Sorot mata kemarahan terpancar semakin jelas di manik mata Elvaro. Ia melangkah mendekat ke arah Clarista dengan tatapan dinginnya membuat Clarista bergidik ngeri.
"Tadinya gue sempet tersentuh dengan pengakuan lo tapi ternyata ... "
Clarista menelan salivanya kasar. Jujur ia takut melihat ekspresi Elvaro yang dingin seperti itu. Kaki Clarista melangkah mundur, berniat mencari celah untuk pergi dari hadapan Elvaro namun ternyata gagal karena saat ini tubuh Clarista sudah bertabrakan dengan dinding.
"Ikut gue!" tegas Elvaro sembari menarik pergelangan tangan Clarista dan membawanya ke lapangan basket indoor.
"Lo ngapain bawa gue ke sini? Lo mau macem-macem sama gue?" tuding Clarista.
Elvaro berdecak kesal sembari menatap nyalang ke arah Clarista, "dipikir gue selera gituh sama lo?"
Tak ada tanggapan apapun lagi dari Clarista. Ia lebih memilih diam sebelum dirinya kembali mengundang kemarahan Elvaro. Walau terlihat tenang, dalam hati sejujurnya Clarista merasa cemas juga takut apalagi ketika ia teringat kembali dengan kejadian beberapa waktu lalu.
"Gue bawa lo ke sini karena gue gak mau kalau orang-orang ngiranya gue mau ngasarin lo atau apalah itu. Gue cuma mau negasin satu hal sama lo, jangan pernah lo pura-pura bersikap baik apalagi so mau minta maaf ataupun makasih ke gue kalau itu bukan atas inisiatif dan kesadaran diri lo. Gue gak suka dan gue benci sama orang-orang munafik apalagi sama orang yang so punya segalanya!"
Setelah penegasan itu, Elvaropun memilih pergi meninggalkan Clarista seorang diri.
Di tempatnya, Clarista hanya mampu diam sembari menatap keberadaan Elvaro yang semakin lama semakin menjauh. Mulutnya ingin sekali berteriak, meminta untuk Elvaro berhenti dan menemani dirinya. Namun rasanya itu akan sulit untuk dilakukan alhasil Clarista tak ada pilihan lain selain ia mengejar langkah Elvaro lalu menahan lengannya.
"Tungguin gue! Dengerin penjelasan gue dulu!" pinta Clarista.
Elvaro menepis tangan Clarista yang sukses membuat hati Clarista sedikit terkikis, walau tidak secara kasar bahkan bisa terbilang lembut namun entah kenapa itu membuat hati Clarista sedikit terasa sakit atau bisa dibilang ... kecewa.
"Gue gak butuh penjelasan lo yang penuh dengan kemunafikan itu!" ujar Elvaro.
Memang Clarista itu tergolong dengan orang yang memiliki kesabaran yang sangat tipis. Terbukti dengan saat ini yang Clarista lakukan adalah mengepal tangannya kuat-kuat seakan tengah menyalurkan kekesalannya.
"Ih lo tuh ya ... " teriak Clarista sembari menginjak kaki Elvaro dengan sekuat tenaga membuat Elvaro mengerang kesakitan.
Reflek Elvaropun mendorong tubuh Clarista agar menjauh dari dirinya dan seketika itu juga injakan kaki Clarista pada kaki Elvaropun terlepas.
Tanpa merasa bersalah, Clarista menatap wajah Elvaro dengan tatapan sinis yang dibalas pula dengan tatapan sinis oleh Elvaro. Keduanya saling bertatapan tanpa berkata apapun juga sehingga membuat suasana terasa canggung. Elvaro yang memilih tidak ingin lagi berdebat sedangkan Clarista yang tengah menahan kekesalan.
Cukup lama mereka saling diam maka dari itu Elvaro memilih untuk kembali melangkah namun lagi-lagi Clarista menahannya.
"Apa lagi sih? Lo tahu gak sih kalau lo tuh udah buang-buang waktu gue. Tadi lo bilang mau jelasin kan terus gue tungguin lo malah diam? Kurang kerjaan banget tahu gak?" cerocos Elvaro.
"Gue tahu gue banyak salah sama orang lain termasuk sama lo. Tapi setidaknya tolong bantuin gue buat berubah!" kata Clarista setengah memelas.
"Lo gak perlu pasang ekspresi memelas kayak gituh, gue gak bakal kemakan sama tipu daya lo," tegas Elvaro.
Clarista menunduk pasrah, tatapannya terkesan kosong dan hal itu membuat hati Elvaro merasa tersentuh.
"Duduk sana!" ajak Elvaro sembari menunjuk ke arah bangku yang berada di pojok lapangan.
Keduanya berjalan dengan Clarista yang berjalan lebih dulu. Setelah keduanya duduk, lagi-lagi mereka saling diam. Elvaro tak bertanya begitu juga dengan Clarista yang belum mau berkata.
"Gue tahu gue banyak salah tapi apa gue gak berhak buat memperbaiki diri gue?" kata Clarista secara tiba-tiba.
Elvaro tak langsung menanggapi karena ia sendiri juga bingung harus menjawab apa. Bukan apa-apa, hanya saja Elvaro takut salah dalam berucap.
"Sejak kejadian tadi, gue jadi sadar kalau setiap apa yang kita perbuat selalu ada risiko yang harus ditanggung. Entah itu niat kita baik atau buruk. Asal lo tahu, sebenarnya gue bersikap seperti itu tadinya buat jaga diri gue. Gue gak mau dipandang murahan sama cowok, gue berusaha tegas sama mereka kalau gue bukan cewek yang mudah buat mereka goda karena memang zaman sekarang banyak cewek-cewek yang jadi korban omongan manis dan akhirnya masa depan mereka hancur. Gue gak mau hal itu terjadi sama gue tapi ternyata prilaku gue selama ini banyak nyakitin hati orang.
Karena itulah gue mau minta tolong sama lo. Tolong bantu gue buat berubah, bantu gue tunjukin sama mereka kalau gue gak sejahat apa yang mereka pikir. Lo mau kan?"
Cukup panjang Clarista menjelaskan sampai tak sadar ia telah membuat Elvaro hampir saja tertidur di sampingnya.
"Lo gak dengerin gue?" tanya Clarista setengah kesal.
"Denger," balas Elvaro singkat.
"Terus kenapa lo diem aja? Tanggepin kek apa kek, ekspresi lo juga kayak yang males gituh," oceh Clarista.
Elvaro menguap sembari beranjak dari duduknya. Dan hal itu sukses memancing kekesalan Clarista terbukti dengan tangannya yang ia kepal erat-erat sembari ekspresi yang mengerang kesal.
"Gue mau bantu lo asal lo tahu diri dan yang penting harus mau nurutin apa kata gue," kata Elvaro.
"Nurutin apa? Tapi lo jangan minta yang macem-macem!" ujar Clarista.
"Dipikir gue bakal selera gituh sama lo?" sindir Elvaro lalu melangkah pergi meninggalkan Clarista seorang diri.
*****
Elvaro nampak tengah berkutat dengan tumpukan buku yang ada di hadapannya. Elvaro memang sosok laki-laki yang menyenai pembelajaran, nilai-nilainya di sekolah juga tergolong paling bagus, prestasinya banyak namun enggan dibeberkan karena menurut Elvaro itu tidak terlalu penting karena baginya yang penting adalah kesukseskannya di masa depan kelak.
Terdengar ketukan di balik pintu kamarnya, Elvaropun enyah dari meja belajarnya dan berjalan guna membukakan pintu.
Senyum manis Elvaro keluarkan untuk menyambut kehadiran ibunda tercintanya.
"Ada apa, mah? El lagi belajar," tanya Elvaro.
"Makan dulu yu! Mamah baru selesai masak," ajak Rena.
"Mamah duluan aja, tanggung El lagi belajar, dikit lagi. Papah udah pulang kan? Mamah makan aja duluan sama papah nanti El nyusul," ujar Elvaro.
Rena tersenyum lalu memegang pergelangan tangan Elvaro. "Kamu rajin belajar jelas mamah suka, mamah dukung tapi kamu juga harus pikirin diri kamu sendiri, pikirin kesehatan kamu. Mamah gak mau kamu sakit, mamah gak mau kehilangan orang yang mamah sayangi lagi," lirih Rena.
Hati Elvaro seakan terenyuh, ia lekas membalas memeluk tubuh ibundanya itu sembari sedikit meneteskan air mata.
"Ya udah sebentar, El beresin buku-bukunya dulu!" ujar Elvaro.
Di sela-sela tangannya yang sibuk menata kembali alat tulisnya, Elvaro tak sengaja menjatuhkan salah satu buku yang sedikit sudah usang. Diambilnya buku itu dan mata Elvaro tak sengaja melihat sebuah foto yang tergeletak secara tidak sengaja terjatuh dari dalam buku tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIPU DAYA CINTA
Ficção AdolescenteKata orang cinta itu indah. Di mana kita bisa disayangi sepenuh hati, diberi perhatian tanpa pamrih juga dilindungi tanpa dipinta. Tapi tidak bagi Clarista, ia terjebak dalam sebuah permain cinta yang penuh dengan tipu daya. Diberi suka juga diberi...