DCL - Part 22

859 119 10
                                    

Pada malam harinya. Di sebuah kafe yang berlokasi di pinggiran kota, lampu-lampu kuning hangat memancarkan suasana tenang. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara, memberi kesan nyaman kepada para pengunjung. Revan berdiri di belakang meja bar, mengenakan apron hitam khas barista, dengan wajah yang terlihat tenang namun matanya sedikit redup.

"Espresso double shot buat meja dua" suara barista seniornya memecah kesunyian, membuat Revan tersentak dari lamunannya. Ia segera meraih cangkir, fokus pada tugasnya.

Tangannya bergerak cekatan saat menakar bubuk kopi, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Ibunya masih di rumah sakit. Kondisinya memang sedikit stabil sejak terakhir kali dia dengar dari Greesel, tapi ketidakpastian itu menggelayut di pikirannya seperti bayangan yang tak mau pergi. Setiap kali mesin kopi berdengung, suara itu terasa seperti pengingat akan masalah yang sedang ia hadapi.

Namun, Revan tak bisa membiarkan dirinya lengah. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir kekhawatiran sejenak. Ini bukan waktunya untuk larut dalam masalah pribadi. Di sini, di kafe ini, ia adalah seorang profesional.

"Bro, latte art lo mantap, kayak biasa" ujar Dito, rekan kerjanya, sambil mengangguk ke arah cappuccino yang baru saja Revan buat. 

"Thanks, Dit. Gw cuma berusaha fokus" balas Revan tersenyum tipis.

Tapi sebenarnya fokus adalah hal yang sulit saat ini. Setiap dentingan sendok di cangkir, tawa pengunjung di pojok kafe, hingga alunan musik yang diputar pelan, semuanya terasa terlalu keras di telinganya. Rasanya seperti seluruh dunia sedang berjalan dalam kecepatan yang berbeda, sementara dia terjebak dalam kekhawatiran dan rasa cemas.

Tiba-tiba, suara notifikasi ponselnya membuat jantungnya berdegup kencang. Ia menaruh lap yang sedang dipakainya dan mengambil ponselnya dari saku apron. Pesan dari Greesel.

Greesel

Greesel

Dokter bilang kondisinya stabil, tapi masih perlu observasi

Revan menghela napas panjang, menatap layar ponselnya sejenak sebelum menyimpannya kembali. Sebagian dari dirinya merasa lega, tapi bayangan ibunya di ranjang rumah sakit masih menghantui pikirannya. Bahkan saat membuat minuman untuk pelanggan yang duduk di depan, ekspresinya masih sedikit kosong.

"Permisi, latte saya udah jadi?" seorang pelanggan perempuan dengan suara lembut membuatnya kembali ke realita.

"Oh, iya. Maaf, Mbak" Revan buru-buru menyelesaikan pesanan, menyerahkan cangkir dengan senyum profesional yang dipaksakan.

Dia tahu tak ada yang salah dengan minumannya. Secara teknis, semua yang ia buat malam ini sempurna, seperti biasa. Tapi di dalam dirinya, dia merasa ada yang kurang. Seolah-olah setiap cangkir kopi yang dia buat hanyalah rutinitas kosong yang tak lagi punya makna. Sebagian dari dirinya hanya ingin berada di rumah sakit, bersama ibunya.

"Van, lo nggak apa-apa?" tanya Dito lagi, melihat Revan yang tampak gelisah.

"Gw fine, cuma... kepikiran sedikit soal nyokap" jawab Revan sambil mengangguk pelan.

Dito terdiam sejenak, lalu menepuk bahu Revan dengan pelan. 

"Gw ngerti. Tapi lo juga butuh istirahat, bro. Kalau lo mau pulang lebih awal, gw bisa handle" ucap Dito.

Revan menggeleng, menguatkan dirinya. 

"Nggak, gw stay aja. Thanks, Dit"

Walaupun tawaran itu menggoda, Revan memilih untuk bertahan. Pekerjaan ini adalah pelarian sejenak dari kekhawatiran yang menumpuk, dan meski pikirannya tak sepenuhnya ada di sini, ia merasa lebih baik berada di tempat yang membuatnya sibuk. Setidaknya, untuk beberapa jam ke depan, ia bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Diary : Called Love? (DelGit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang