40 - On the Edge of Forgiveness

470 56 10
                                    

Jeno memperhatikan dengan cemas ketika tubuh Jaemin mulai goyah, dan seketika ia sadar bahwa Jaemin mungkin sudah tak kuat lagi. Dengan cepat, Jeno bergerak, mengabaikan rasa sakit di punggungnya. Ia mengulurkan tangannya untuk menopang kepala Jaemin sebelum jatuh terlalu keras.

"Jaemin!" panggilnya dengan nada khawatir.

Namun, Jaemin tidak merespon, tubuhnya mulai merosot, dan napasnya terdengar lemah. Jeno, dengan cepat mengangkat tubuh Jaemin dalam pelukannya, memastikan kepalanya bersandar lembut di dadanya. Meski tubuhnya lelah dan penuh luka, Jeno tidak peduli pada dirinya sendiri. Satu-satunya hal yang ada di pikirannya sekarang adalah memastikan Jaemin baik-baik saja.

Dengan hati-hati, Jeno menggendong Jaemin keluar dari ruangan itu, menuju kamar mereka. Setiap langkah terasa berat, baik karena luka-lukanya maupun beban emosional yang kini menggerogoti hatinya. Dia menekan perasaan bersalah yang semakin membesar. Meski Jaemin telah meluapkan amarahnya, Jeno tahu ini belum berakhir. Namun, yang penting sekarang adalah membuat Jaemin merasa aman.

Di luar, Mark, Jaehyun, dan Haechan hanya bisa menundukkan kepala mereka. Mereka tahu apa yang baru saja terjadi, dan saat melihat punggung Jeno yang penuh dengan luka, kulitnya yang terkoyak oleh cambukan, dan darah yang mulai mengalir dari luka-lukanya, mereka tetap tak mampu berkata apa-apa. Mereka tahu bahwa Jeno tidak peduli pada rasa sakit yang dideritanya—satu-satunya yang ia pikirkan saat ini hanyalah Jaemin.

Jeno berjalan melewati mereka tanpa sepatah kata pun. Hanya suara langkahnya yang terdengar, bercampur dengan tetesan darah yang jatuh dari punggungnya ke lantai. Setiap tetes menciptakan noda merah gelap yang segera membekas di lantai yang dingin.

Anggota tim lain yang berada di sekitarnya melihat pemandangan itu—Jeno menggendong Jaemin yang tertidur tak sadarkan diri dalam pelukannya, sementara darah terus mengalir dari luka di tubuh Jeno. Mereka yang tadinya berbicara atau bergerak, kini membisu. Mata mereka mengikuti langkah Jeno, terpaku pada darah yang mulai menetes dan membasahi lantai di bawahnya. Namun, tak ada yang berani bergerak mendekat atau bertanya. Mereka hanya bisa menyaksikan dalam keheningan yang suram.

Mark mengatupkan rahangnya, menahan rasa bersalah yang mendesak dalam dadanya, sementara Jaehyun menghela napas panjang, tidak bisa menyembunyikan kepedihan di wajahnya. Haechan mengalihkan pandangannya, tidak tahan melihat luka-luka di tubuh Jeno yang begitu parah, namun tetap tak dihiraukannya.

Jeno terus melangkah, seolah-olah beban fisik maupun emosional yang ia pikul tidak cukup untuk menghentikannya. Meski rasa sakit menjalari punggung dan tubuhnya, ia tetap fokus pada satu hal: memastikan Jaemin aman. Saat akhirnya ia mencapai kamar mereka, Jeno dengan hati-hati menurunkan Jaemin ke tempat tidur, menyelimuti tubuhnya dengan penuh kasih sayang, meskipun tubuhnya sendiri mulai melemah karena kelelahan dan luka-luka yang menganga.

Dengan tangan yang gemetar, Jeno menyentuh dahi Jaemin, mengusap rambutnya dengan penuh kasih. Dia menunduk, menahan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. "Maafkan aku, Jaemin...," bisiknya pelan, suaranya penuh penyesalan.

***

Jaemin terbangun dari tidurnya dengan kepala yang masih berat dan pandangan yang buram. Telinganya menangkap suara gaduh samar dari luar kamar, seperti orang-orang yang berdebat. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ia jatuh tertidur. Lalu semuanya kembali ke ingatannya—kemarahannya, cambukan yang ia layangkan, dan Jeno.

Pikirannya yang mulai jernih membuatnya sadar ada yang salah. Dengan perlahan, Jaemin berusaha bangun dari tempat tidur, menoleh ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Suara yang lebih jelas mulai terdengar.

"Jeno, kau harus mengobati lukamu sekarang! Kau tidak bisa terus membiarkan itu terbuka!" Suara itu terdengar penuh kekhawatiran—itu suara Haechan.

"Aku akan baik-baik saja. Aku... akan menunggu Jaemin," jawab Jeno, suaranya serak tapi tetap tegas. "Aku tidak akan mengobati lukaku sampai Jaemin mengizinkannya."

Jaemin menahan napas, rasa bersalah mulai menggerogoti dirinya saat mendengar Jeno dengan gigih menolak perawatan. Tubuh Jeno yang sudah ia sakiti, penuh luka akibat cambuknya, dan kini Jeno menolak diobati hanya demi menunggu kata darinya?

Haechan, Mark, dan Jaehyun tampaknya tak bisa meyakinkan Jeno. "Jeno, ini gila! Kau bisa kehilangan banyak darah jika dibiarkan seperti ini," tambah Mark, suaranya penuh frustrasi.

"Tidak, aku tidak akan bergerak. Aku menunggu Jaemin," Jeno kembali menegaskan, kali ini lebih lembut namun tetap tak tergoyahkan.

Jaemin tertegun mendengar tekad itu. Sebuah perasaan campur aduk mulai memenuhi hatinya. Perlahan, dengan tubuh yang masih lemah, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Saat ia membukanya lebih lebar, mata semua orang di luar langsung tertuju padanya.

Mark, Haechan, dan Jaehyun terdiam melihat Jaemin yang kini berdiri di ambang pintu, sementara Jeno menoleh dengan tenang ke arahnya meski darah masih merembes dari luka-lukanya.

"Jeno..." Jaemin memanggil dengan suara serak, "kenapa kau begitu keras kepala?"

Jeno tersenyum tipis, meskipun wajahnya terlihat lelah. "Karena aku menunggumu, Jaemin. Hanya kau yang bisa mengizinkanku sembuh."


To be Continued..
Jangan Lupa Like and Commentnya ya^^

Bisalah ya ngebayangin apa yg di skip kan ya?? 

Bond IN Bondage S2 || Nomin~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang