BAB 12: Membuka Lembaran Baru

51 40 1
                                    

( FOLLOW SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN)

TERIMA KASIH *HAPPY READING, SEMOGA KALIAN SUKA*

---

Pagi itu, Retta sedang menikmati secangkir kopi di teras rumahnya. Kehidupannya yang penuh sorotan kini terasa jauh. Tiba-tiba ponselnya bergetar di atas meja. Nama Aksa muncul di layar.

“Hah? Aksa nelpon gue?” gumam Retta, sedikit terkejut. Ia ragu sejenak sebelum menggeser layar untuk menerima panggilan.

“Retta, Gue butuh bantuan lo nih,” suara Aksa terdengar riang di seberang sana.

“Bantuan? Lo lagi di mana?” Retta bertanya, mencoba bersikap biasa.

“Gue lagi ada proyek gede nih. Kantor gue butuh model, dan gue kepikiran lo. Siapa lagi yang lebih cocok, kan? Lo kan aktris terkenal!” ucap Aksa, dengan nada menggoda di akhir kalimatnya.

Retta tertawa kecil, meskipun hatinya sedikit berat mendengar tawaran itu. “Aksa, lo tau kan gue udah nggak aktif lagi di dunia itu. Apalagi setelah... lo tau lah, insiden itu.”

“Ya, ya, gue tau, Rett. Tapi lo harus inget, itu kemaren. Sekarang lo punya kesempatan buat tampil lagi, dan ini kesempatan emas! Plus, gue yang fotoin lo, jadi pasti bakal keren abis!” Aksa terdengar penuh semangat.

Retta terdiam sejenak, memikirkan tawaran Aksa. Bagian dari dirinya ingin menerima, tapi bayangan masa lalu terus menghantuinya. Insiden Rey, di mana ia hampir dituduh sebagai pembunuh, membuatnya trauma untuk kembali ke sorotan.

“Aksa, gue nggak yakin gue siap buat itu lagi. Lo tau sendiri, gue masih belum bisa lepas dari kejadian itu. Orang-orang mungkin masih nganggep gue terlibat,” kata Retta dengan nada serius.

Aksa menarik napas panjang di ujung telepon. “Gue ngerti, Rett. Tapi lo nggak bisa terus-terusan sembunyi, kan? Lo punya bakat, dan itu nggak bakal hilang cuma karena kejadian itu. Gue yakin lo bisa ngejalanin ini. Gue yang bakal pastiin semuanya aman buat lo.”

Retta terdiam lagi, kali ini lebih lama. Ia tahu Aksa benar, tapi hatinya masih ragu.

“Gue bakal mikirin deh, tapi gue nggak janji,” jawab Retta akhirnya, setengah hati.

“Nah, itu dia! Pikirin dulu aja, gue nggak maksa kok. Tapi gue yakin lo bakal suka sama proyek ini,” Aksa tersenyum di seberang telepon, merasa sedikit menang.

Tak lama setelah itu, Aksa tiba-tiba menyela, “Eh, lo lagi di mana sekarang? Gue lagi deket nih sama rumah lo. Gimana kalo kita ketemu, ngobrol bentar?”

Retta mengangkat alis. “Loh? Lo ngapain di sini?”

“Nggak sengaja lewat. Tapi serius, gue di deket rumah lo. Gue ke sana ya?”

Retta ingin menolak, tapi sebelum sempat membuka mulut, Aksa sudah menutup telepon. “Yah, anaknya nekat,” gumamnya sambil tertawa kecil.

Beberapa menit kemudian, terdengar bunyi bel. Retta membuka pintu dan menemukan Aksa berdiri di sana dengan senyum lebar. “Gue bawa kopi juga, siapa tau lo butuh refill,” kata Aksa sambil mengangkat dua gelas kopi di tangannya.

Retta hanya bisa menggeleng sambil tertawa kecil. “Masuk deh.”

Beberapa menit setelah Aksa masuk dan duduk di ruang tamu, Bu Dea yang masih duduk di sofa memperhatikan kehadirannya.

“Eh, Aksa, kamu kesini?” tanya Bu Dea dengan senyum tipis, meski wajahnya masih tampak lelah.

“Iya, Bu. Lagi ada urusan sama Retta,” jawab Aksa sambil melirik ke arah Retta, lalu kembali menatap Bu Dea.

Bu Dea tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih hangat. “Kamu udah lama ya nggak main ke sini? Biasanya tiap hari.”

Aksa tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya, agak malu. “Iya, Bu, maaf. Aksa lagi banyak kerjaan soalnya, jadi jarang ada waktu main ke sini.”

Bu Dea mengangguk paham. “Oh, gitu ya. Nggak apa-apa, Ibu ngerti. Yang penting kerjaan kamu lancar-lancar aja.”

“Alhamdulillah, Bu, lancar. Walaupun sibuk, Aksa selalu ingat buat sempatin ke sini kalau ada waktu,” jawab Aksa dengan senyum ramah.

Retta yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum kecil, merasa sedikit lega melihat obrolan ringan antara ibunya dan Aksa. Suasana yang tadinya penuh dengan ketegangan kini sedikit mencair berkat kehadiran Aksa yang selalu membawa energi positif.

“Yaudah, Bu, Aksa nggak bakal lupa mampir, kok,” tambah Aksa lagi sambil tersenyum, mencoba menghilangkan kekhawatiran Bu Dea.

Setelah obrolan ringan dengan Bu Dea, Aksa mengisyaratkan pada Retta untuk menuju ke teras. Retta mengangguk, lalu berjalan mengikuti Aksa keluar rumah. Mereka mengambil tempat duduk di teras yang menghadap ke halaman depan yang rindang.

Mereka duduk di teras sambil ngobrol tentang banyak hal. Mulai dari pekerjaan Aksa sebagai fotografer hingga kehidupan Retta yang kini lebih banyak dihabiskan di rumah. Retta mulai merasa nyaman, sampai akhirnya Aksa mulai membahas proyeknya lagi.

“Jadi, gimana? Lo tertarik buat jadi model gue?” tanya Aksa, masih dengan nada menggoda.

Retta hanya mendesah pelan. “Gue masih belum yakin, serius deh. Gue... belum siap buat balik ke dunia itu.”

Aksa menatapnya dengan serius kali ini. “Retta, lo nggak harus takut. Gue yang tanggung jawab sama semuanya. Lagian, ini bukan soal dunia hiburan, ini soal karya seni. Lo bakal tampil sebagai diri lo sendiri, nggak lebih. Gue janji.”

Suasana sedikit canggung, tapi sebelum Retta sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara riuh dari arah pagar.

“Woy, Aksa! Retta! Gila!” teriak suara yang familiar.

Retta dan Aksa menoleh dan melihat Vino serta Leo berjalan mendekat. “Eh, kalian ngapain di sini?” Retta bertanya sambil tersenyum.

“Kebetulan kita lewat, terus lihat Aksa, yaudah deh sekalian mampir,” jawab Vino sambil menepuk bahu Aksa.

“Nah, ini dia reuni kecil-kecilan nih,” tambah Leo sambil menyeringai.

Mereka berempat akhirnya duduk bersama di teras, mengobrol tentang masa-masa dulu saat mereka masih sering nongkrong bareng. Aksa mulai menceritakan rencana proyeknya dan bagaimana dia ingin Retta terlibat. Vino dan Leo, tentu saja, tidak ketinggalan ikut menyemangati.

“Eh, Retta! Lo harus ikutan deh. Lo kan emang cocok jadi model!” seru Vino.

“Iya, dulu aja lo sering jadi pusat perhatian kita. Masa sekarang nolak?” Leo menambahkan sambil tertawa.

Retta hanya bisa tertawa, meskipun di dalam hatinya masih bimbang. Mereka berempat terus bercanda dan berbagi cerita lucu dari masa lalu, hingga suasana yang tadinya canggung berubah menjadi penuh tawa.

“Aksa, lo masih suka motret cewek-cewek cantik kan?” goda Vino tiba-tiba.

Aksa pura-pura mengangkat bahu. “Ya gimana, kerjaan gue menuntut begitu,” jawabnya dengan ekspresi serius tapi lucu, membuat semuanya tertawa.

Setelah beberapa saat, Vino dan Leo akhirnya pamit, meninggalkan Retta dan Aksa di teras. Suasana kembali hening, meskipun tidak lagi canggung.

“Retta, gue ngerti lo masih ragu. Tapi gue beneran berharap lo mau ikut proyek ini. Gue nggak akan maksa, tapi gue janji, lo nggak bakal nyesel,” Aksa berkata dengan nada lebih lembut kali ini.

Retta menatap Aksa, melihat keseriusan di matanya. Dia tahu Aksa selalu bisa dipercaya, tapi bayangan masa lalu masih membebani pikirannya.

“Gue bakal mikir lagi, Sa. Tapi untuk sekarang, gue belum bisa janji,” jawab Retta pelan.

Aksa mengangguk, tersenyum tipis. “Gue ngerti. Yang penting lo mikir dulu, ya?”

Retta mengangguk. Meskipun masih ragu, ia merasa sedikit lebih lega setelah berbincang dengan Aksa dan teman-temannya. Hari itu terasa seperti langkah kecil ke arah yang lebih baik, meskipun ia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Welcome to Hometown (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang