayan.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Manusia Harimau New Generation : Kembali (Fan Fiction)
FanfictionSetelah mengalahkan Ratu Hang Ci Da dan pasukan silumannya, Key, Putra Alam, Alina, Sakti, dan Risa kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Memasuki semester 6, mereka memutuskan untuk menjalani KKN mandiri di Desa Kumayan, yang terkenal dengan...