"Mungkin jika sakit fisik ia masih bisa sembuh tapi sayang, sakit yang ia derita adalah sakit hati," kata Elvaro yang sukses membuat Clarista kebingungan.
"Maksudnya?" tanya Clarista meminta penjelasan.
"Satu hal yang harus lo tahu. Di dunia ini ada satu penyakit yang paling sulit buat disembuhin, mungkin bisa sembuh tapi bekasnya gak bakal bisa hilang sampai kapanpun. Dan lo tahu itu apa?"
Lagi-lagi perkataan Elvaro membuat Clarista terdiam bingung. Untuk saat ini Clarista sukses bersikap seperti orang bodoh dan hal itu berhasil membuat Elvaro tersenyum licik.
"Sakit hati. Itu jawabannya. Gue tahu otak lo kosong, jadi gak seharusnya ya gue ngasih pertanyaan kayak gituh sama lo. Sorry ya!" ujar Elvaro menambahkan.
Clarista sesegera mungkin mengacak rambutnya kesal. Bayangan kejadian tadi bersama Elvaro berhasil membuat dirinya merasa begitu kesal.
Tentang perkataan Elvaro tadi, sampai saat ini Clarista belum juga mengerti apalagi menemukan jawabannya. Ia merasa perkataan itu bukan sembarang perkataan, seperti ada maksud tertentu tapi entah apa itu.
Memilih turun dari atas tempat tidurnya lalu berkutat di meja belajar bersama dengan laptopnya. Kalimat demi kalimat Clarista ketikan dalam sebuah lembaran putih. Karena sebenarnya, tak banyak yang tahu tentang kebiasaan Clarista yang satu ini. Senang mengabadikan isi hatinya dalam sebuah tulisan.
*****
"Kenapa baru pulang?"
Baru saja Elvaro menginjakan satu kakinya ke dalam rumah, ia sudah disambut dengan pertanyaan Rena yang disertai dengan raut cemasnya.
Elvaro tersenyum lalu melirik pada jam yang melingkar di tangan kirinya.
Pukul 18.45. Itulah yang tertera di layar jam tangannya. Sebelum Elvaro menjawab pertanyaan dari Sang Ibunda tercinta, ia memilih melangkah mendekat ke arah Rena lalu menyalami tangan manis ibunya itu.
"Mamah gak perlu terlalu khawatir sama El. Mamah tenang aja, El bisa jaga diri kok!" kata Elvaro berusaha menenangkan.
"Bagaimana mamah bisa tenang. Setelah mamah kehilangan Al, mamah gak bisa setenang dulu, kekhawatiran selalu menyertai perasaan mamah," ujar Rena dengan nada lirihnya.
Perlahan tangan Elvaro terangkat lalu membawa Rena ke dalam pelukannya. Ia tidak menyalahkan ibunya atas sikapnya saat ini, walau terkesan protektif tapi Elvaro tak merasa keberatan karena ia sendiri bisa merasakan bagaimana kesedihan yang ibunya rasakan.
"Maafin El ya, udah bikin mamah khawatir. Tapi El gak papa kok, tadi El abis dari makamnya Kak Al," ujar Elvaro.
"Ya udah kalau gituh kamu bersih-bersih sana abis itu langsung makan ya. Tapi gak papa ya makannya sendiri, mamah sama papah udah makan," ujar Rena.
Elvaro mengangguk sebagai jawaban lalu kakinya melangkah menuju tempat ternyamannya, yaitu kamar.
Alih-alih langsung membersihkan badan, Elvaro malah melipir ke tempat meja belajarnya. Diambilnya sebuah buku yang tergeletak di atas sana lalu senyum kecutpun Elvaro keluarkan saat itu juga.
"Dari sini aku tahu bagaimana sakitnya kakak. Tapi kenapa kakak gak pernah cerita. Andai saja kakak punya keberanian, semuanya gak akan kayak gini," Elvaro mulai bermonolog.
Tak ingin terus larut dalam kesedihannya, Elvaropun memilih mengambil handuk yang biasa ia gantungkan di belakang pintu.
Cuaca malam ini terbilang cukup panas maka dari itu Elvaro memutuskan untuk mandi menggunakan air dingin walau ada beberapa para ahli yang menyebutnya itu tidak baik.
*****
Clarista sudah mempersiapkan dirinya untuk segera tidur. Namun niatannya itu terhalang ketika ia mendengar ada seseorang yang mengetuk pintu.
Pukul 20.45. Memang belum terlalu malam namun tetap saja perasaan takut menyelinap masuk ke dalam hati Clarista, karena pasalnya rumah Clarista jarang didatangi tamu terutama pada malam hari.
Mencoba memberanikan diri untuk berjalan keluar kamar sembari menyapu pandangannya ke arah sekitar berharap orangtuanya masih senantiasa terjaga namun ternyata tidak.
"Mah! Pah!" panggil Clarista berharap ada yang menyahutnya salah satu di antara mereka.
Masih tidak ada jawaban. Claristapun menghela napasnya guna menetralkan perasaannya. Ketukan di pintu kembali terdengar, Claristapun berjalan dengan hati bimbang hingga pada akhirnya ia sampai di depan pintu.
Dengan amat hati-hati, Clarista terlebih dahulu membuka kunci pintunya lalu perlahan pintupun mulai terbuka.
"Dengan Mba Clarista?"
"ASTAGFIRULLAH!" jerit Clarista ketika ia melihat seorang driver ojek online berdiri di hadapannya.
Driver ojek online itu tersenyum lalu kembali mengulang pertanyaan yang tadi.
"Iya betul. Tapi saya belum pesen, lagian kan berangkat sekolahnya juga besok bukan sekarang. Ini masih malam, pak!" kata Clarista.
"Saya cuma mau nganterin pesanan!" kata driver itu sembari menyodorkan paper bag.
Walau dilanda bingung, Clarista tetap menerima paper bag itu. "Dari siapa ya, pak?" tanyanya.
"Kalau itu saya kurang tahu. Saya cuma dapat orderan atas nama mba dan diantarnya ke sini. Kalau gituh saya permisi ya!" ujar Driver itu lalu berlalu pergi.
"Makasih, pak!" kata Clarista lalu perlahan berbalik badan berniat untuk menutup pintu dan kembali ke dalam kamar.
"ASTAGFIRULLAH!"
Lagi-lagi Clarista dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang tiba-tiba ada di depannya.
Manda berdiri seorang diri sembari menatap anaknya heran. Lain halnya dengan Clarista, ia nampak tegang juga terkejut dengan kedatangan ibunya yang tiba-tiba.
"Kamu ngapain pesen makanan jam segini bukannya tadi udah makan. Apa masih kurang?" tanya Manda bertubi-tubi membuat Clarista menggelengkan kepalanya bingung.
"Satu-satu kali, mah, nanyanya!" kata Clarista.
"Tinggal jawab aja kali, susah banget," balas Manda tak mau mengalah.
Clarista terdiam. Ia sendiri tidak tahu asal makanan itu dari mana alhasil iapun tidak tahu harus menjawab apa.
"Mah, itu di dapur ada apaan? Kek ada kucing deh. Hati-hati lho nanti makanan di dapur pada abis!" ujar Clarista sedikit heboh.
Reflek, Mandapun membalikan badannya menjadi menghadap ke arah dapur dan hal itu Clarista gunakan untuk melarikan diri ke arah kamar. Memang terkesan tak sopan bahkan mungkin kurang ajar namun hanya itu yang bisa Clarista lakukan saat ini.
"Mana gak a ..."
Belum sempat Manda menyelesaikan perkataannya, ia sudah dijengkelkan dengan tingkah laku anaknya sendiri.
"Rista, kamu kebangetan ya!" pekik Manda.
Di sisi lain, tepatnya di dalam kamar. Clarista terduduk diam di atas tempat tidurnya sembari mendengarkan ocehan ibunya juga sembari menatap paper bag yang sedari tadi ia pegang.
"Kira-kira ini dari siapa ya? Ini teror apa bukan ya. Dibuang sayang, dimakan takut mati," Clarista mulai bermonolog dan ia benar-benar merasa bimgang karena pasalnya makanan yang ada di dalam paper bag itu adalah makanan kesukannya, yaitu soto ayam.
Berada dalam dua pilihan yang sulit cukup menyiksa diri Clarista. Bahkan berkali-kali Clarista mengecek setiap sudut di dalam paper bag itu berharap ia mendapat petunjuk siapa pengirimnya ataupun menemukan benda-benda mencurigakan. Tak sampai di situ, Clarista juga sampai mencium bungkusan soto itu ditakutkan tercium bau obat-obatan terlarang.
"Tapi kayaknya aman deh! Tapi gue kurang yakin. Tapi ini wanginya enak banget," gumam Clarista.

KAMU SEDANG MEMBACA
TIPU DAYA CINTA
Teen FictionKata orang cinta itu indah. Di mana kita bisa disayangi sepenuh hati, diberi perhatian tanpa pamrih juga dilindungi tanpa dipinta. Tapi tidak bagi Clarista, ia terjebak dalam sebuah permain cinta yang penuh dengan tipu daya. Diberi suka juga diberi...