37

42 10 0
                                    




***

"Gimana kondisi Nyokap? Udah mendingan?"

Welda menatap getir Fayza yang menjawab pertanyaannya dengan anggukkan lemah. Tidak ada semangat sedikitpun yang Welda lihat dari sosok Fayza sejak perempuan itu memasuki café di mana kini mereka duduk berdua.

"Mama udah keluar rumah sakit kemarin sore. Tapi ... sejak minggu lalu Mama jadi makin banyak diem, ngelamun dan makin sering tiba-tiba nangis juga."

Tatapan Welda semakin getir, ia mendengar dari Fayza jika dua hari setelah pertemuannya dengan Yudha, Sila jatuh sakit dan beberapa hari setelahnya Sila akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Sila mendapat perawatan cukup lama sampai akhirnya kemairn sore baru diperbolehkan pulang.

Suasana di sana kembali hening seperti apa yang terjadi sejak 10 menit lalu. Fayza menunduk menatap gelas tingginya yang berisi minuman dingin, tapi fokusnya tentu saja bukan pada gelas maupun isi gelas itu. Pikiran Fayza akhir-akhir ini terasa begitu penuh.

"Gue harus gimana, Welda? Gue takut kondisi Mama semakin memburuk ...."

Suara pelan Fayza itu sungguh berhasil membuat Welda merasakan kesakitan dan ketakutan Fayza. Namun, Welda sama sekali tidak bisa melakukan apa pun untuk menolong Fayza.

"Gue pengen ketemu sama Kayesha, Welda. Gue pengen bicara langsung sama dia ... Dia harus tahu kalau Mama bener-bener hancur sejak dia pergi lima tahun lalu. Mama udah menyesali apa yang pernah mama perbuat ke dia dan Mama mau perbaiki itu."

Suara Fayza semakin lama terdengar semakin pelan, Welda bahkan menyadari jika suara Fayza juga mulai bergetar dan itu tentu saja tanda jika Fayza kini tengah menahan tangisnya. Tatapan Welda pun berubah menjadi tatapan iba. Welda yang memutuskan untuk berada di sisi netral sungguh sedih mendengar apa yang Fayza katakan tetapi di sisi lain, ia juga tahu persis jika Kayesha tidak ingin berurusan baik dengan Fayza, Sila maupun Rio.

"Gue ... bener-bener minta maaf, Fay. Gue tahu sehancur apa nyokap lo sejak kepergian Kaye, tapi gue juga tahu sehancur apa Kaye karena ulah nyokap lo ... Gue ... takut kalau misal gue bantu lo dengan nekan Kaye, dia justru pergi lagi dari gue."

Ya, satu-satunya hal yang kini Welda takutkan adalah Kayesha akan kembali pergi darinya dengan cara menutup semua akses komunikasi mereka. Welda tidak bisa membiarkan itu terjadi sehingga memilih berada di sisi netral adalah satu-satunya hal yang kini bisa ia lakukan.

Fayza menunduk kian dalam, air matanya yang sudah menggenang di pelupuk matanya pun jatuh ke permukaan meja dan Welda melihat itu. Hati Welda lagi-lagi terasa sakit, ia sungguh ingin menolong tapi ia juga takut jika ia salah langkah Kayesha justru akan menjauhinya.

Selama hampir lima tahun ini Welda bukan hanya melihat kehancuran Sastra, tetapi ia juga melihat kehancuran Sila. Awalnya Welda mungkin mensyukuri hal itu tapi lama kelamaan ia tidak bisa menampik rasa kasihan yang mulai ia rasakan. Hancurnya Sila juga berimbas pada Fayza dan Welda juga bisa melihat jika selama hampir 5 tahun ini Fayza menunjukkan dirinya yang sebenarnya.

Fayza tidak pernah berpura-pura sedih akan perginya Kayesha dari sisi mereka, Fayza juga tak pernah berpura-pura khawatir pada kondisi Kayesha yang mereka ketahui sempat amat buruk, bahkan Fayza juga benar-benar menitikan air matanya karena Kayesha sehingga bagi Welda, Fayza bukanlah sosok yang harus ia jauhi walau Kayesha mungkin tidak mau berhubungan dengan Fayza.

Bagi Welda, baik Fayza maupun Sila dan mungkin juga Rio, mereka berhak mendapatkan kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Welda terus menatap Fayza dengan iba, sampai ia akhirnya menarik napas dalam-dalam saat tiba-tiba teringat sesuatu. Ia tidak tahu apakah itu akan berhasil atau tidak tapi setidaknya ia bisa mengusahakan sesuatu, kan?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SUARA SASTRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang