BAB 26: Kenangan Pahit

42 30 5
                                    

( FOLLOW SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN)  

TERIMA KASIH *HAPPY READING, SEMOGA KALIAN SUKA*  

---

Setelah perjalanan yang panjang, Retta dan Aksa akhirnya tiba di rumah masing-masing. Sore yang sejuk membuat suasana semakin tenang, namun di dalam hati Retta ada kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Meskipun dia sudah kembali tinggal di desa, rasa bersalahnya atas kejadian masa lalu masih terus menghantui.

Setelah beberapa saat berdiam diri di rumah, Retta memutuskan untuk menghubungi Aksa. Ia merasa butuh seseorang untuk menemaninya menghadapi perasaan berat yang kembali muncul. Dengan tangan gemetar, ia menekan nomor Aksa dan menunggu nada sambung.

“Halo, Rett?” suara Aksa terdengar dari seberang, terdengar sedikit terkejut.

“Aksa,” panggil Retta pelan, mencoba memecah keheningan yang menyesakkan di dalam dirinya. "Lo bisa temenin gue ke makam Kak Fani?"

Aksa terdiam sejenak, dan Retta bisa mendengar napas panjang diambil di sana. Meski Aksa sudah terbiasa menghadapi rasa kehilangan, menyebut nama Fani masih menyisakan luka. Tapi, tanpa ragu, Aksa menjawab dengan suara pelan namun tegas, "Bisa, Rett. Gue juga niatnya mau ke sana."

Retta merasa sedikit lega mendengar jawaban Aksa, meski kegelisahan di dalam hatinya masih belum sepenuhnya hilang.

---

Mereka berdua kemudian berjalan menuju pemakaman desa yang terletak tak jauh dari rumah. Makam Fani berada di pojok, di bawah bayangan pohon besar yang rimbun. Tempat itu terlihat damai, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk. Bukan di tepi pantai seperti kenangan pahit mereka, tetapi di sini, di antara tanah yang hijau dan rindang, Fani dimakamkan dengan tenang.

Retta berdiri diam di depan nisan kakak Aksa. Angin sore menghembuskan aroma tanah dan daun yang jatuh, seakan ikut merasakan kesedihan yang ada di dalam hati Retta. Tangan Retta sedikit gemetar saat ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

"Kak Fani... maaf..." ucap Retta dengan suara bergetar. Meski hanya kata sederhana, bebannya terasa begitu berat.

Aksa, yang berdiri di sampingnya, menunduk. Ia memejamkan mata sejenak sebelum berkata, “Dia pasti maafin lo, Rett. Dia tahu lo nggak bermaksud apa-apa waktu itu.”

Hening menyelimuti mereka. Suara burung-burung kecil yang terbang di pepohonan terdengar samar, seakan-akan ikut menjaga kedamaian di tempat itu. Retta menatap nisan Fani lama, memikirkan kembali kejadian delapan tahun lalu yang terus menghantui pikirannya. Fani, kakak Aksa, meninggal saat mencoba menyelamatkannya, dan sejak saat itu, hidup Retta tak pernah sama.

Setelah beberapa saat, mereka selesai berdoa dan memutuskan untuk bersiap kembali. Namun, suasana damai di makam itu berubah ketika Retta melihat sosok Bu Ratna sedang berjalan menuju makam Fani. Langkahnya pelan, tapi penuh beban, dan tatapan dinginnya tertuju langsung pada Retta. Meski belum sampai, dari cara Bu Ratna memandang, sudah jelas bahwa kehadiran Retta di sana masih belum bisa diterima.

Retta menunduk sejenak, hatinya terasa semakin berat. "Aksa," bisiknya pelan, sementara Bu Ratna terus mendekat tanpa sepatah kata pun.

"Aksa," panggil Bu Ratna dengan nada tajam, "kenapa kamu bawa dia ke makam Fani?"

Aksa sedikit tersentak mendengar nada ibunya yang penuh amarah, namun ia berusaha tetap tenang. “Bu, Retta cuma pengen berdoa buat Kak Fani. Dia merasa bersalah, dan ini caranya buat menghormati Kak Fani,” jawab Aksa dengan lembut, berharap bisa meredakan ketegangan.

Bu Ratna tak bergeming, matanya masih menatap tajam ke arah Retta. Ada luka yang mendalam di sana, campuran antara kemarahan dan kesedihan yang terpendam. “Kamu nggak pantas ke sana, Retta,” katanya dengan suara dingin. “Fani meninggal karena kamu. Apa kamu lupa?”

Welcome to Hometown (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang