"Cla!" panggil Sarah sembari membereskan alat tulisnya ke dalam tas karena memang bel pulang sudah berbunyi 5 menit yang lalu.
"Hmm!" sahut Clarista yang masih senantiasa diam di tempat tanpa membereskan barang-barangnya.
"Temenin gue yu ke toko buku sekalian jalan-jalan, itung-itung ngilangin setres lo. Akhir-akhir ini gue lihat lo kayak orang banyak beban, murung terus," kata Sarah yang sebenarnya sudah kesal dengan gelagat Clarista akhir-akhir ini.
Alih-alih menanggapi perkataan Sarah, Clarista masih saja diam tanpa merubah posisinya sedikitpun. Jelas itu membuang Sarah naik darah bahkan tangannyapun mengepal kuat dan hendak menerkam sahabatnya itu.
Brugh!
Sarah menggebrak meja dengan sekuat tenaga membuat Clarista terkejut bukan main. Matanya melotot tajam, tentu saja mengarah pada orang yang berada di sampingnya. Beruntung keadaan kelas sudah sepi, hanya tersisa mereka berdua alhasil prilaku Sarah tadi tidak memicu kericuhan, hanya saja memicu kemarahan Clarista.
"Lo apa-apaan sih? Mau bikin gue mati?" kesal Clarista.
"Elo yang apa-apaan? Gue udah kek ngomong sama batu, tahu gak?" balas Sarah tak kalah kesal.
Terlebih dahulu Clarista menghela napasnya gusar dibarengi dengan tangannya yang sibuk merapihkan alat tulisnya ke dalam tas sekolah.
"Emang lo ngomong apa?" tanya Clarista meminta penjelasan.
"Gak jadi. Gak penting juga, udah males gue sama lo," kata Sarah lalu memilih pergi meninggalkan Clarista. Karena menurutnya, untuk saat ini peduli pada Clarista hanya buang-buang waktu.
"ANJIR NGAGETIN GUE AJA LO!"
Teriakan itu sukses membuat lamunan Clarista buyar. Tanpa melihatpun Clarista sudah tahu itu suara milik Sarah. Rasa penasaranpun tiba, Claristapun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju keluar kelas. Namun baru saja sampai di ambang pintu, langkah Clarista terhenti dikarenakan Sarah yang senantiasa berdiri di sana.
"Lo kenapa sih?"
Belum sempat Clarista mendapat jawaban dari Sarah, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Elvaro yang tengah berdiri tepat di hadapan Sarah.
Tatapan mata Elvaro mengarah pada Clarista, terlihat begitu dingin dan membuat Clarista sedikit tertegun.
"Lo ngapain di sini?" tanya Clarista pura-pura tidak tahu padahal ia sendiri sudah tahu apa maksud kedatangan Elvaro.
"Lo gak usah pura-pura bego. Ayo buruan!" tegas Elvaro.
Sedang di tempatnya, Sarah nampak diam sembari menyaksikan interaksi antara Clarista juga Elvaro. Sedikit lucu dan bahkan mampu membuat Sarah sedikit terhibur.
"Jadi lo gak mau nemenin gue karena lo udah punya janji sama dia. Gituh ya lo sekarang sama gue?" sindir Sarah.
"Eh enggak, gak gituh, Sar!" ujar Clarista yang bingung menjelaskannya harus bagaimana.
"Ya udahlah, gue balik aja!" kata Sarah lalu berjalan cepat meninggalkan Clarista juga Elvaro.
Clarista hendak berjalan mengejar langkah Sarah namun tanpa disangka sebuah tangan menahan pergelangan tangannya membuat Clarista membatalkan niatannya.
"Ikut gue! Cepet!" ujar Elvaro penuh penegasan.
Tak ada pilihan lain, Claristapun membiarkan dirinya dibawa oleh Elvaro ke parkiran sekolah lalu iapun dipaksa naik ke atas motornya.
Sudah setengah perjalanan namun Clarista merasa begitu asing dengan jalanan yang ia lalui saat ini.
Bukan arah menuju pulang juga bukan mengarah ke arah perkotaan dan saat itu pula pikiran-pikiran buruk masuk ke dalam kepala Clarista.
"Lo mau nyulik gue? Lo mau bawa gue ke mana?" tuding Clarista.
Sudah 10 menit berlalu namun Elvaro tak kunjung menjawabnya. Tentu saja hal itu membuat Clarista semakin cemas bahkan tanpa sadar ia berontak di atas motor milik Elvaro yang tengah berjalan.
"Eh lo mau bawa gue ke mana? Lo jangan macem-macem sama gue! Gue mau pulang!" cerocos Clarista sembari memukul punggung Elvaro.
Kekesalan Elvaro yang sudah berada di puncak sudah tak bisa ia tahan lagi. Alhasil iapun memilih menepikan motornya lalu menoleh ke belakang.
"Lo bisa diem gak? Lo mau kita celaka? Gue belum mau mati ya, masih ada masalah yang belum gue selesain di dunia," kata Elvaro penuh penegasan.
"Gue juga belum mau mati tapi seenggaknya kasih tahu gue, lo mau bawa gue ke mana biar gue gak mikir macem-macem!" balas Clarista.
"Lihat aja, nanti lo juga bakal tahu. Lagipula, gak ada untungnya juga macem-macemin lo. Gak ada menarik-menariknya!" kata Elvaro terdengar sangat kejam.
Jika mengikuti kata hati, tentu saja Clarista kesal bahkan berkeinginan untuk menghajar Elvaro. Namun mengingat keselamatan dirinya yang hampir terancam alhasil Claristapun diam dan memilih mengikuti apa yang diminta Elvaro tadi, yaitu diam.
Lima menit berlalu, motor yang Elvaro kendaraipun terparkir di sebuah halaman yang sukses membuat Clarista semakin cemas.
"Tempat pemakaman umum!" eja Clarista di dalam hati.
Sekejur tubuh Clarista terasa dingin bahkan tak terasa pelupuk matanyapun sudah terasa berat.
"Ikut gue!" ajak Elvaro sembari meraih pergelangan tangan Clarista.
"Sebenarnya kita mau ngapain ke sini?" lirih Clarista.
Elvaro jelas tahu bahwa Clarista tengah menahan tangis namun ia sengaja berlaga pura-pura tidak tahu dan tetap membawa Clarista ke dalam TPU itu.
Pandangan mata Clarista menyapu ke setiap penjuru TPU itu. Keadaan di sana cukup ramai jadi tak seharusnya Clarista merasa terlalu cemas namun tetap saja Clarista tidak bisa menyingkirkan perasaannya itu.
Langkah keduanya terhenti di salah satu makam yang terlihat begitu bersih juga rapih serta sudah dipasangkan keramik.
"Ini makam siapa?" tanya Clarista.
Alih-alih menjawab pertanyaan dari Clarista, yang dilakukan Elvaro adalah berjongkok sembari mengeluarkan botol berisi air juga plastik berisi bunga dari dalam tasnya.
Tak sampai di situ, Elvaro juga langsung menyiramkan air ke atas tanah makam itu lalu dilanjutkan dengan menaburkan bunga yang sudah ia persiapkan.
"Lo denger gak gue nanya tadi?" tanya Clarista yang sudah merasa kesal.
"Denger. Tapi lo bisa baca kan?" Elvaro balik bertanya dengan tak kalah kesal.
"Ya bisalah," balas Clarista lengkap dengan nada sewotnya.
"Ya udah tinggal baca kan ada namanya di situ!"
Tak ingin terus berdebat di tempat yang bukan seharusnya, Clarista memilih diam dan memberanikan diri untuk membaca nama yang tertulis di batu nisan itu.
ELDRIAN PUTRA WICAKSANA
Nama itu yang bisa Clarista baca di atas batu nisan itu. Sedikit tidak asing dengan nama itu namun Clarista tidak mengingat di mana dan kapan ia tahu dengan nama itu.
Ada yang beda dari raut wajah Elvaro saat ini. Terlihat murung juga seperti menahan amarah. Besar keinginan Clarista untuk bertanya namun ia juga sedang tidak ingin berdebat jikalau nanti jawaban yang Elvaro berikan tidak sesuai dengan harapan Clarista. Alhasil Clarista memilih diam dan membiarkan Elvaro selagi Elvaro tak bertindak membahayakan dirinya.
"Ini makam kakak gue!" kata Elvaro.
Clarista tak menanggapi apapun, bukan bermaksud tak sopan ataupun tak merasa iba. Clarista hanya takut kalau apa yang ia katakan salah.
"Dia meninggal satu tahun yang lalu karena sakit," lanjut Elvaro.
"Sakit apa?" Akhirnya Clarista memberanikan diri untuk bertanya walau dalam hati ia masih merasa cemas.
"Mungkin jika sakit fisik ia masih bisa sembuh tapi sayang, sakit yang ia derita adalah sakit hati," kata Elvaro yang sukses membuat Clarista kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIPU DAYA CINTA
Roman pour AdolescentsKata orang cinta itu indah. Di mana kita bisa disayangi sepenuh hati, diberi perhatian tanpa pamrih juga dilindungi tanpa dipinta. Tapi tidak bagi Clarista, ia terjebak dalam sebuah permain cinta yang penuh dengan tipu daya. Diberi suka juga diberi...