29 - Whispers

359 40 3
                                    


Setelah beberapa hari, ketegangan di antara tim semakin terasa. Meski tak ada yang secara langsung menuduh Jaemin sebagai pengkhianat, atmosfer di sekeliling mereka sudah berubah. Bisikan-bisikan yang dulu terdengar samar, kini menjadi semakin jelas bagi Jeno. Kekuatan pendengarannya menangkap percakapan-percakapan yang semakin intens, namun tetap disampaikan dengan kehati-hatian, seolah takut memicu konflik terbuka.

"Kurasa Jaemin tahu sesuatu yang kita tidak tahu..." suara seorang anggota tim terdengar dari sudut lain ruangan, meski mereka mencoba berbicara pelan.

"Aku tidak pernah melihat dia bersikap aneh sebelumnya, tapi sekarang? Entahlah, ada yang berubah," balas yang lain, suaranya terdengar ragu-ragu.

Jeno merasakan kepalanya semakin penuh dengan suara-suara ini. Meski ia berusaha keras untuk mengabaikannya, setiap langkah yang ia ambil selalu diiringi dengan suara-suara sumbang tersebut. Hubungan antara Jaemin dan yang lain kian renggang, tanpa Jaemin menyadarinya secara langsung. Setiap kali Jaemin berbicara, orang-orang di sekitarnya mulai menghindar, senyum-senyum palsu yang cepat memudar begitu dia pergi.

Malam itu, setelah semua orang berpencar, Jeno kembali memeriksa ruangan. Di luar jendela, hujan terus turun membasahi jalanan, menciptakan irama monoton yang membuat suasana semakin suram. Pikirannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Jaemin—pertanyaan yang terus menghantuinya: Apakah aku mencurigai Jaemin?

Jeno ingin mempercayai Jaemin, his salvation. Namun, desas-desus yang ia dengar perlahan-lahan mengikis keyakinannya. Lucas mungkin salah, tapi bisakah semua orang juga salah? Setiap langkahnya kini dipenuhi keraguan, terjebak di antara kesetiaan dan kecurigaan yang terus tumbuh.

Ketika Jeno akhirnya kembali ke lantai utama, dia mendapati Jaemin duduk sendirian, memandang ke luar jendela yang dipenuhi oleh tetesan air hujan. Tanpa menoleh, Jaemin berujar pelan, "Aku bisa mendengarnya, kau tahu. Bisikan-bisikan mereka. Mereka tidak sehalus yang mereka kira."

Jeno tersentak mendengar itu. Jaemin memang tak memiliki kemampuan pendengaran super seperti dirinya, tapi dia bisa merasakan perubahan suasana. Bisikan-bisikan itu, meski pelan, telah menjadi lebih keras dan sulit diabaikan.

"Mereka mulai mencurigai aku, kan?" tanya Jaemin, tanpa berbalik.

Jeno hanya berdiri di sana, terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Apa yang bisa ia katakan pada Jaemin saat dunia di sekitar mereka mulai retak, sementara ia sendiri terombang-ambing antara kepercayaan dan keraguan?

Jaemin menghela napas panjang. "Aku hanya berharap kau tidak ikut mendengarkan mereka, Jeno. Hanya itu yang kuminta."

Jeno tak bisa menjawab. Di dalam hatinya, ia tahu, meski hanya sedikit, keraguan itu sudah menancap. Jika ia sepenuhnya mempercayai Jaemin, ia tidak akan membiarkan bisikan itu berlanjut begitu saja. Namun, ia sadar bahwa dirinya yang tidak mengambil tindakan apapun untuk melindungi Jaemin adalah bukti keraguannya pada Jaemin.

***

Hari-hari berikutnya berlalu dengan atmosfer yang semakin berat.

Jaemin tetap berusaha berbaur dengan tim, tetapi perlahan, langkah-langkah kecil menjauh dari lingkaran kepercayaan mulai terlihat jelas. Seperti api yang merambat tanpa suara, desas-desus tentang pengkhianat terus menyebar, menggerogoti hubungan di antara mereka. Jaemin tak pernah menanyakan lagi soal percakapan terakhirnya dengan Jeno, tapi setiap gerakannya seperti bayangan dari sebuah kecurigaan yang semakin membesar.

Sementara itu, Jeno mencoba tetap tenang, memantau bisikan-bisikan yang terus bergulir. Meski hatinya masih berusaha percaya pada Jaemin, bisikan-bisikan itu seakan menjadi fakta yang membuatnya berpikir yang mereka katakana itu benar. Beberapa misi kecil yang baru-baru ini mereka lakukan gagal—informasi yang seharusnya hanya diketahui oleh tim inti, bocor. Dan entah bagaimana, Jaemin selalu berada di tempat yang membuatnya seolah bertanggung jawab.

Suatu hari, ketika mereka merencanakan misi penyusupan untuk memperoleh informasi penting dari seorang informan di pelabuhan tua, Jeno mendengar suara-suara samar dari sudut ruangan.

"Jaemin ada di sana, kan? Bagaimana kita bisa percaya padanya lagi?" Suara itu hampir tak terdengar, tetapi bagi pendengaran tajam Jeno, itu jelas.

"Aku juga merasa seperti itu. Setiap kali dia ikut dalam misi, sesuatu selalu terjadi," balas suara lain.

Jeno menahan diri untuk tidak bereaksi. Ia mengamati Jaemin dari kejauhan, yang tengah meneliti rencana di papan, tampak fokus. Tapi di dalam hatinya, Jeno merasakan kegelisahan yang semakin tak bisa ia abaikan. Bagaimana mungkin semua ini kebetulan?

Keesokan harinya, suasana di markas semakin panas. Desas-desus tentang Jaemin semakin meluas, dan seolah ada kabut ketidakpercayaan yang menggantung di udara. Jeno berusaha mengabaikan semuanya, namun ketegangan di antara tim semakin sulit untuk ditepis.

Mark, Haechan, dan Jaehyun akhirnya menghampirinya di sudut ruangan. Mereka bertiga tampak kesal, dan tatapan mereka tertuju langsung pada Jeno, yang selama ini memilih untuk diam dalam ketidakpastian.

"Jeno, kita harus bicara," kata Mark dengan nada tegas. Dia tidak lagi mencoba menahan frustrasinya.

Jeno, yang sedang duduk sambil memandangi kopi di tangannya, mengangkat wajahnya perlahan. "Apa yang ingin kalian bicarakan?"

Haechan, yang biasanya ceria dan penuh candaan, kali ini juga tampak serius. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan Jaemin? Kau tidak bisa terus berdiam diri seperti ini!"

Mark menambahkan, "Kita semua mendengar rumor itu, dan kau tidak melakukan apa-apa untuk menghentikannya. Kau yang paling dekat dengannya, Jeno. Kalau kau tidak bicara, siapa lagi yang akan membelanya?"

Jeno menatap ketiga temannya dengan rasa bersalah yang mulai menguasainya. Ia tahu, mereka benar. Seharusnya, dia lebih tegas, lebih vokal membela Jaemin, tapi kebingungannya sendiri membuatnya diam selama ini.

"Ini bukan soal tidak melakukan apa-apa, Mark," balas Jeno, nadanya pelan. "Aku hanya... aku tidak tahu siapa yang bisa kupercaya sekarang."

Jaehyun, yang selama ini lebih tenang, akhirnya angkat bicara. "Tapi ini Jaemin, Jeno. Kau tahu dia. Selama ini, kalian selalu bersama. Apa kau sungguh percaya dia pengkhianat?"

Haechan mendekat, wajahnya menampilkan rasa kecewa yang mendalam. "Jeno, kalau kau diam saja, kita semua akan mulai percaya pada rumor itu. Dan Jaemin akan semakin terisolasi."

Jeno terdiam, rasa bersalah semakin menghimpitnya. Tapi di balik semua itu, ada kebenaran pahit yang tak bisa ia abaikan: kecurigaan Lucas, bisikan-bisikan yang terus beredar, dan sikap Jaemin yang seolah semakin tertutup.

"Aku tahu," Jeno akhirnya berkata, suaranya lelah. "Tapi aku masih butuh waktu untuk berpikir. Ini semua terlalu cepat."

Mark mendesah keras. "Jeno, kita tidak punya waktu. Jika kau tidak melakukan sesuatu, Jaemin akan terjebak di sini sendirian. Kau harus mengambil sikap sekarang."

Jeno menunduk, menatap kopi di tangannya yang dingin. Ia tahu bahwa keputusan ini ada di tangannya, dan semakin ia menunda, semakin buruk keadaan akan menjadi. Namun, dengan semua desas-desus yang berputar di sekitar mereka, ia masih terjebak di antara kesetiaan dan keraguan yang mendalam.


To Be Continued..

Jangan Lupa Like and Comment nya ya..

Bond IN Bondage S2 || Nomin~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang