25 - Prelude

537 56 4
                                    


Jeno menarik Jaemin lebih dekat, memperdalam ciumannya seakan-akan ingin menyatu dengan pria di hadapannya. Nafas mereka mulai memburu, udara di antara mereka terasa lebih berat, namun tak ada satu kata pun yang diucapkan. Sentuhan yang mereka bagi seolah menjadi satu-satunya bahasa yang dibutuhkan malam itu.

Ketika akhirnya mereka berhenti untuk menghirup udara, mata Jaemin perlahan terbuka. Ada kehangatan di sana, meskipun samar-samar, bayangan kelelahan dan kecemasan masih tertinggal di matanya. Jeno bisa merasakannya, dan untuk sesaat, dia merasa sedikit bersalah telah menyeret Jaemin ke dalam kekacauan ini. Namun, di balik perasaan itu, rasa egoisnya tetap kuat—ia tak bisa membiarkan Jaemin pergi, tak peduli seberapa berbahayanya situasi yang mereka hadapi.

"Apa kau memikirkan sesuatu?" suara Jaemin terdengar lemah namun tenang, matanya menatap lurus ke arah Jeno.

Jeno menahan nafas sejenak, mencoba meredam gelombang emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. "Aku hanya berpikir... mungkin kau lebih baik tidak di sini."

Jaemin menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Aku memilih berada di sini, Jeno. Aku tahu risikonya."

"Tapi tempat ini tidak aman. Mereka mungkin akan datang kapan saja." Jeno bergumam, jemarinya masih dengan lembut mengusap leher Jaemin, seakan khawatir akan kehilangan sentuhan itu dalam sekejap.

Jaemin menghela nafas, tangannya meraih tangan Jeno yang berada di lehernya. "Kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang. Lagipula, aku lebih suka berada di sisimu, meski berbahaya, daripada pergi dan meninggalkanmu sendirian."

Kata-kata itu membuat dada Jeno terasa hangat, meski kekhawatiran tetap menghantuinya. Mereka telah melewati terlalu banyak hal bersama. Setiap luka, setiap bahaya, membuat ikatan mereka semakin kuat, tak terpisahkan. Meski begitu, ia tidak bisa mengabaikan bayangan kelam yang semakin mendekat. Ada sesuatu yang salah di antara kelompok mereka, dan ia harus menemukan siapa pengkhianat itu sebelum semuanya terlambat.

"Kalau begitu," Jeno berbisik di telinga Jaemin, suaranya rendah dan lembut, "kita harus bersiap. Don't let your guard down."

Jaemin mengangguk pelan, pandangannya tak lepas dari Jeno. Dia tahu bahwa situasi semakin rumit, dan di balik sikap tegar Jeno, ada ketakutan yang sama yang dirasakannya. Ketegangan di antara mereka tidak hanya berasal dari ancaman luar, tetapi juga dari rasa saling memiliki yang mulai mengaburkan batas-batas mereka.

"Apa rencana kita sekarang?" Jaemin bertanya, suaranya terdengar tenang meskipun dia merasakan kegelisahan yang mulai menguasai hatinya.

Jeno berdiri perlahan, tangannya tak lepas dari Jaemin seolah takut kalau melepaskan, semuanya akan berantakan. "Aku akan mengatur beberapa orang yang kupercayai, seseorang yang akan membantu kita memancing pengkhianat sebenarnya keluar.

Jaemin menegakkan tubuhnya di tempat tidur, matanya terfokus pada Jeno. "Apakah kau yakin bisa mempercayainya?"

Jeno menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya sejenak. "Aku tidak yakin sepenuhnya, tapi kita tidak punya pilihan lain. Jika kita tetap di sini lebih lama tanpa petunjuk, kita hanya akan memberikan keuntungan untuk musuh lain diluar sana dengan memanfaatkan situasi kita yang saling meragukan dan menunggu kehancuran kita sendiri dari internal ." Wajahnya mengeras saat mengatakan itu, penuh dengan kekhawatiran yang jelas sulit disembunyikan.

Keheningan menyelimuti ruangan. Keduanya tahu bahwa waktu tidak berpihak pada mereka, dan ketidakpastian terus menghantui setiap langkah mereka.

"Aku akan bersiap-siap," kata Jaemin, turun dari tempat tidur. "Aku tidak ingin jadi beban untukmu, Jeno. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama."

Kata-kata Jaemin membuat Jeno merasa sedikit lebih ringan, meski ancaman di depan masih sangat nyata. Satu hal yang ia tahu pasti, ia tidak akan membiarkan apa pun terjadi pada Jaemin.

Ketika Jaemin pergi ke kamar mandi untuk bersiap-siap, Jeno mengambil napas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan di dalam dirinya. Dia berjalan ke jendela kecil yang menghadap ke jalan sempit di luar, mengamati setiap gerakan. Hujan mulai turun perlahan, menambah suasana kelam di sekitar mereka.

Tiba-tiba, suara ponsel Jeno bergetar di sakunya. Dia meraihnya dan melihat pesan singkat dari salah satu anggota kelompoknya, Lucas.

"Kita punya masalah. Ada yang mengawasi kita. Bertemu di tempat biasa, jangan bawa Jaemin."

Pikiran Jeno langsung berputar cepat. Ini berarti bahwa situasinya lebih serius dari yang dia duga. Pengkhianat itu mungkin sudah lebih dekat dari yang mereka bayangkan. Tapi bagaimana bisa dia meninggalkan Jaemin sendirian?

Saat Jaemin keluar dari kamar mandi, mengenakan pakaian yang siap untuk bergerak cepat, Jeno memandangnya dengan perasaan campur aduk. Dia tahu harus mengambil keputusan sekarang—keputusan yang bisa mengubah segalanya.

"Jaemin," Jeno memulai, suaranya sedikit bergetar. "Ada sesuatu yang harus aku lakukan. Sesuatu yang berbahaya, dan aku tidak ingin kau ikut kali ini."

Jaemin memandangnya dengan tatapan tajam, menolak dengan tegas. "Kau tidak bisa pergi tanpa aku, Jeno. Apapun yang terjadi, aku akan bersamamu."

Jeno menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. "Tolong, percayalah padaku kali ini. Aku tidak ingin kau terlibat dalam bagian ini. Ini terlalu berisiko."

Namun, dari tatapan Jaemin, Jeno tahu bahwa pria itu tidak akan mundur dengan mudah.


To be Continued..

Jangan Lupa Like and Comment nya ya..


Bond IN Bondage S2 || Nomin~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang