BAB 18: Tragedi Masa Lalu

58 39 5
                                    

( FOLLOW SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN)

TERIMA KASIH *HAPPY READING, SEMOGA KALIAN SUKA*

---

2016, delapan tahun yang lalu.

Saat itu, tahun 2016. Retta dan Aksa berusia 17 tahun dan baru saja menjalin hubungan cinta pertama mereka. Hari itu, mereka berada di bus menuju lokasi karya wisata, sebuah kegiatan tahunan yang sangat dinanti-nantikan oleh siswa-siswi SMA. Semua tampak ceria, tawa dan canda menghiasi perjalanan, sementara Aksa dan Retta duduk bersebelahan, saling berbisik dan berbagi cerita.

Retta sangat dekat dengan Fani, kakak Aksa, yang kini berusia 18 tahun. Fani adalah sosok yang ceria dan selalu siap membantu, apalagi saat mereka berencana melakukan kegiatan renang di pantai selama karya wisata tersebut.

---

Suara ombak yang menghantam bibir pantai terdengar seirama dengan gelak tawa para siswa SMA yang tengah menikmati karya wisata mereka. Di antara mereka, Retta berdiri dengan sedikit gugup, memandang laut yang terbentang luas di depannya. Meskipun senang bisa ikut dalam perjalanan ini, ada satu hal yang selalu membuatnya cemas—air. Retta tidak bisa berenang.

"Kamu nggak mau ikutan main air, Rett?" tanya Fani sambil menyentuh bahunya. Fani, kakak Aksa dan sahabat Retta, selalu tampak begitu percaya diri. Ia perenang andalan di sekolah mereka, sering memenangkan kejuaraan dan bercita-cita menjadi atlet profesional.

Retta tersenyum kecil, meski hatinya berdebar. "Aku nggak bisa renang, Kak. Takut tenggelam."

Fani tertawa ringan, tetapi tidak pernah meremehkan ketakutan sahabatnya itu. "Kalau kamu butuh, aku ada di sini. Lagipula, kalau kamu mau belajar renang, aku bisa bantu."

Retta mengangguk, walau tetap enggan mendekati air. Di kejauhan, ia melihat Aksa sedang bercanda dengan teman-temannya. Mereka belum lama berpacaran, tapi Aksa selalu bisa membuat Retta nyaman dengan cara yang sederhana. Namun, hari itu, sesuatu yang tak terduga akan mengubah semuanya.

Hari yang awalnya cerah berubah menjadi tragedi yang tak terlupakan.

---

Siang itu, setelah makan siang bersama, para siswa kembali ke pantai untuk menikmati sisa waktu sebelum kembali ke bus. Retta duduk di tepi pantai, membiarkan kakinya terbenam di pasir lembut. Ia memandang lautan dengan perasaan campur aduk—indah, tapi juga menakutkan.

Fani baru saja selesai berenang bersama beberapa teman sekelasnya. Dengan wajah segar, ia mendekati Retta. "Ayo, paling nggak kita main air di pinggir, nggak harus sampai dalam kok," ajaknya, mendorong Retta agar sedikit lebih berani.

Setelah beberapa bujukan, Retta akhirnya mengiyakan. Dengan hati-hati, mereka berjalan menuju pinggir air. Retta tetap berjaga-jaga agar tidak terlalu jauh masuk ke laut, sementara Fani sesekali menyelam untuk merasakan sejuknya air.

Namun, nasib berkata lain.

Entah bagaimana, Retta tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Arus laut yang mendadak kuat menarik tubuhnya ke arah yang lebih dalam. Panik, Retta mencoba melawan air, tapi semakin ia bergerak, semakin dalam tubuhnya tenggelam.

"Kak Fani!" seru Retta dengan suara parau, berharap sahabatnya mendengar teriakannya.

Fani yang berada tidak terlalu jauh segera menyadari keadaan darurat itu. Tanpa berpikir panjang, dia berenang ke arah Retta. Siswa-siswa lain di pantai tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Aksa, yang berada di sisi lain pantai, juga belum menyadari kekacauan yang terjadi.

Fani berhasil meraih tangan Retta dan, dengan tenaga yang luar biasa, mulai menariknya kembali ke permukaan. "Tenang, Rett! Aku di sini. Tarik napas!" teriak Fani, berusaha menjaga agar Retta tetap tenang.

Namun, dalam proses menyelamatkan Retta, kaki Fani tiba-tiba tersangkut sesuatu di dasar laut—batu karang yang besar dan tajam. Meskipun panik, Fani tetap berusaha melepaskan diri sambil memegang erat tangan Retta. Tapi arus yang semakin kuat memperburuk keadaan. Fani terjebak.

Retta, yang sudah setengah sadar, akhirnya diselamatkan oleh salah satu guru yang melihat keributan itu dari kejauhan. Guru tersebut menariknya ke tepi pantai, namun Fani masih terjebak di dasar laut.

Beberapa siswa mulai berteriak, sadar bahwa Fani masih di air. Aksa, yang akhirnya menyadari apa yang terjadi, segera berlari mendekati air, tetapi sudah terlambat. Beberapa guru dan siswa lainnya mencoba menyelam untuk mencari Fani, tapi ia sudah terlalu dalam.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, tubuh Fani ditemukan di dasar laut, tak bernyawa.

---

Hari itu mengubah segalanya.

Kematian Fani meninggalkan luka yang begitu dalam bagi keluarganya, terutama Bu Ratna. Sebelumnya, Bu Ratna sangat akrab dengan keluarga Retta. Ia menyayangi Retta seperti anaknya sendiri dan sering menghabiskan waktu bersama keluarga Bu Dea. Tetapi setelah kecelakaan itu, semuanya berubah.

Bu Ratna tak bisa menerima kenyataan bahwa putrinya meninggal saat mencoba menyelamatkan sahabatnya. Rasa kehilangan dan duka berubah menjadi kemarahan yang terpendam. Ia berhenti bicara dengan Bu Dea, dan setiap kali melihat Retta, pandangannya selalu penuh kebencian. Hubungan yang dulu hangat kini renggang, hancur oleh tragedi.

Retta pun merasakan perubahan yang besar. Ia merasa bersalah dan menyesali kecelakaan itu, meski semua orang tahu bahwa itu bukan salahnya. Namun, perasaan itu terus menghantuinya. Setiap kali bertemu dengan Bu Ratna, Retta selalu merasa tertekan, seolah-olah kehadirannya mengingatkan Bu Ratna akan kehilangan yang tak terobati.

Namun, Aksa berbeda. Meskipun ia sangat kehilangan kakaknya, ia tidak pernah menyalahkan Retta. Ia tahu bahwa itu hanyalah kecelakaan tragis. Aksa tetap dekat dengan Retta dan keluarganya, meski Bu Ratna tak pernah bisa memaafkan.

"Ini bukan salah kamu Retta," kata Aksa suatu hari, beberapa bulan setelah kejadian itu. Mereka duduk di taman, mencoba mengobrol meski suasana tetap penuh duka. "Kak Fani memilih untuk nolong kamu. Dia akan melakukan hal yang sama untuk siapa pun."

Retta menatap mata Aksa yang penuh ketegasan, tapi juga rasa sakit. "Tapi dia meninggal...karena aku..."

Aksa menggenggam tangan Retta, menenangkannya. "Itu kecelakaan, Rett. Nggak ada yang bisa nyalahin kamu atas apa yang terjadi. Dan aku yakin, Kak Fani ingin kita melanjutkan hidup kita, tanpa beban ini."

---

Di hari yang sama setelah kecelakaan itu, Retta berusaha menemui Bu Ratna. Dengan langkah berat dan perasaan bersalah yang mendalam, dia berdiri di depan pintu rumah Bu Ratna, menatap wajah Bu Ratna yang sedang duduk bersama beberapa keluarga.

Retta mendekat, berusaha mengumpulkan keberanian. "Bu Ratna..." suaranya gemetar, hampir tak terdengar.

Bu Ratna menoleh, menatap Retta dengan mata yang basah dan penuh kemarahan. Wajahnya yang dulu hangat kini berubah dingin.

"Apa yang kamu mau?" tanya Bu Ratna dengan suara rendah, tetapi tegas.

Retta terdiam, bingung harus berkata apa. "Aku... aku mau minta maaf, Bu. Aku nggak pernah bermaksud—"

"Maaf?" Bu Ratna memotong cepat. Matanya menyala penuh emosi. "Kamu pikir maaf bisa mengembalikan Fani? Kamu pikir maaf cukup buat menebus nyawa anak saya?"

Retta menunduk, air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan. "Aku nggak tahu harus gimana lagi, Bu. Aku benar-benar nggak mau ini terjadi..."

"Kalau kamu nggak ada di sana, Fani masih hidup." Kalimat itu terucap dengan tajam, seperti belati yang menusuk hati Retta. Tanpa berkata apa-apa lagi, Bu Ratna beranjak, meninggalkan Retta berdiri terpaku dengan rasa bersalah yang kian dalam.

Kejadian di pantai itu selamanya akan menjadi bayangan di antara mereka. Retta harus hidup dengan perasaan bersalah yang terus menghantuinya, sementara Bu Ratna mungkin tidak akan pernah bisa memaafkan. Namun, Aksa selalu ada di sisinya, berusaha menjaga hubungan mereka tetap kuat meski duka dan trauma membayangi.

Welcome to Hometown (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang