"Kenapa muka lo kusut kayak gituh? Padahal hari ini lo gak telat jadi gak bakal kena hukum atau cari-cari alesan lagi."
Kedatangan Clarista ke dalam kelas langsung disambut dengan ocehan Sarah. Maksud Sarah memang baik, ingin mengetahui keadaan sahabatnya yang kelihatannya sedang tidak baik-baik saja tapi sepertinya Clarista saat ini sedang tidak ingin diganggu, terbukti dengan Clarista yang langsung duduk di tempatnya tanpa menjawab pertanyaan dari Sarah.
Tak ingin ambil pusing, Sarahpun memilih diam dan kembali melanjutkan aktivitasnya, yaitu membaca novel yang baru ia beli kemarin. Memang salah satu hobby Sarah adalah 'membaca novel' karena bagi Sarah dengan membaca novel ia bisa melupakan sejenak masalah yang sedang hadapi juga membuat hatinya sedikit lebih tenang.
Tentang perintah Elvaro tadi cukup membuat pikiran Clarista terbebani. Ia bingung harus menanggapinya bagaimana. Clarista hanya takut kalau saja nanti Elvaro akan berbuat yang di luar akal sehat walau Clarista sendiri yakin itu tidak akan mungkin terjadi tapi tetap saja Clarista cemas.
[Awas nanti jangan sampai telat. Apalagi kalau sampai gak datang!]
Clarista dikagetkan dengan notifikasi pesan yang baru saja masuk. Keningnya sedikit berkerut tanda ia tengah kebingungan.
Dibukanya pesan itu yang hanya menampilkan nomer lalu dibukanya profil nomer itu. Tidak ada username juga fotonya hanya menggunakan foto buku.
Melihat dari isi pesan Clarista bisa tahu siapa dalang di balik pesan itu namun ada satu hal lain yang membuatnya bingung. Dari mana ia bisa mengetahui nomer ponsel Clarista?
"Dari mana dia tahu?" gumam Clarista pada dirinya sendiri.
"Oh iya, Cla! Gue mau ngomong sesuatu sama lo, tadinya mau gue omongin semalam tapi gue lupa," kata Sarah sembari meletakan novelnya di atas meja.
"Kenapa?" tanya Clarista.
"Kemarin pas pulang sekolah, gue sempet papasan sama Elvaro terus dia nahan gue dan lo tahu kenapa?" tutur Sarah dan Claristapun menanggapinya dengan kedua halis yang ia angkat.
"Dia minta nomer lo jadi ya udah gue kasih aja," lanjut Sarah.
Terdengar helaan napas gusar dari Clarista namun Sarah tak terlalu memikirkan hal itu. Tak lama, bel masukpun berbunyi disusul dengan seorang guru yang memasuki kelas dan hendak memulai pembelajaran.
*****
Waktu seakan terasa cepat. Tak terasa saat ini sudah memasuki jam istirahat. Waktu yang biasanya paling dinantikan oleh Clarista namun tidak untuk saat ini. Jujur, sebenarnya Clarista masih belum mengerti dengan maksud Elvaro, ia takut hal buruk akan terjadi.
"Lo gak mau ke kantin?" tanya Sarah yang sudah heran dengan tingkah laku Clarista dari tadi.
"Lo duluan aja kalau udah laper!" balas Clarista.
Kening Sarah mengernyit bingung dengan pandangan mata yang tak lepas dari Clarista. "Tumben banget. Lo gak papa kan?" tanyanya memastikan.
"Gak papa kok. Aman," alibi Clarista.
Bohong jika Sarah percaya begitu saja namun ia tak ingin terus berdebat dan membiarkan waktu istirshat terbuang begitu saja. Maka dari itu Sarahpun memilih pergi, meninggalkan Clarista yang masih bergelut dengan pikirannya.
Lagi, ponsel Clarista kembali berdering menandakan ada pesan masuk. Kembali pesan itu dikirimkan oleh kontak yang hanya tertera nomernya saja. Memang, Clarista belum sempat menyimpan nomer Elvaro.
[Satu menit lagi gue tunggu di kantin!]
Mata Clarista melotot tajam ketika ia membaca isi pesan itu. Gelisah juga takut bercampur menjadi satu namun meskipun begitu, mau tak mau rasanya Clarista harus menepati janjinya. Bagaimana inilah risiko yang harus ia ambil.
Berjalan dengan dipenuhi rasa gugup, Clarista mengabaikan tatapan orang-orang yang ia lewati. Walaupun dalam hati ia sudah merasa sangat geram karena tak sedikit dari mereka yang terang-terangan membicarakan Clarista. Ia jelas marah, namun Clarista tak bisa bertindak seenaknya karena ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi orang yang lebih baik.
Sesampainya di kantin, Clarista mengedarkan pandangannya guna mencari keberadaan Elvaro. Setiap sudut sudah terawang namun orang yang ia cari tak kunjung ditemukan.
Tak ada cara lain, Claristapun merabu saku roknya guna mengambil ponsel yang akan ia gunakan untuk menghubungi Elvaro.
Sudah memasuki panggilan ke-3 namun Elvaro tak kunjung menerima panggilannya. Hingga pada akhirnya Claristapun geram dan merasa dipermainkan maka iapun memutuskan untuk kembali ke kelas.
Di kala dirinya hendak berbalik badan, seseorang berhasil menahannya dari belakang membuat Clarista hampir naik pitam.
"Siapa lo? Berani-beraninya nyen ... "
Kalimat itu tak Clarista selesaikan ketika ia sudah mengetahui bahwa orang itu adalah orang yang sedari tadi ia cari.
"Mau ke mana lo? Kabur?" tanya Elvaro.
Dengan cepat, Claristapun menepis tangan Elvaro yang sedari tadi mencengkram tangannya. "Enak aja. Jangan asal nuduh ya. Gue dari tadi di sini, gue cari-cari, gue telponin tapi lo gak gubris jadi ya udah mendingan gue balik daripada gue di sini planga plango kek orang bego," cerocos Clarista.
"Udah ngocehnya?" tanya Elvaro dan Clarista hanya mengernyitkan keningnya sebagai respon. "Ikut gue!" lanjutnya.
Pasrah, Claristapun membiarkan dirinya dibawa oleh Elvaro memasuki area kantin yang cukup padat. Hal itu tentu saja sukses membuat suasana kantin menjadi semakin ricuh. Bahkan banyak di antara mereka yang tak terima dengan kedekatan Elvaro juga Clarista.
"Kurang ajar banget mereka ngata-ngatain gue. Heran deh, padahal lo gak keren-keren banget tapi kenapa mereka udah kek kesetanan banget kalau ngelihat lo pake acara ngumpat-ngumpatin gue juga," gerutu Clarista.
"Udah biarin aja. Gak usah didengerin. Terimain aja, namanya juga risiko digandeng sama cowok ganteng. Gak cuma modal ganteng doang tapi juga pinter," balas Elvaro.
"Najis," umpat Clarista.
Merekapun sampai di tempat yang sudah Elvaro siapkan. Meja kantin yang berada di pojok, yang jarang orang lain tempatin, lebih tepatnya seperti private room. Di atas meja sudah banyak terhidang makanan, dari mulai makanan berat berupa bakso, cemilan juga minuman dingin.
Sedikit heran namun tak dapat dipungkiri bahwa Clarista merasa senang dan Elvaro menyadari hal itu.
"Duduk. Terus makan!" titah Elvaro.
Dengan raut yang masih belum percaya, Clarista duduk sembari menatap makanan yang sudah terhidang.
"Ini lo yang nyiapin?" tanya Clarista.
"Bukan. Mang Maman yang nyiapin, gue cuma beli," balas Elvaro santai.
Rasa kagum yang tadi sempat Clarista rasakan berubah menjadi rasa kesal juga jengkel. Ia ingin mengumpat tetapi sebisa mungkin Clarista tahan.
"Ya tapi kalau lo gak beli terus gak minta disiapin, Mang Maman juga gak bakal nyiapin," balas Clarista.
"Ya terus salah gue di mana? Bener kan yang nyiapinnya Mang Maman bukan gue? Gak mungkin dong Mang Maman ngizinin gue nyiapin bakso sendiri yang ada nanti resepnya gue ambil terus gue buka warung bakso sendiri nanti nambah dong saingan Mang Maman," ujar Elvaro.
"Suka-suka lo aja!" balas Clarista yang sudah kesal. Lalu merekapun memilih menyantap makanan yang sudah terhidang di atas meja.
"Nanti pulang sekolah bareng gue!" ujar Elvaro membuat Clarista yang tengah melahap baksonya itu hampir saja tersedak.
"Apa lo bilang?" tanya Clarista memastikan.
"Lo budek apa bego?" Elvaro balik bertanya yang menurut Clarista itu sebuah ejekan.
"Lo bisa gak, gak usah ngatain gue?" kata Clarista setengah memelas.
"Ingat! Jangan harap lo bisa kabur dari gue. Lo sendiri kan yang minta sama gue buat bantuin lo!" tegas Elvaro lalu memilih pergi meninggalkan Clarista.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIPU DAYA CINTA
Ficção AdolescenteKata orang cinta itu indah. Di mana kita bisa disayangi sepenuh hati, diberi perhatian tanpa pamrih juga dilindungi tanpa dipinta. Tapi tidak bagi Clarista, ia terjebak dalam sebuah permain cinta yang penuh dengan tipu daya. Diberi suka juga diberi...