BAB 7: Langkah baru

86 68 4
                                    

( FOLLOW SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN)

TERIMA KASIH *HAPPY READING, SEMOGA KALIAN SUKA*

---

Pagi itu, Retta menatap keluar jendela. Suara ayam berkokok dan angin sepoi-sepoi yang menerpa daun-daun ladang di depan rumahnya membuat suasana terasa damai, meskipun hatinya masih sedikit berat. Setelah pertemuannya dengan Vino, Leo, dan Aksa beberapa hari lalu, dia terus berusaha melupakan kejadian itu, terutama perasaan campur aduk yang muncul saat bertemu mereka lagi. Tapi yang paling sulit tentu saja adalah melupakan Rey. Meskipun sudah lama berlalu, bayangan Rey terus muncul dalam pikirannya seperti mimpi yang sulit diusir.

Dengan berat hati, Retta memutuskan untuk turun tangan membantu ibunya di ladang hari ini. Biasanya ia lebih memilih berdiam diri di rumah, tapi hari ini ia butuh kegiatan untuk mengalihkan pikirannya. Retta tahu, bekerja di ladang berarti akan bertemu warga desa, orang-orang yang mungkin sudah mendengar gosip tentang kehidupannya di ibu kota. Itu membuatnya merasa ragu. Namun, ia sudah memutuskan untuk mencoba lebih berani menghadapi kenyataan.

"Retta, ayo cepetan! Pagi udah terang benderang, jangan kebanyakan bengong di rumah," teriak Ibu Dea dari luar rumah, memanggilnya dengan nada yang khasnya.

"Iya, Bu! Sebentar," balas Retta sambil mengambil topi dan sebotol air. Dia menghela napas panjang dan keluar rumah, menyiapkan dirinya untuk menghadapi hari.

Di ladang, suasananya cukup ramai. Beberapa warga desa sudah mulai bekerja sejak pagi, termasuk Ibunya Vino, Bu Lina, yang juga teman dekat Ibu Dea. Retta sudah menduga akan bertemu dengannya, dan benar saja, begitu sampai di ladang, ia melihat Bu Lina sedang membantu Ibu Dea dengan penuh semangat.

"Wah, akhirnya anak ibu mau juga turun ke ladang!" seru Bu Lina dengan nada bercanda begitu melihat Retta. Senyumnya ramah, namun Retta tahu bahwa orang-orang di desa ini tahu tentang kepergiannya ke ibu kota.

"Iya, Bu. Udah kelamaan nganggur di rumah," Retta tersenyum canggung.

Bu Lina mendekat dan menepuk bahu Retta pelan. "Nggak apa-apa, Retta. Semua orang punya perjalanan hidup masing-masing. Yang penting kamu baik-baik aja sekarang."

Retta hanya mengangguk pelan. Ada rasa lega karena Bu Lina tidak menanyakan hal-hal yang lebih pribadi. Teman ibunya itu sepertinya paham betul kalau Retta butuh waktu untuk menata hidupnya lagi. Namun, tidak semua warga di ladang sebaik dan sepengertian itu.

Beberapa warga mulai berbisik-bisik sambil melirik Retta. Beberapa di antara mereka bahkan memberanikan diri untuk mendekat.

"Eh, itu bener ya si Retta udah nggak di Jakarta lagi?" tanya salah satu tetangga dengan nada kepo.

"Iya, kayaknya ada masalah di sana, makanya pulang kampung," balas yang lainnya.

Mendengar percakapan itu, Retta mulai merasa risih. Sudah pasti mereka mendengar gosip tentang kejatuhannya di ibu kota. Meskipun Bu Lina dan Ibu Dea mencoba menahan agar pembicaraan tidak semakin jauh, rasa tidak nyaman sudah terlanjur menyelimuti hati Retta.

"Bu, aku mau pulang duluan ya," ujar Retta, mencari alasan untuk segera kabur dari situasi yang tidak menyenangkan itu.

Ibu Dea menatapnya dengan sedikit heran, tapi memahami. "Ya sudah, hati-hati di jalan. Ibu selesaiin pekerjaan di sini."

Retta berjalan cepat meninggalkan ladang, berharap bisa melarikan diri dari rasa malu dan gosip yang tak henti-hentinya berputar di kepala orang-orang desa. Di tengah perjalanan pulang, ia malah kembali bertemu dengan Aksa. Laki-laki itu sedang duduk di tepi jalan, sibuk dengan kameranya. Proyek fotografinya memang belum selesai, dan Aksa masih sering terlihat mondar-mandir di desa dengan kameranya yang siap merekam momen.

"Eh, Retta?" Aksa sedikit kaget, tapi tetap tersenyum. "Mau pulang?"

Retta agak panik tapi mencoba tenang. "Iya, baru aja dari ladang, bantuin Ibu."

"Oh... gue kira lo masih betah di rumah terus," balas Aksa dengan senyum tipis, kayak nyoba buat mencairkan suasana.

Retta tertawa kecil, canggung. "Ya... bosen juga lama-lama. Mending bantuin Ibu biar ada kerjaan."

Aksa mengangguk, sambil memainkan tali kameranya. "Lo masih sering ngumpet, ya? Masih takut ketemu warga?"

Retta menunduk sebentar, jelas kelihatan gak nyaman. "Ya... nggak sering sih. Tapi, tadi cuma sebentar di ladang."

Suasana makin canggung. Mereka berdiri berhadap-hadapan, tapi sama-sama bingung harus ngomong apa lagi.

Retta hanya tersenyum kaku, merasa percakapan ini makin canggung. Ia jelas ingin mengakhiri obrolan ini.

"Gue... jalan dulu ya, capek habis dari ladang," katanya buru-buru, mencari alasan untuk pergi.

"Oh, ya... hati-hati ya," balas Aksa, sedikit terburu-buru tapi tetap berusaha terlihat santai.

"Iya," jawab Retta singkat, sebelum melanjutkan langkahnya cepat-cepat, berharap rasa canggung tadi segera hilang.

Retta melangkah pergi, merasa sedikit lebih ringan. Meskipun hari ini penuh dengan rasa risih, pertemuannya dengan Aksa setidaknya memberi ruang untuk bernafas. Retta tahu, semua ini butuh waktu, dan ia masih dalam proses memahaminya.

Welcome to Hometown (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang