Di dalam rumah yang sederhana namun hangat, suasana makan malam bersama keluarga Alina dimulai dalam keheningan yang canggung. Alina duduk di meja makan dengan piring berisi nasi dan lauk pauk yang disajikan oleh ibunya, Karina. Limbubu, ayahnya, duduk di ujung meja, mengunyah dengan tenang, sementara Karina berusaha mencairkan suasana dengan senyum lembut yang tak pernah luntur.
Alina memandangi makanannya, tidak banyak bicara. Dalam pikirannya, bayangan perjalanannya ke Kumayan terus terngiang, serta kekhawatirannya tentang harapan besar ayahnya yang ingin dirinya belajar menjadi "inyik" — sebuah gelar adat yang diimpikan banyak orang di Kumayan. Dia tahu ayahnya menginginkan itu, namun dia tidak merasa siap.
Tiba-tiba, Limbubu, yang dikenal sebagai pria yang jarang berbicara, memecah keheningan.
"Lin," ucapnya dengan nada berat namun lembut. Alina menegakkan tubuhnya, sejenak terkejut karena ayahnya jarang sekali bicara lebih dulu. "Ayah tahu kau mungkin merasa ada beban yang berat di sini. Jadi, ayah tidak akan memaksamu untuk belajar menjadi inyik saat ini."
Alina menatap ayahnya dengan mata lebar. Ia tidak menyangka ayahnya akan mengatakan hal itu. Biasanya, Limbubu sangat tegas dan berpendirian, terutama tentang adat istiadat keluarga mereka. Kata-kata itu bagai beban yang terangkat dari bahunya.
Limbubu melanjutkan, "Kau punya waktu, Lin. Kita bisa bicarakan soal ini nanti, kalau kau sudah siap. Yang penting, kau di sini sekarang, bersama kami."
Karina, yang duduk di samping Alina, tersenyum lembut, menyentuh lengan putrinya dengan penuh kasih sayang. "Ayahmu benar, nak. Kami hanya ingin kau merasa nyaman di rumah ini. Kami rindu sekali padamu, dan kami ingin kau tahu bahwa kami selalu ada di sini untuk mendukungmu, apapun pilihanmu."
Perlahan, sebuah senyum merekah di wajah Alina. Dia merasa hatinya mulai meleleh, mendapati kedua orang tuanya begitu pengertian. "Terima kasih, Ayah, Ibu. Aku... aku memang belum siap, tapi aku janji akan memikirkannya. Dan... aku senang bisa kembali."
Karina mengusap rambut Alina dengan lembut, matanya berkaca-kaca penuh rasa syukur. "Itu yang terpenting, nak. Yang terpenting adalah kebahagiaanmu."
Suasana pun berubah, dari sunyi menjadi hangat. Alina, yang tadinya hanya diam, kini mulai bercerita tentang perjalanan yang baru dilaluinya, tentang teman-temannya, dan tentang kehidupan di luar desa. "Kalian tahu, di kota itu... segalanya beda banget! Nasi gorengnya aja nggak seenak di sini," katanya dengan semangat, membuat ibunya tertawa.
Limbubu juga tersenyum kecil, meskipun dia tetap diam dalam perannya sebagai sosok yang tegas. Namun, ada sinar kebanggaan di matanya, melihat Alina yang mulai bahagia dan cerewet seperti dulu.
Malam itu, makan malam yang dimulai dengan keheningan berakhir dengan tawa dan cerita yang mengalir deras, mengisi rumah mereka dengan kehangatan keluarga yang sudah lama dirindukan. Alina, yang awalnya merasa canggung, kini mulai merasa bahwa desa ini, rumah ini, dan orang tuanya, adalah tempat di mana dia bisa menemukan kenyamanan dan kebahagiaan yang selama ini dicarinya.
Di rumah Pak Cik Humbalang yang sementara ditinggali oleh Key dan Risa, suasana malam terasa begitu sunyi. Hanya suara angin yang menderu pelan dari luar jendela, dan suara kayu yang berderak samar. Key duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong, sementara Risa baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, dan dia mengenakan pakaian santai.
Key memandang lantai, masih memikirkan kejadian aneh yang terjadi sepanjang perjalanan menuju Kumayan. Terutama suara aneh yang ia dan Andi dengar di tengah jalan. Suara itu... terasa begitu jelas, namun mengapa hanya mereka berdua yang mendengarnya? Apa sebenarnya yang sedang terjadi di desa ini? Apakah suara itu adalah peringatan? Key merasa kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan, seolah-olah ada sesuatu yang berusaha menghubunginya melalui mimpi buruk dan suara misterius itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Manusia Harimau New Generation : Kembali (Fan Fiction)
FanfictionSetelah mengalahkan Ratu Hang Ci Da dan pasukan silumannya, Key, Putra Alam, Alina, Sakti, dan Risa kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Memasuki semester 6, mereka memutuskan untuk menjalani KKN mandiri di Desa Kumayan, yang terkenal dengan...