19. Kesalahan (2)

1 0 0
                                    

Menyusuri setiap lorong koridor. Clarista berlari dengan wajah yang nampak kusut bahkan tanpa disadarinya, air matanya sudah berhasil membasahi seluruh wajahnya.

Saat ini, Clarista sangat sadar bahwa dirinya tengah jadi pusat perhatian. Namun Clarista berlaga tidak peduli karena saat ini perasannya sudah sangat hancur.

Tak sedikit dari mereka yang membicarakan sikap Clarista saat ini. Pasalnya ini bukanlah Clarista yang mereka kenal. Karena Clarista yang mereka kenal adalah perempuan yang tegas, angkuh juga kuat. Tak seperti yang mereka lihat saat ini, lemah bahkan sampai menangis.

Sedang di sisi lain. Masih di tempat yang sama, Elvaro diam meratapi keberadaan Clarista yang semakin lama semakin jauh. Dalam hati ia merasa menyesal karena mungkin sikapnya tadi terlalu berlebihan terhadap Clarista. Namun Elvaro juga tidak menyangka kalau ternyata respon Clarista akan semarah itu.

Sedikit berjalan beberapa langkah, menjauh dari keramaian guna melepaskan anak kucing itu supaya tidak terinjak oleh orang-orang yang berlalu lalang sebelum akhirnya Elvaro memutuskan untuk berjalan mengejar langkah Clarista.

"Cla! Lo kenapa?" tanya Sarah dengan raut khawatir ketika ia melihat kedatangan Clarista sembari menangis.

Tanpa menjawab terlebih dahulu, Clarista duduk di samping Sarah lalu meletakan kepalanya ke atas pundak Sarah. Di sana, ia mulai menumpahkan kesedihan, ketakutan juga kekecewaannya pada Elvaro.

Walau sebenarnya Sarah belum tahu apa yang terjadi, namun Sarah bisa melihat juga merasakan kesedihan yang dialami sahabatnya itu. Biarlah Sarah tak akan bertanya lagi karena nantinya Clarista juga akan bercerita dengan sendirinya.

"Gue kesel banget tahu," ungkap Clarista setelah cukup lama diam.

"Kenapa? Gak jadi makannya?" tanya Sarah.

"Jadi," balas Clarista sembari kembali menegakan kepalanya yang sedari tadi ia sandarkan di atas pundak Sarah.

"Terus kenapa?" Sarah meminta penjelasan.

"Gue kesel sama si Elvaro. Gue kira dia tadinya mau bantuin gue tapi nyatanya dia hampir bikin gue mati," ucap Clarista sembari menahan kekesalan.

Kening Sarah mengernyit heran. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Clarista. "Maksudnya?"

"Clarista!"

Sontak keduanya menoleh ke arah sumber suara. Di mana, tak jauh dari posisi keduanya berada ada Elvaro yang tengah berdiri sembari melirik ke arah Clarista.

Sarah memilih bangkit dari tempat duduknya lalu melirik Clarista juga Elvaro secara bergantian. Tak ingin terlalu ikut campur, Sarahpun berniat untuk masuk ke dalam lapangan indoor dan melanjutkan aktivitasnya tadi.

"Lo jangan ke mana-mana. Temenin gue!" kata Clarista seraya tangannya menahan pergelangan tangan Sarah.

"Tapi gue gak mau ikut campur urusan kalian. Kali aja ada hal penting," balas Sarah.

"Gak ada," balas Clarista penuh penegasan.

Dari tempatnya, Elvaro bisa melihat sorot kemarahan dari mata juga wajah Clarista. Perlahan Elvaro melangkah mendekat guna mempermudah dirinya berbicara dengan Clarista.

"Masalah tadi gue ... "

"Lo gak perlu ngomong apa-apa lagi. Emang dasarnya lo gak suka kan sama gue jadinya lo mau nyelakain gue. Mulai sekarang gue gak perlu bantuan dari lo lagi, gue bisa ngerubah diri gue tanpa bantuan dari lo."

Belum sempat Elvaro menyelesaikan perkataannya, Clarista sudah lebih dulu memotongnya. Sedang di tempatnya, Sarah hanya bisa menyaksikan tanpa mengerti apa-apa.

"Tapi gue bener-bener gak tahu. Gue gak sengaja," kata Elvaro berusaha meyakinkan.

"Halah! Lonya aja yang gak bisa ngehargain orang. Lo bisa nasehatin gue tapi lo sendiri gak bisa ngelakuin. Aneh," cerocos Clarista lalu mulai menarik tangan Sarah untuk menjauh dari sana.

"Dengerin gue dulu. Gue belum selesai ngomong!" teriak Elvaro sembari berusaha mengejar langkah Clarista.

Memilih mengabaikan teriakan dari Elvaro, Clarista masih senantiasa menarik Sarah bahkan tak memerdulikan gerutuan Sarah yang berjalan di belakangnya.

*****

Setibanya di dalam kelas, Sarah langsung berontak meminta Clarista untuk melepaskan cekalannya. Beruntung suasana kelas cukup sepi, hanya ada beberapa orang di dalam sana sedangkan sisanya tengah menjelajahi sekitaran sekolah.

"Lo tuh kenapa sih? Aneh banget," kesal Sarah yang tidak mengerti dengan permasalahan Clarista juga Elvaro.

Sebelum menjawab, Clarista lebih dulu melangkah ke arah tempat duduknya diikuti oleh Sarah di belakangnya. Keduanya langsung duduk, mencoba menetralkan emosinya masing-masing.

"Tadi waktu jalan pulang dari kantin gue gak sengaja ketemu sama anak kucing. Anak kucing itu ngalangin jalan gue terus kayak mau ngikutin gituh. Eh gak lama Elvaro datang terus bawa itu kucing ke pangkuan dia. Gue pikir dia tulus mau nolongin gue eh tahunya dia malah ngerjain," jelas Clarista.

"Ngerjain gimana maksudnya?" Sarah kembali meminta penjelasan.

"Ya dia nyodorin kucing itu ke muka gue. Ya gue marahlah," ujar Clarista.

Terdengar helaan napas gusar dari Sarah. Ia tidak mengerti kenapa hidup sahabatnya ini tidak pernah lepas dari masalah.

"Ya udah sih lo juga gak usah marah-marah terus sama dia. Ya kan dia gak tahu kalau lo takut sama tuh kucing," kata Sarah.

Mata Clarista melotot tajam. Terlihat begitu marah pada Sarah namun di sisi lain Sarah nampak biasa saja dan tak memerdulikan kekesalan yang tengah dipancarkan oleh Clarista.

"Gue gak salah denger ini? Kok lo malah belain dia sih? Suka lo sama dia?" kesal Clarista.

"Enggak, gue bukan mau belain dia, cuma gue mau kalau lo itu lebih dewasa buat nyikapin masalah. Ini kan bukan sesuatu masalah yang besar, dia juga kan gak tahu soal ketakutan lo. Lo sendiri juga kan gak papa. Mestinya lo ingat kalau dia itu udah sering bantuin lo. Toh dia juga udah ngakuin kalau dia salah sama gak sengaja."

Clarista diam setelah mendengar penuturan dari Sarah. Memang di antara mereka, Sarahlah yang lebih bisa bersikap bijak juga dewasa lain halnya dengan Clarista yang keras kepala juga lebih mengedepankan emosi. Tetapi meskipun begitu persahabatan mereka nampak kekal.

Pikiran Clarista tiba-tiba teringat ke kejadian masa lalu, saat di mana penyebab traumanya muncul.

"Tapi lo sendiri kan tahu gue tuh takut banget sama kucing, lebih tepatnya trauma," kata Clarista ketika pikirannya sudah kembali dari alam lamunannya.

"Iya gue tahu tapi lo juga kan tahu kalau beberapa waktu lalu lo pernah janji mau berubah."

Lagi-lagi Clarista tidak bisa membantah perkataan dari Sarah.

"Terus sekarang gue harus gimana?" tanya Clarista.

"Au ah. Gue laper," balas Sarah seraya beranjak dari duduknya lalu berjalan keluar kelas, meninggalkan Clarista yang masih dilanda kebingungan.

Duduk merenung seraya memikirkan langkah apa yang harus ia ambil saat ini. Suasana nampak sunyi, seakan semesta senantiasa menemani kegelisahan Clarista, hingga tak berselang lama terdengar langkah kaki berjalan mendekat ke arah Clarista.

"Cla!"

Clarista mengangkat pandangannya. Di hadapannya, nampak Elvaro tengah duduk di kursi depan bangku Clarista berada. Pandangan mata Elvaro tak lepas dari wajah manis Clarista yang saat ini terlihat sedikit kusut, mungkin karena permasalahan tadi.

"Lo gak mau maafin gue?" tanya Elvaro berusaha membuka obrolan.

Di tempatnya Clarista masih senantiasa diam. Bukan ia tak mendengar, hanya saja Clarista tidak tahu harus menanggapinya bagaimana.

TIPU DAYA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang