BAB 13: Stigma Publik

52 37 3
                                    

( FOLLOW SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN)

TERIMA KASIH *HAPPY READING, SEMOGA KALIAN SUKA*

---

Pagi itu, Retta memutuskan untuk menghadapi tantangan baru dalam hidupnya. Setelah berpikir panjang, ia akhirnya setuju menerima tawaran Aksa untuk menjadi model dalam proyek fotografi yang sedang ia kerjakan. Namun, ada satu syarat yang dia ajukan—hanya Aksa yang boleh memotretnya. Kepercayaan Retta kepada Aksa tidak bisa digantikan orang lain, apalagi setelah insiden mengerikan yang sempat menempatkannya dalam sorotan publik.

Setibanya di Kreativa Studios, kantor Aksa yang berjarak sekitar 30 menit dari tempat tinggalnya, suasana di sana tampak sibuk tapi tenang. Suara tuts keyboard terdengar samar di antara meja-meja kerja, dan para staf tampak fokus pada pekerjaan masing-masing. Meskipun Kreativa Studios memiliki beberapa cabang di berbagai kota, Aksa sengaja memilih bekerja di kantor yang tidak jauh dari kampung halamannya. Ia ingin tetap dekat dengan ibunya, Bu Ratna, yang tinggal di sekitar area tersebut. Alasannya, ia tidak ingin Ibunya tinggal sendirian.

Aksa menyambut Retta dengan senyum hangat, lalu membimbingnya ke ruang meeting yang sudah dipersiapkan.

“Gue udah siapin semuanya buat proyek ini. Kita bakal mulai bahas konsepnya nanti. Dan lo tenang aja, nggak ada orang lain yang bakal fotoin lo. Gue ingat kok, itu syaratnya,” kata Aksa sambil berjalan di samping Retta.

“Iya, gue cuma nyaman kalau lo yang motoin, Sa,” jawab Retta dengan sedikit keraguan, tapi dia tetap berusaha menunjukkan keteguhannya.

Mereka memasuki ruang meeting yang dipenuhi beberapa rekan kerja Aksa. Ada papan tulis besar di dinding yang dipenuhi catatan, beberapa moodboard, dan sketsa konsep foto. Proyek ini jelas bukan proyek kecil; Aksa serius mengerjakannya, dan Retta mulai merasa beban tanggung jawab itu.

Saat duduk di meja, pembahasan proyek pun dimulai. Retta mendengarkan dengan saksama, berusaha fokus pada konsep yang dijelaskan Aksa dan timnya. Namun, ia tak bisa mengabaikan bisikan-bisikan yang pelan tapi terasa jelas dari sudut ruangan.

"Eh, itu kan Retta, ya? Aktris yang sempet jadi tersangka pembunuhan itu?"

"Iya, iya. Gue inget banget beritanya rame banget waktu itu. Serem, sih, kalo gue jadi dia."

Bisikan-bisikan itu membuat Retta gelisah. Meski mencoba fokus pada presentasi Aksa, hatinya terasa tertusuk. Ia menghela napas, berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi.

Aksa, yang berada di sampingnya, sepertinya menyadari perubahan suasana hati Retta. Ia menatap Retta sejenak dan menyadari arah tatapannya yang kosong, seperti tidak mendengarkan pembahasan proyek.

"Eh, Retta? Lo oke?" bisik Aksa sambil menepuk pelan tangan Retta yang tergenggam di pangkuannya.

Retta tersenyum tipis, mencoba menutupi kegelisahannya. "Gue baik-baik aja, Sa. Lanjut aja."

Aksa melanjutkan diskusi, menjelaskan konsep foto yang menggabungkan tema elegansi dan kekuatan perempuan, sebuah konsep yang menurutnya pas untuk menggambarkan sosok Retta. Namun, di tengah-tengah diskusi, suara gaduh dari luar ruangan mulai terdengar.

Tiba-tiba, pintu ruang meeting terbuka dengan kasar. Seorang staf terburu-buru masuk, terlihat panik. "Aksa, ada wartawan di luar yang nanya-nanya soal Retta. Kita udah bilang mereka nggak boleh masuk, tapi mereka nekat mau ketemu."

Wajah Retta langsung memucat. Wartawan? Bukannya Aksa udah memastikan nggak akan ada media yang terlibat? Hatinya mulai berdebar lebih kencang, dan semua perhatian kini tertuju pada dirinya. Suasana yang tadinya profesional kini berubah tegang.

"Gue udah bilang nggak ada media yang boleh masuk, kan?" Aksa berdiri dengan nada tegas, wajahnya memerah. Dia jelas tidak suka dengan gangguan yang tiba-tiba ini.

"Kita nggak tahu dari mana mereka dapet info soal Retta ada di sini. Mereka bener-bener maksa buat masuk," jawab staf dengan cemas.

Retta hanya bisa duduk terdiam, memandang Aksa dengan wajah penuh kecemasan. Seketika, bayangan masa lalu kembali menghantui pikirannya-insiden Rey, saat ia menjadi tersangka utama dalam kasus yang menggemparkan. Meski ia sudah dinyatakan tak bersalah, trauma dan stigma dari publik masih membekas.

Aksa melihat betapa gelisahnya Retta, lalu segera memutuskan untuk turun tangan. "Lo tenang di sini, Rett. Gue yang urus ini semua."

Aksa keluar dari ruang meeting, meninggalkan Retta bersama beberapa staf yang masih sibuk berdiskusi. Namun, bisikan-bisikan kembali terdengar.

"Kasihan juga ya, Retta. Pasti susah balik ke dunia hiburan setelah kasus itu."

"Iya, tapi dia emang pernah pacaran sama Rey, kan? Kok bisa, ya..."

Retta mendengar setiap kata itu meskipun mereka berbisik. Tangannya gemetar, dan ia mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Ia sudah cukup kuat melewati masa-masa sulit itu, tetapi kenyataan bahwa orang-orang masih membicarakan insiden tersebut membuatnya semakin sulit untuk melangkah maju.

Tak lama kemudian, Aksa kembali masuk ke ruangan dengan wajah serius. "Wartawannya udah gue suruh pergi. Sorry banget, Rett. Gue bener-bener nggak nyangka mereka bisa tahu lo ada di sini."

Retta tersenyum kecil, meski hatinya masih diliputi kecemasan. "Nggak apa-apa, Sa. Gue cuma... ya, gue kira gue udah bisa nge-handle semua ini, tapi ternyata masih berat."

Aksa duduk di samping Retta, menatapnya dengan penuh perhatian. "Gue ngerti, Rett. Gue ngerti banget. Tapi lo nggak sendirian, ya? Gue di sini buat lo."

Mendengar itu, Retta sedikit lega. Meski hatinya masih diliputi keraguan, ia tahu bahwa Aksa ada di sana untuk mendukungnya, apa pun yang terjadi. Namun, insiden wartawan itu membuatnya sadar bahwa bayang-bayang masa lalu masih ada, siap menghantuinya kapan saja.

"Gue nggak mau lo terjebak di masa lalu, Rett," Aksa melanjutkan, "Lo punya banyak potensi, lo bisa bangkit lagi. Gue yakin proyek ini bisa jadi langkah baru buat lo."

Retta mengangguk, meski dalam hati masih merasa berat. "Gue coba, Sa. Gue coba buat lewatin ini."

"Dan gue bakal pastiin lo nggak harus hadapin semua ini sendirian," tambah Aksa sambil tersenyum.

Mereka pun melanjutkan pembahasan proyek, meski suasana masih sedikit tegang. Meski ada kejadian tak terduga, Retta tahu bahwa langkah ini penting baginya untuk mulai meraih hidup baru. Tantangan memang belum usai, tetapi dengan dukungan Aksa, ia merasa ada harapan untuk kembali berdiri tegak.

Namun, Retta tahu, ini baru permulaan. Bayang-bayang insiden itu masih akan terus menghantuinya, dan ia harus siap menghadapi apa pun yang datang.

Welcome to Hometown (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang