( FOLLOW SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN)
TERIMA KASIH *HAPPY READING, SEMOGA KALIAN SUKA*
---
Hari-hari Retta di rumah terasa sunyi dan membosankan. Tanpa pekerjaan yang jelas, ia mulai merasa terasing di kampung halamannya sendiri. Ketika Ibunya mengajaknya membantu di ladang sayur, Retta dengan cepat menolak.
"Retta, kenapa kamu nggak bantu Ibu di ladang? Cepetan bantu ibu, dari pada kamu nganggur dirumah," ucap Ibu Dea, suaranya tegas namun penuh kasih sayang.
"Maaf, Bu. Aku lagi pengen jalan-jalan. Butuh udara segar," jawab Retta sambil berusaha terlihat santai, meski di dalam hatinya merasakan rasa bersalah yang mendalam.
Ibu Dea memandangnya dengan tatapan penuh pengertian, tapi juga sedikit penasaran. "Udara segar, ya? terserah kamu aja deh, nanti setelah pulang bantu ibu masak ya, kalau ada apa-apa kabarin ibu."
Retta mengangguk, menyadari betul bahwa semua orang di desa ini tahu kabar tentang dirinya. "Iya, Bu. Nanti kalau ada apa-apa, aku kabarin."
Setelah berpamitan, Retta memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampung, mengenakan topi dan masker untuk menyamarkan wajahnya. Dia berjalan tanpa tujuan, hanya ingin menghirup udara segar dan melupakan sejenak semua tekanan yang menghimpit.
Saat melintasi area pantai, Retta melihat sosok yang tidak asing. "Astaga, Aksa!" pikirnya, jantungnya berdegup kencang. Melihat Aksa yang sedang fokus dengan kameranya, Retta merasakan gelombang campur aduk. Ia merasa panik dan langsung berbalik untuk menghindar.
"Retta?" Aksa memanggil, suaranya penuh rasa ingin tahu.
Retta terhenti sejenak, kemudian mempercepat langkahnya. Namun, langkahnya terhenti lagi saat ia bertemu dengan Vino dan Leo, dua teman masa kecilnya. Keduanya terlihat kaget dan senang melihat Retta.
"Retta! Lo beneran, kan?!" seru Vino, matanya berbinar penuh kegembiraan.
"Wow, udah lama banget!" Leo menambahkan, wajahnya berseri-seri.
Retta merasa terjepit di antara dua sisi-ingin kabur tetapi juga merindukan mereka. "Eh, hai! Gimana kabarnya?" tanyanya, berusaha tampil santai meski hatinya berdebar.
Vino dan Leo saling bertukar pandang, lalu Vino menjawab, "Kami baik-baik aja. Lo tahu kan, desa ini selalu sama. Nggak banyak perubahan, ya."
"Iya, ya. Ternyata desa ini masih sama." Retta berusaha mencairkan suasana, meskipun rasa tidak nyaman masih terasa di hatinya.
"Oke deh, gimana kalau kita ngopi dulu. Ada kafe baru yang buka,"
"Ayo! Katanya mereka punya kopi yang enak banget!" Leo menjawab dengan semangat. "Lo pasti suka, Rett!"
"Kalau ada dessert, itu bonus!" Vino menambahkan, sambil tertawa.
"Boleh ayo, kita kesana. Tapi, jangan bilang siapa-siapa, ya. Gue nggak mau diingatkan tentang... ya, semua itu," Retta berusaha meminta pengertian.
"Deal!" Vino mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Retta.
Mereka berempat melanjutkan langkah ke kafe sambil bercanda tawa, menyenangkan hati Retta yang sempat merasa tertekan. Suasana penuh canda tawa membuatnya sejenak lupa akan semua beban yang ada.
Namun, ketika mereka mendekati kafe, rasa canggung kembali muncul di benak Retta. "Eh, sebentar. Gue kayaknya mau pulang deh."
"Hah? Kenapa?" Vino terkejut. "Kita baru mau ngopi!"
"Aku... inget ada kerjaan di rumah!" Retta beralasan, berusaha untuk tidak terlihat panik.
Leo menggenggam tangan Retta. "Ayo, Rett! Kita semua ada di sini. Nggak ada yang mau bahas hal-hal itu, kok."
Tapi Retta sudah merasa malu. "Maaf, guys. Gue beneran harus pergi. Nanti aja deh kita lanjutin obrolannya."
"Eh, tapi..." Aksa berusaha menghalanginya, tapi Retta sudah berbalik dan melangkah cepat.
"Retta!" panggil Vino, tapi Retta sudah terlalu jauh.
Setelah beberapa langkah, Retta berusaha mengatur napas. Kenapa sih aku bisa ketemu mereka sekarang? Rasanya ia ingin menghilang. Makin cepat ia berjalan, makin berdebar jantungnya.
Retta menyesal sudah keluar rumah. Seharusnya ia tetap dirumah, setidaknya tidak ada yang menanyainya.
Setibanya di rumah, Retta langsung menutup pintu dengan keras. Nafasnya masih tidak teratur. "Kenapa aku harus kabur? Seharusnya bisa lebih santai!" keluhnya pada dirinya sendiri.
Ibu Dea yang mendengar suara pintu, muncul dari dapur. "Retta? Kenapa? Suara pintunya kayak suara orang ketakutan!"
"Aku... nggak ada apa-apa, Bu!" jawab Retta, berusaha mengalihkan perhatian.
"Yakin? Mukamu pucat. Ada yang bikin kamu sakit hati?" tanya Ibu Dea, mengamati putrinya.
"Enggak, Ibu! Aku cuma capek aja," Retta menjawab sambil berusaha tersenyum, meski hatinya masih bergejolak.
Ibu Dea menggelengkan kepala. "Kalau kamu nggak mau cerita, ya sudah. Tapi ingat, kamu itu anak Ibu. Nggak ada yang bisa bikin kamu sedih. Kalau ada, Ibu bisa angkat badannya!"
Retta tertawa kecil mendengar cara Ibu Dea bicara. "Iya, Bu. Makasih ya."
"Sekarang mending kamu bantu Ibu di dapur. Kita masak yang enak untuk makan malam," ucap Ibu Dea sambil menarik Retta ke dapur.
Retta hanya mengangguk. Saat ia membantu ibunya, pikirannya melayang kembali kepada teman-temannya. Mereka semua baik, dan Retta merasa terharu dengan perhatian yang mereka tunjukkan. Ia harus mengatasi rasa malunya dan mulai menikmati kebersamaan mereka lagi.
Setelah selesai memasak, Retta merasa lebih baik. Ia mulai berpikir, mungkin ia bisa mengajak teman-temannya untuk berkumpul lagi, tanpa merasa tertekan.
Tapi saat Retta teringat pertemuan tadi, rasa malu dan panik itu kembali menyerangnya. "Ah, Retta, harusnya lo bisa lebih santai. Nggak ada yang salah ketemu teman lama," pikir Retta dalam hati.
Malam itu, sambil duduk di meja makan bersama Ibu Dea dan Naya, Retta mulai merenungkan keputusan-keputusan yang diambilnya. "Mungkin gue memang perlu berusaha untuk lebih terbuka," gumamnya pelan.
Ibu Dea yang mendengar, menatapnya dengan mata penuh pengertian. "Kamu mau curhat? Ibu bisa dengerin, loh. Kadang, ngomong sama orang lain itu bisa bikin bebanmu berkurang."
Retta menggelengkan kepala. "Nggak, Bu. Aku cuma mikir, aku harus lebih berani. Sepertinya ketemu Vino, Leo, dan Aksa tadi itu baik buatku."
Ibu Dea tersenyum bangga. "Nah, itu dia! Kadang kita butuh dorongan dari orang lain. Dan kamu punya banyak teman yang care sama kamu."
"Ya, tapi... kadang aku masih merasa malu sama keadaan ini," Retta mengakui. "Aku udah ngilang lama, dan sekarang balik dengan status pengangguran. Rasanya aneh."
"Normal kok. Semua orang pernah jatuh bangun. Yang penting adalah bagaimana kamu bangkit lagi. Ibu yakin, kamu pasti bisa!" Ibu Dea menepuk bahunya dengan lembut.
Mendengar dukungan ibunya, Retta merasa sedikit lega. "Makasih, Bu. Aku akan coba lebih terbuka dan jangan terlalu berpikir negatif," katanya dengan semangat baru.
Malam itu, sebelum tidur, Retta memikirkan kembali pertemuan di kafe. Ia merasa beruntung memiliki teman-teman yang peduli, meski kadang rasa malu mengganggu. Dengan tekad baru dan semangat untuk berbaur lagi, ia menutup matanya, berharap esok hari akan membawa hal-hal baik dalam hidupnya.
Setidaknya, Retta tahu satu hal-ia tidak sendiri. Dan itu adalah awal yang baik untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Welcome to Hometown (ON GOING)
RomanceRetta Agatha, aktris ternama dengan segudang penghargaan, tiba-tiba harus menghadapi kehancuran hidupnya saat ia dituduh sebagai tersangka dalam pembunuhan pacarnya. Dalam sekejap, karier gemilangnya runtuh, penggemar berbalik meninggalkannya, dan m...