BAB 5: Kembali ke Rumah

102 81 4
                                    

( FOLLOW SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN)  

TERIMA KASIH *HAPPY READING, SEMOGA KALIAN SUKA*  

---

Publik yang masih terus memanas membuat Retta semakin cemas. Gosip-gosip yang beredar di luar sana tak kunjung reda. Setiap hari namanya terus menjadi bahan perbincangan. Kabar miring yang belum jelas kebenarannya menyebar, sementara wartawan terus mengepung rumahnya seolah tak ada akhirnya.

Retta duduk di sofa, memainkan ujung rambutnya dengan gelisah. Setelah beberapa detik memandangi layar ponselnya, akhirnya ia menekan panggilan ke Gea, manajernya.

“Gea, gue mau hiatus dulu,” ucap Retta dengan suara rendah tapi penuh kepastian.

Gea yang di ujung telepon terdiam sejenak. “Lo serius, Rett? Gue ngerti lo lagi capek, tapi lo yakin ini keputusan yang bener? Publik bakal makin penasaran kalau lo tiba-tiba ngilang.”

“Gue nggak peduli. Gue udah nggak kuat kayak gini terus,” balas Retta sambil memijat pelipisnya. “Wartawan di mana-mana, rumah gue nggak ada tenangnya. Gue mau pulang ke kampung dulu, butuh waktu buat tenang.”

Gea menarik napas panjang sebelum akhirnya mengiyakan. “Oke, kalau lo butuh waktu ya gue bakal bantu urus semuanya. Tapi lo hati-hati ya, Rett. Jangan lupa update ke gue.”

Setelah menutup telepon, Retta menarik napas panjang, merasa sedikit lebih lega. Keputusan sudah diambil, ia harus pergi dari hiruk-pikuk ini. Keesokan harinya, ia langsung berangkat ke kampung halamannya, meninggalkan keramaian ibu kota dengan mobil mewahnya. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berputar, antara lega bisa keluar dari semua tekanan itu dan cemas memikirkan reaksi orang-orang di kampung nanti.

---

Setibanya di kampung, Retta melihat rumah sederhana yang penuh kenangan di depan matanya. Rumah ini tempat ia tumbuh besar, tempat ia dulu menjalani kehidupan yang jauh dari sorotan publik. Dari depan pintu, Ibu Dea sudah menantinya dengan senyum lebar di wajah. Di sampingnya berdiri Naya, adik perempuan Retta yang sekarang sudah SMA.

“Retta! Kamu pulang juga, Nak. Ibu udah kangen banget,” seru Ibu Dea dengan nada bahagia, langsung memeluk putri sulungnya erat-erat.

Retta membalas pelukan itu dengan hangat. “Maaf, Bu. Aku lama nggak pulang,” ucapnya pelan, merasa bersalah karena baru sekarang kembali.

“Nggak apa-apa, yang penting kamu di sini sekarang. Ayo, masuk ke dalam,” ujar Ibu Dea sambil menggandeng Retta masuk ke dalam rumah. Naya hanya tersenyum tipis, memperhatikan kakaknya dengan pandangan penuh rasa cemas.

“Kak, gimana kabarnya?” tanya Naya pelan, canggung, tapi penuh perhatian.

“Baik, kok. Kamu sendiri gimana, Nay?” Retta berusaha menyembunyikan kegelisahannya dengan senyum kecil.

“Baik juga, Kak. Sekolah aman,” jawab Naya sambil mengangguk, berusaha memberi kesan tenang.

Setelah berbincang sebentar di ruang tamu, suasana sedikit lebih cair. Namun, ada kekhawatiran yang terasa di balik wajah ceria Ibu Dea dan Naya. Mereka tahu ada masalah besar yang sedang dihadapi Retta, meski Retta berusaha keras untuk tidak menunjukkan beban itu.

“Retta, Ibu sama Naya pengin datang waktu persidangan kemarin. Tapi kamu nggak mau kita datang, ya?” Ibu Dea memecah kesunyian dengan pertanyaan yang sejak tadi mengganjal di benaknya.

Retta menggeleng cepat. “Aku nggak mau kalian lihat aku kayak gitu, Bu. Biar aku aja yang ngadepin. Nanti malah bikin kalian sedih.”

Ibu Dea terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan pengertian. “Ibu ngerti. Tapi kalau ada apa-apa, kamu harus bilang sama kita, ya. Jangan dipendem sendiri.”

Retta tersenyum tipis, merasa lega mendengar pengertian dari ibunya. Mereka kemudian menghabiskan malam itu dengan berbincang ringan, mencoba menghindari topik berat yang mungkin bisa membuat suasana jadi tegang. Namun, di balik canda tawa kecil itu, Retta masih merasakan ada beban berat yang menekan dadanya. Sesekali, ia mendapati ibunya memandangnya dengan tatapan penuh perhatian, seolah-olah tahu ada hal yang disembunyikan Retta.

Hari-hari berikutnya, Retta lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Ia merasa enggan keluar dan bertemu warga desa. Bagaimanapun juga, ia tahu ada banyak mata yang penasaran dengan keberadaannya, terutama setelah segala isu yang beredar di media. Warga desa mungkin tidak se-ekspresif orang kota, tetapi tatapan mereka sering kali lebih tajam dan penuh tanya. Retta merasa lebih nyaman berada di dalam rumah, menghabiskan waktu dengan ibunya dan Naya.

---

Suatu sore, setelah merasa cukup bosan dengan suasana rumah, Retta memutuskan untuk berjalan-jalan ke pantai yang tidak jauh dari rumahnya. Ia mengenakan hoodie besar dan masker, berharap tidak ada yang mengenalinya. Udara sore itu terasa sejuk, dan angin laut yang bertiup membawa aroma asin yang selalu membuatnya merasa tenang.

Saat berjalan menyusuri pantai, Retta tiba-tiba melihat sosok yang tak asing di kejauhan. Dia sedang memotret sesuatu di ujung dermaga, mengenakan kaos hitam dengan kamera tergantung di lehernya, tampak fokus pada pemandangan di depannya. Retta terdiam sejenak, hatinya tiba-tiba terasa berat. Itu Aksara—atau Aksa, begitu ia biasa memanggilnya—teman masa kecil sekaligus mantannya saat SMA.

Retta tak tahu harus berbuat apa. Bertahun-tahun telah berlalu sejak mereka terakhir bertemu, dan pertemuan kali ini benar-benar tak terduga. Dalam sekejap, perasaan canggung dan bingung menyeruak di antara kenangan lama mereka.

Retta ingin berbalik, menghindari pertemuan ini, tapi Aksa sudah terlanjur melihatnya. “Retta?” suaranya terdengar ragu, tetapi ada sedikit senyum di wajahnya. “Lo di sini?”

Retta tersenyum kecil dari balik maskernya, tapi canggung jelas terasa. “Eh, iya. Gue lagi jalan-jalan aja,” jawabnya sambil berusaha bersikap biasa.

Aksa mendekat, mencoba membaca ekspresi di wajah Retta yang tersembunyi di balik hoodie dan masker. “Udah lama banget ya, kita nggak ketemu,” katanya dengan nada yang sama-sama canggung.

“Iya, lama banget.” Retta mengangguk, merasa kata-katanya tak cukup mewakili betapa anehnya momen ini.

“Lo lagi di sini lama, apa cuma mampir?” tanya Aksa lagi, mencoba mencairkan suasana.

“Kayaknya bakal lama deh,” jawab Retta. “Butuh... waktu buat tenang.”

“Oh, ya. Gue denger sih... soal lo akhir-akhir ini. Sorry ya kalau gue bahas.” Aksa tampak sedikit menyesal, tapi ia tak bisa menghindari topik itu sepenuhnya.

Retta hanya mengangguk pelan, tak ingin membahas lebih jauh. “Nggak apa-apa.”

Mereka berdiri di situ, diam-diam menikmati angin pantai yang lembut, meskipun percakapan mereka tidak berjalan lancar. Keduanya sama-sama bingung harus berkata apa, terlalu banyak sejarah di antara mereka yang belum terselesaikan. Tapi di balik semua kecanggungan itu, ada rasa nyaman yang perlahan muncul. Mungkin, meskipun waktu telah mengubah banyak hal, ada beberapa bagian dari diri mereka yang masih saling terhubung.

“Eh, gue balik duluan, ya,” kata Retta, merasa pertemuan ini cukup untuk sementara.

Aksa mengangguk, tersenyum tipis. “Oke, Rett.”

Retta hanya melambaikan tangan, lalu berjalan kembali ke arah rumahnya dengan hati yang campur aduk. Pertemuan dengan Aksa ini membuka kenangan lama yang ingin ia lupakan, tapi juga memberikan rasa hangat yang tidak ia duga.

Saat malam tiba, Retta berbaring di kamarnya, pikirannya dipenuhi oleh bayangan Aksa dan masa-masa saat mereka masih bersama. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menghadapi perasaan yang selama ini ia hindari. Tapi untuk sekarang, ia hanya ingin menikmati ketenangan sesaat di kampung halamannya, jauh dari sorotan publik dan keramaian kota yang menyesakkan.

Welcome to Hometown (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang