DCl - Part 27

765 101 11
                                    

Setelah menempuh beberapa jalanan yang masih sepi, Revan menepi di sebuah warung bubur sederhana di pinggir jalan. Aroma kaldu hangat dan bawang goreng segera menyapa mereka, membangkitkan selera makan.

"Kenapa berhenti?" tanya Flora sambil turun dari motor.

"Isi tenaga dulu, biar perut lo gak kosong" jawab Revan, mengangguk ke arah warung.

Flora tersenyum tipis dan mengikuti Revan duduk di bangku kayu yang agak reyot namun nyaman. Mereka memesan dua mangkuk bubur dan menikmati sarapan dalam suasana tenang, hanya ditemani suara sendok dan sesekali suara kendaraan yang melintas di jalanan yang masih lengang.

Revan perlahan menyendok buburnya, namun setiap kali suapannya menyentuh sudut bibirnya yang memar, rasa perih membuatnya meringis kecil. Flora yang duduk di depannya sesekali melirik, menyadari luka di bibir Revan namun memilih tidak langsung bertanya. Meski begitu, Revan tahu Flora pasti sudah menduga sesuatu.

Akhirnya, Revan menatap Flora dengan senyum kecil.

"Nggak penasaran, Flo?" tanya Revan.

Flora menelan suapannya lalu menatap Revan dengan santai.

"Kalau lo mau cerita, gw dengerin. Kalau nggak, ya nggak apa-apa" jawab Flora.

Jawaban tenang itu membuat Revan merasa dihargai. Meski dia tak memberi rincian, pikirannya justru melayang pada Gita, membayangkan reaksi Gita jika nanti melihat memarnya ini. Bayangan itu membuat Revan tersenyum tipis, karena meski sikap Gita di depan banyak orang selalu dingin, saat mereka hanya berdua, Gita justru bisa bersikap lebih lembut dan perhatian.

Melihat Revan yang tampak termenung, Flora menyenggol bahunya sambil tersenyum usil.

"Lo tuh, lagi mikirin apa, sih? Takut ketahuan, ya?" goda Flora, nadanya penuh selidik.

Revan tersentak, kemudian menatap Flora dengan ekspresi heran, pura-pura bingung.

"Ketahuan apaan?" tanyanya sambil mengangkat alis.

Flora hanya tertawa kecil dan menatap Revan dengan tatapan yang seolah sudah tahu jawabannya.

"Gita, lah. Siapa lagi? Semua orang juga tau kali, lo lagi deketin dia" jawab Flora dengan nada ringan.

Revan menghela napas sambil tersenyum kecil.

"Ya, mungkin... gw nggak tau juga gimana reaksinya kalau sampai dia tahu. Bisa jadi dia marah atau malah cuek, kayak biasa" ucap Revan.

Flora menyeringai, mengaduk buburnya pelan.

"Marah? Marahnya Gita 'kan kadang cuma karena caranya aja yang nggak langsung. Tapi... bukannya itu bukti kalau dia perhatian?" balas Flora.

Revan menatap ke arah buburnya, sejenak berpikir, lalu tersenyum lagi, lebih lebar kali ini.

"Iya, juga ya. Gw sih gak masalah kalau dia marah, malah seneng. Rasanya beda aja" ujar Revan dengan suara lebih pelan.

Flora terkekeh kecil, memahami apa yang dirasakan sahabatnya.

"Udah, mending nikmatin aja momen ngomelnya dia. Itu tandanya dia nggak se-dingin yang kelihatannya 'kan?" candanya.

Revan tersenyum, merasa sedikit lebih lega. Percakapan sederhana itu cukup menghangatkan hatinya dan memberi energi tambahan untuk menghadapi hari. Dalam diam yang nyaman, mereka menyelesaikan sarapan mereka, sementara Revan membayangkan bagaimana nanti kalau bertemu Gita di sekolah, apakah sikap dinginnya mungkin sedikit lebih hangat hari ini?

Setibanya di sekolah, Revan dan Flora berpisah di koridor utama. Flora melambaikan tangannya sambil berkata.

"Semangat latihannya, Van!"

Diary : Called Love? (DelGit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang