Setelah Gita meninggalkan Revan di gedung olahraga, dia berjalan kembali ke kelasnya. Meskipun pikirannya masih sedikit terganggu oleh interaksi mereka, dia berusaha menjaga ekspresi dinginnya. Sesampainya di kelas, teman-temannya sudah mulai membereskan barang-barang mereka, tanda bahwa waktu pulang sekolah sudah dekat. Gita duduk sebentar, membereskan buku dan peralatan belajarnya dengan tenang, lalu memandangi suasana kelas yang mulai sepi.
Setelah semuanya siap, Gita melangkah menuju parkiran. Dia mengambil mobilnya, lalu mengemudi pulang. Sepanjang perjalanan, pikirannya tak bisa lepas dari sosok Revan. Meskipun dia jarang berbicara banyak dengan orang lain, pertemuan-pertemuannya dengan Revan meninggalkan kesan yang sulit diabaikan. Mulai dari kebodohannya yang tak terlupakan saat pertama kali mereka bertemu ketika dia dengan ceroboh masuk ke ruang ganti pria tanpa menyadari ada Revan di sana. Gita bahkan masih bisa merasakan malu yang menyelimuti dirinya saat itu.
Kenangan lainnya muncul saat Revan mengantarkannya pulang hujan-hujanan di malam hari. Gita jarang merasakan kenyamanan seperti itu dengan seseorang yang baru saja ia kenal. Revan berbeda. Tatapan matanya, caranya berbicara, dan kehangatan yang ia rasakan saat berada di dekat Revan membuat hatinya sedikit terguncang.
'Baru juga beberapa hari kenal, tapi sudah bikin perasaan gw begini?' pikir Gita sambil menarik napas panjang.
Begitu sampai di rumah, Gita langsung masuk ke kamarnya. Setelah melemparkan tasnya ke kursi, ia berbaring di tempat tidur, memandangi langit-langit kamar yang gelap. Pikiran tentang Revan terus berputar di kepalanya. Suara tawanya, cara dia memaksanya untuk mencoba shooting basket tadi, dan senyum jahilnya yang menyebalkan tapi entah kenapa bisa membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Malam semakin larut, dan Gita merasa perlu menceritakan semua ini kepada seseorang. Ia segera bangkit, bersiap-siap untuk pergi ke apartemen sahabatnya, Eli. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, dan Eli adalah tempat Gita selalu merasa nyaman untuk berbagi cerita meskipun Eli juga dikenal tidak akan ragu-ragu mengejutkannya dengan sarkasme atau lelucon yang tajam.
Begitu sampai, Gita mengetuk pintu dan Eli menyambutnya dengan senyum santai.
"Gw nginep di sini malam ini" kata Gita begitu masuk.
Eli mengangkat alis, tapi tak terkejut.
"Oke, biasa aja kali. Lo kayak nggak pernah nginep di sini aja" balas Eli.
Gita duduk di sofa, sementara Eli menyusulnya. Namun, Gita langsung berkata.
"Kayaknya gw mulai suka sama Revan"
Detik berikutnya, wajah Eli berubah drastis. Matanya membelalak kaget, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Apa?!" serunya.
Gita menatap Eli dengan wajah datar, meski di dalam hatinya ada perasaan campur aduk.
"Iya. Gw kayaknya mulai suka sama Revan" ucap Gita sekali lagi.
"Revan? Lo serius?" tanya Eli memastikan dia tidak salah dengar.
Gita mengangguk perlahan, merasa sedikit tidak nyaman mengakui hal itu.
Eli mendekat, menyandarkan tubuhnya di pinggiran sofa dengan alis yang terangkat.
"Gita, baru beberapa hari yang lalu lo datang ke sini dan nangis karena lo baru aja putus sama Dion. Sekarang lo bilang lo tertarik sama Revan?" Eli menatapnya dengan campuran keterkejutan dan skeptisisme.
Gita hanya menghela napas panjang dan menggeser posisi duduknya lebih dekat di samping Eli.
"Gw nggak tahu, Li. Mungkin gw memang belum sepenuhnya move on, tapi ada sesuatu tentang Revan yang bikin gw nyaman" keluh Gita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary : Called Love? (DelGit)
Fanfiction[Hanya Fiksi, Jangan Dibawa Ke Real Life] Revan Fidella Angkasa, cowok populer dan jago basket di sekolah, selalu dikelilingi banyak teman. Sikapnya yang ramah sering membuat cewek-cewek salah paham, mengira dia memberi harapan lebih. Namun, di bali...