Terlambat. Bukanlah suatu hal yang aneh bagi Clarista. Seperti halnya saat ini, Clarista tengah berdiri di depan gerbang sekolah sembari memohon-mohon pada satpam yang berjaga.
Namun seperti biasa, satpam yang dikenal sebagai Pak Darto itu nampak cuek sembari menikmati secangkir kopinya. Rasanya Pak Darto sudah bosan menghadapi Clarista yang terus menebar janji namun jarang ditepati.
"Enggak ya. Saya udah gak bisa dibujuk-bujuk lagi. Saya udah hafal sama cara main kamu!" kata Pak Darto.
"Ayolah, pak! Masa bapak gak kasian sama anak yang mau cari ilmu!" kata Clarista sedikit memelas.
"Ya kalau emang niat mau cari ilmu seharusnya bisa sedikit bertanggung jawab dong sama waktu. Masa dalam seminggu telatnya hampir 3-4 kali," balas Pak Darto.
Clarista mengerucutkan bibirnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi karena rasanya tidak mungkin jika ia harus kembali lagi ke rumah karena pasti nantinya ia akan menjadi bahan ejekan ibunya sendiri.
Otak Clarista mulai berputar keras, mencari langkah apa yang harus ia ambil. Sempat terpikir bahwa ia akan mengambil jalan yang dulu sempat ia lewati bersama Elvaro, tapi rasanya ia tak bisa melakukan hal itu sendiri.
"Ah iya Sarah," pekik Clarista lalu mulai mengetikkan pesan pada kontak bernama Sarah.
Di sisi lain, tepatnya di dalam kelas, Sarah nampak cemas menunggu kedatangan Clarista. Guru yang hendak mengajar sudah masuk sekitar 5 menit yang lalu. Namun beruntung, absen belum dimulai karena guru itu masih sibuk mengurus berkas pelajaran yang akan ia terangkat saat ini.
Dari dalam saku rok, Sarah merasakan ponselnya bergetar. Diambilnya ponsel itu lalu Sarah mengenyit heran ketika ia membaca nama Clarista sebagai pengirim.
[Ke toilet sebentar. Gue mau telepon!]
Jujur sebenarnya Sarah sedikit bingung dengan isi pesan dari Clarista. Dirasa ada sesuatu yang serius, Sarahpun melakukan apa yang Clarista perintahkan tanpa membalas terlebih dahulu pesan yang Clarista kirimkan.
"Permisi, Bu! Saya mau pamit ke toilet sebentar!" ujar Sarah.
"Baik. Jangan lama-lama, sebentar lagi pelajaran akan dimulai!" balas guru itu.
"Baik, Bu!" ujar Sarah lalu bergegas keluar kelas.
Sesampainya di toilet, Sarah langsung menghubungi Clarista melalui panggilan telepon sesuai yang diperintahkan Clarista yang mana itu langsung diterima oleh Clarista.
"Ini ada apa sih? Lo juga di mana? Gak masuk hari ini?" tanya Sarah bertubi-tubi membuat Clarista jengkel sendiri.
"Heh! Lo bisa gak nanyanya satu-satu!" sahut Clarista.
"Iya sorry! Ya udah cerita, ini ada apa?" ujar Sarah.
Sebelum menjelaskan apa yang terjadi, Clarista terlebih dahulu duduk di salah satu kursi yang ada di dekat benteng sekolah karena memang Clarista memutuskan untuk masuk dengan mengambil jalan sana.
Clarista mulai menceritakan kejadian yang dialaminya saat ini berikut juga dengan niatannya menghubungi Sarah.
Sedang di sebrang sana, Sarah nampak terkejut dengan permintaan Clarista saat ini. Berkali-kali Sarah menelan salivanya kasar, bingung harus menanggapinya bagaimana. Dituruti terlalu sulit ditolakpun bisa membuat rumit.
"Ini lo yakin? Yakali gue harus bawa tangga ke belakang sekolah, tanggu tuh berat mana jaraknya juga jauh. Lo mau nyiksa gue?" kata Sarah.
"Sekali-kali kek lo berkorban buat gue. Gak bakal rugi juga!' ujar Clarista memelas.
Untuk saat ini Sarah tak bisa berbuat banyak selain pasrah juga menuruti permintaan dari Clarista karena bagaimanapun ia tidak ingin membiarkan sahabatnya berada dalam masalah.
"Ya udah lo tunggu di sana!"
Setelah mengatakan itu, Sarah langsung bergegas keluar dari dalam toilet dan berjalan menuju lapangan indoor guna mengambil tangga. Walau sedikit tidak percaya diri Sarah tetap melakukannya.
*****
Sudah hampir 10 menit Clarista menunggu namun Sarah tak kunjung datang. Kekhawatiran langsung muncul dalam hati Clarista, ia takut hal buruk menimpa Sarah mengingat tubuh Sarah terbilang kecil sedangkan ukuran tangga cukup besar.
Rasa cemas dalam hati Clarista semakin mendalam karena Sarah tak kunjung datang. Kini ia tak bisa duduk tenang, Clarista nampak begitu gelisah terbukti dengan dirinya yang berjalan ke sana ke mari sembari menggigit jari.
Tak lama, terdengar suara langkah kaki mendekat walau Clarista belum tahu itu siapa tetapi perasaannya sedikit lega.
"Sar!" panggil Clarista.
Tak ada jawaban apapun namun mata Clarista bisa mendapati adanya tangga di sebrang sana tentunya dari ujung tangga yang sedikit lebih dari benteng itu.
Walaupun Clarista belum mendapati sahutan apapun dari Sarah, ia tetap memanjat dan hendak menaiki tangga itu.
"Sar, pegangin ya!" kata Clarista walau ia sendiri tidak tahu apakah ada orang atau tidak di bawah sana karena memang Clarista tidak berani melirik ke bawah.
Akhirnya Clarista bisa bernapas lega setelah ia berhasil menginjakan kakinya di atas tanah. Namun betapa terkejutnya Clarista ketika ia mendapati bukan Sarahlah yang ada di sana.
"Heh! Lo ngapain di sini? Sarah mana?" sewot Clarista.
"Memang cewek gak tahu terima kasih. Katanya mau berubah. Emang tukang bohong lo!" sewot Elvaro tak kalah kesal.
"Ya bukan salah gue dong. Gue kan minta tolongnya sama Sarah bukan sama lo," balas Clarista tak ingin disalahkan.
Elvaro menghela napasnya kasar. Rasanya ia salah karena telah memilih membantu Clarista tapi bagaimanapun juga semuanya sudah terjadi.
"Ya lo punya otak tuh dipake. Lo mau bikin temen lo celaka? Atau lo sengaja emang mau bikin dia mati?" tegas Elvaro.
Seketika Clarista terdiam. Sepertinya kekhawatirannya memang beneran terjadi. "Maksud lo apa?" tanya Clarista meminta penjelasan. Kali ini nada bicaranya ia turunkan.
"Lo tanya aja sama temen lo!" balas Elvaro lalu memilih pergi dari hadapan Clarista.
Tentu saja Clarista kesal namun untuk kali ini Clarista lebih memilih mengesampingkan egonya terlebih dahulu demi memastikan keselamatan Sarah.
Mencoba untuk menghubungi Sarah namun sudah memasuki panggilan ke 3 tak ada tanda-tanda panggilan itu diterima. Jika sudah seperti ini Clarista tidak tahu harus mencari keberadaan Sarah di mana. Bisa saja Clarista mencarinya ke dalam kelas tetapi ia sendiri tidak tahu bagaimana keadaan di dalam sana.
Mencoba berjalan menyusuri setiap lorong sampai pada akhirnya Clarista tak sengaja melihat keberadaan seseorang yang tengah duduk di depan lapangan indoor.
"Itu dia!" kata Clarista kegirangan.
Sarah, terduduk lemas di depan lapangan indoor sembari sesekali memijit lututnya yang terasa sedikit sakit. Samar-samar ia mendengar langkah kaki mendekat. Dari ujung matanya Sarah bisa melihat keberadaan Clarista yang semakin mendekat namun Sarah memilih untuk pura-pura tidak tahu.
"Sar, lo gak kenapa-napa kan? Lo aman kan?" tanya Clarista panik yang langsung duduk di samping Sarah.
"Biasa aja. Gak usah teriak-teriak!" balas Sarah yang telinganya memang sedikit sakit karena suara teriakan dari Clarista.
"Tapi lo aman kan?" tanya Clarista lagi.
"Kenapa lo nanya gituh?" Sarah balik bertanya.
Terdengar helaan napas gusar dari Clarista. Mengingat perdebatannya tadi bersama Elvaro cukup membuat Clarista kesal.
"Kenapa tadi yang datang jadi Elvaro? Abis itu dia marah-marah sama gue katanya gue mau bikin lo mati. Makannya gue nanya, lo gak papa kan? Lo aman kan? Sebenarnya apa yang terjadi sama lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TIPU DAYA CINTA
Fiksi RemajaKata orang cinta itu indah. Di mana kita bisa disayangi sepenuh hati, diberi perhatian tanpa pamrih juga dilindungi tanpa dipinta. Tapi tidak bagi Clarista, ia terjebak dalam sebuah permain cinta yang penuh dengan tipu daya. Diberi suka juga diberi...