Setelah perjalanan yang cukup tenang di malam itu, Revan akhirnya tiba di depan kost-nya. Tempat sederhana dengan pagar besi yang sudah agak berkarat itu selalu memberinya rasa damai, meski kost ini kecil dan hanya memiliki beberapa kamar.
Udara dingin malam menyambutnya saat dia mematikan mesin motor dan melepas helmnya. Hening yang terasa begitu akrab mengisi sekitarnya, hanya ditemani suara angin lembut yang sesekali berhembus.
Revan melangkah melewati gerbang, membuka pintu kost dengan pelan agar tidak membuat keributan. Lampu di lorong utama masih menyala, menandakan bahwa beberapa penghuni lain mungkin masih terjaga.
Namun, dia tidak berniat untuk menyapa siapa pun. Saat ini, pikirannya masih penuh dengan kejadian di rumah Gita. Senyuman lembut Gita, percakapan mereka, dan terutama lukisan yang tanpa sadar telah dia buat malam itu. Semua itu terus berputar di benaknya.
Sesampainya di dalam kamarnya yang kecil namun rapi, Revan melepaskan jaket dan duduk di atas kasur. Udara malam yang masuk melalui jendela terbuka sedikit membuatnya menggigil. Dia menarik napas panjang, merasakan rasa lelah mulai menyergap setelah hari yang panjang.
Dia menatap sekeliling kamarnya, dinding putih polos tanpa banyak dekorasi, meja belajar dengan beberapa buku yang berserakan, dan lukisan kecil yang pernah dia buat bertahun-tahun lalu, masih tergantung di dinding. Dulu, melukis adalah pelariannya, cara untuk mengekspresikan apa yang tak bisa dia ucapkan dengan kata-kata.
Tapi malam ini, tanpa dia sadari, seni itu kembali hadir melalui potret Gita yang dia lukis. Perasaan hangat muncul di hatinya, meski disertai sedikit kebingungan. Apa yang sebenarnya dia rasakan pada Gita? Apakah ini sekadar ketertarikan, ataukah sesuatu yang lebih dalam?
Semua pertanyaan yang Revan sendiri sudah mengetahui jawabannya.
Dia tersenyum kecil, mengingat bagaimana Gita tampak terkejut saat melihat lukisannya. Tatapan matanya saat itu begitu jelas dalam ingatan Revan, sebuah momen yang sepertinya akan sulit dia lupakan.
Tanpa sadar, tangannya merogoh ponselnya yang tersimpan di saku jaket. Jempolnya berhenti di atas layar sejenak, ragu. Dia ingin mengirim pesan pada Gita, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Setelah beberapa detik kebingungan, akhirnya dia mengetik sesuatu yang sederhana.
Penemu Kulkas🥶
Anda
Lagi ngapain?
Pesan itu terasa ringan, tapi cukup untuk menjembatani perasaan canggung yang mungkin masih tersisa. Revan menatap layar ponselnya dengan hati-hati, menunggu balasan yang entah akan datang atau tidak. Sambil menunggu, dia bersandar di dinding kamar, membiarkan pikirannya terus berkelana.
Di tengah kesunyian, meskipun kepalanya penuh dengan keraguan dan harapan, dia merasa bahwa apa pun yang terjadi antara dia dan Gita, ini adalah awal dari sesuatu yang berbeda.
Revan memandangi layar ponselnya, matanya terfokus pada pesan yang belum juga mendapat balasan. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk pelan di atas lutut, gelisah. Sudah beberapa menit berlalu sejak dia mengirim pesan itu, dan keheningan dari Gita membuat pikirannya berputar liar. Mungkin dia sudah tertidur? Atau mungkin dia sedang melakukan kegiatan lain?
Ketika akhirnya ponsel Revan bergetar, detak jantungnya terasa melonjak. Dia segera membuka layar dan membaca balasan singkat dari Gita.
Penemu Kulkas🥶
Penemu Kulkas🥶
Gak ada. Kenapa?
Senyuman tipis menghiasi wajah Revan. Dia bisa membayangkan nada suara Gita yang datar tapi penuh rasa ingin tahu. Gita memang tidak pernah basa-basi dalam berbicara, namun hal itu justru yang membuatnya semakin menarik di mata Revan. Dia memikirkan jawaban yang tepat, tidak ingin terdengar berlebihan tapi juga ingin melanjutkan obrolan.
![](https://img.wattpad.com/cover/370649140-288-k262260.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary : Called Love? (DelGit)
Fanfiction[Hanya Fiksi, Jangan Dibawa Ke Real Life] Revan Fidella Angkasa, cowok populer dan jago basket di sekolah, selalu dikelilingi banyak teman. Sikapnya yang ramah sering membuat cewek-cewek salah paham, mengira dia memberi harapan lebih. Namun, di bali...