( FOLLOW SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN)
TERIMA KASIH *HAPPY READING, SEMOGA KALIAN SUKA*
---
Pagi itu, matahari bersinar hangat dan angin sepoi-sepoi membuat semangat Aksa dan Retta untuk berangkat bersama ke kantor semakin membara. Mereka sudah tidak sabar untuk membahas proyek kolaborasi. Proyek ini adalah kesempatan bagi Retta untuk bangkit dari masa lalu dan menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
“Eh, Aksa! Kira-kira proyek ini bakal seru ngga ya?” tanya Retta dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Pastinya! Gue excited banget. Ini kesempatan buat lo nunjukin siapa lo yang sebenarnya,” jawab Aksa, semangatnya menggebu-gebu. “Dan kita bakal kerja bareng, jadi lebih mudah, kan?”
Retta mengangguk, tetapi tiba-tiba suasana menjadi tegang ketika dia melihat notifikasi di ponselnya. Dengan tangan yang sedikit bergetar, dia membuka dan ekspresinya langsung berubah.
“Aksa, liat ini deh!” serunya, suaranya gemetar bikin Aksa langsung curiga.
Aksa mencoba melihat ponselnya, dan judul artikel di media sosial membuatnya mengernyit. “Kasus Tersangka Retta: Kenapa Dia harus kembali lagi?” ditambah foto-foto lama yang membuat suasana menjadi gelap.
“Gila, kenapa ini muncul lagi sih?” keluh Retta, wajahnya langsung lesu. “Gue udah berusaha move on dari semua ini!”
Aksa langsung berusaha menenangkannya. “Relax, kita hadapi bareng-bareng. Proyek ini tentang lo sekarang, bukan yang lalu-lalu. Kita bikin orang-orang fokus sama karya, bukan berita negatif.”
“Tapi Sa, ini bisa ngebuat proyek kita gagal. Gimana kalau orang-orang nyambungin proyek kita sama kejadian itu? Gue nggak mau jadi bahan omongan!” Retta terlihat panik, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
“Fokus aja ke pesan yang mau lo sampaikan. Ini kesempatan buat lo bangkit,” Aksa meyakinkan, berusaha memberi semangat. Dia tahu betapa beratnya beban yang harus ditanggung Retta.
---
Setibanya di kantor, suasana terasa canggung. Tim yang biasanya ceria tampak tegang, banyak yang berbisik dan melirik Retta. Aksa, dengan percaya diri, memutuskan untuk berbicara.
“Teman-teman, kita perlu ngomongin sesuatu yang penting,” katanya sambil memperhatikan semua orang. “Retta lagi dapet sorotan dari media, tapi kita harus tetap fokus sama proyek ini. Kita nggak boleh terpengaruh.”
Retta berdiri di sampingnya, berusaha tersenyum meskipun hatinya masih bergejolak. “Saya tahu beberapa dari kalian mungkin khawatir. Tapi ini bukan cuma tentang saya. Ini tentang perjalanan kita dan pesan yang mau kita sampaikan.”
Salah satu anggota tim, Sarah, langsung angkat tangan. “Retta, kami semua ada di sini buat dukung kamu. Kami percaya kamu bisa melewati ini. Proyek ini bakal jadi luar biasa. Kita harus bangkit dan tunjukkan bahwa kita bisa lebih dari yang orang lain lihat.”
Retta merasa ada harapan kecil di tengah ketakutannya. “Makasih, Sarah. Aku pengen proyek ini jadi sesuatu yang bermakna. Ini adalah cara aku untuk bilang bahwa aku masih di sini dan masih berjuang.”
Aksa melanjutkan, “Mari kita bahas langkah-langkah ke depan. Kita harus siap dengan semua kemungkinan yang mungkin muncul dari media. Dan kita harus bekerja lebih keras agar proyek ini jadi sukses.”
Mereka mulai mendiskusikan konsep foto, lokasi, dan video dokumenter yang akan mendukung proyek tersebut. Suasana di ruangan mulai membaik, meskipun bayang-bayang kekhawatiran masih ada di benak Retta. Dia berusaha fokus dan mengabaikan komentar-komentar negatif yang terus berdatangan.
“Gimana kalau kita ambil gambar di taman yang selalu aku kunjungi? Di situ aku ngerasa paling tenang,” saran Retta. Dia membayangkan suasana damai di taman, jauh dari keramaian dan tekanan.
“Bagus! Kita bisa nambah unsur personal di situ. Itu tempat yang penting buat lo,” jawab Aksa. “Kita bisa buat konsep yang lebih intim dan menggugah.”
Namun, saat rapat berlanjut, Retta tetap tidak bisa mengabaikan komentar-komentar negatif di media sosial yang terus menghantuinya. Setiap kalimat negatif membuatnya merasa semakin terbebani. “Gimana ya, jika orang-orang tetap beranggapan jelek tentang gue setelah semua ini?” pikirnya dalam hati.
“Saat kita luncurin proyek ini, kita harus siap menghadapi kritikan,” Aksa mengingatkan tim. “Tapi ingat, ini kesempatan buat Retta untuk menunjukkan kekuatannya. Kita semua ada di belakang lo, Rett.”
---
Malam harinya, Retta duduk sendirian di kamarnya, memandangi foto-foto masa lalunya. Ia merasa terjebak antara keinginan untuk maju dan rasa takut akan masa lalu yang kembali menghantuinya. “Apa yang salah dengan gue?” bisiknya, menahan air mata yang hampir jatuh.
Retta teringat akan semua perjuangannya, bagaimana ia berjuang untuk mendapatkan kembali kepercayaan diri dan cinta dari para penggemarnya. Tetapi ingatan akan dukungan dari Aksa dan timnya memberi sedikit cahaya di kegelapan. Ia mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Gue harus lawan ini. Gue harus jadi diri gue yang sebenarnya.”
---
Keesokan paginya, Retta bangkit dengan semangat baru. Ia bertekad untuk tidak membiarkan masa lalunya mendefinisikannya. Saat dia bersiap-siap, senyumnya merekah, penuh harapan. Hari ini adalah awal perjalanan mereka menuju Jakarta, tempat di mana mereka akan mengerjakan proyek ini lebih intens. Selain Aksa, mereka juga akan ditemani oleh dua staf lainnya, yaitu Liza, yang bertanggung jawab atas wardrobe, dan Fandi, yang akan menyiapkan peralatan pemotretan. Tim kecil ini akan tinggal di sana selama lima hari untuk mengambil lebih banyak foto dan video.
“Siap untuk proyek ini?” Aksa menyapanya dengan penuh semangat, sambil memasukkan beberapa dokumen ke dalam tasnya.
“Siap! Gue bakal tunjukkan kepada dunia siapa Retta yang sebenarnya,” jawabnya, penuh percaya diri. Energi positif mulai mengalir di antara mereka, dan Liza serta Fandi ikut menyambut optimisme tersebut.
Liza yang selalu ceria ikut berkomentar, “Wah, kita nggak sabar liat Retta tampil beda. Gue udah siapin beberapa outfit keren buat Retta!”
“Dan gue udah siap dengan kamera terbaik. Kita bakal dapetin angle terbaik buat Retta,” tambah Fandi sambil tersenyum percaya diri.
Perjalanan menuju Jakarta terasa lebih ringan dengan suasana kebersamaan ini. Retta dan Aksa duduk di depan, sementara Liza dan Fandi duduk di belakang, sibuk berdiskusi tentang rencana wardrobe dan pengaturan lokasi pemotretan. Mereka semua merasa antusias, meskipun ada sedikit ketegangan dari tantangan yang menanti mereka.
Di tengah perjalanan, Retta sempat terdiam, lalu menoleh ke arah Aksa. “Aksa, sebenernya setelah sesi pemotretan, gue pengen mampir ke makam Rey,” ucapnya dengan suara lembut.
Aksa menoleh, melihat keseriusan di wajah Retta. “Rey, mantan lo yang meninggal itu, kan? Kenapa lo mau ke sana?”
“Gue merasa udah lama nggak ngunjungin dia. Rasanya ada yang belum selesai,” jawab Retta, menatap ke luar jendela.
Aksa mengangguk, lalu dengan tenang menjawab, “Gue ngerti. Kita bisa mampir. Butuh waktu buat lo sendiri, kan?”
Liza dan Fandi yang mendengarkan percakapan itu, saling pandang sejenak, lalu Liza berbisik pelan, “Nggak apa-apa, kita dukung aja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Welcome to Hometown (ON GOING)
RomanceRetta Agatha, aktris ternama dengan segudang penghargaan, tiba-tiba harus menghadapi kehancuran hidupnya saat ia dituduh sebagai tersangka dalam pembunuhan pacarnya. Dalam sekejap, karier gemilangnya runtuh, penggemar berbalik meninggalkannya, dan m...