DCL - Part 11

760 110 8
                                    

Malam itu, setelah Revan meninggalkan rumahnya, Gita kembali ke kamarnya. Dia menutup pintu dengan lembut, beranjak menuju meja belajarnya, dan duduk di kursi. Di atas meja, sebuah buku berwarna hitam bergaris merah dengan pita pengikat menunggu. Buku diary-nya. Gita membuka buku itu, menyingkap lembaran-lembaran yang penuh dengan catatan masa lalunya, sebelum akhirnya menemukan halaman kosong yang siap diisi.

Ia menatap buku itu sejenak, sebelum mulai menulis.

'Hari ini, semuanya terasa berjalan seperti biasa, tapi rasanya ada yang berbeda. Aku menjalani hariku seperti rutinitas biasanya pagi hari berangkat sekolah, memimpin rapat OSIS, mengikuti pelajaran, dan menyelesaikan tugas-tugas yang sudah menumpuk. Semuanya berjalan lancar, seperti apa yang selalu kuharapkan. Tapi ada satu hal yang tidak bisa aku abaikan... Revan.

Aku baru kenal dia beberapa hari yang lalu. Cowok itu tiba-tiba muncul di tengah keseharianku, dan aku nggak tahu bagaimana dia bisa secepat ini menarik perhatianku. Aku nggak suka hal ini. Aku benci perasaan ini, perasaan yang membuatku kehilangan kontrol atas diriku sendiri. Aku nggak pernah membiarkan orang lain masuk ke ruang pribadiku, apalagi seseorang seperti Revan.

Dia ramah, terlalu ramah malah. Sikapnya selalu ceria dan terbuka, seperti semua orang adalah temannya. Awalnya, aku pikir itu cuma cara dia menjaga image di sekolah sebagai cowok populer, tapi setelah menghabiskan waktu bersamanya tadi, aku sadar ada sesuatu yang berbeda darinya. Dia mudah bicara dengan siapa pun, seolah-olah dia bisa masuk ke dalam hidup orang lain tanpa perlu mengetuk pintu. Dan aku? Aku malah membiarkannya masuk begitu saja.

Sebenarnya, aku nggak suka dengan cara dia bersikap terlalu friendly, terutama ke cewek-cewek. Hari ini, aku melihatnya menggoda adik kelas kami, dengan senyum dan tawa yang sama seperti yang dia tunjukkan kepadaku. Revan sepertinya memang seperti itu pada semua orang terlalu baik, terlalu perhatian, dan terlalu mudah membuat orang lain merasa spesial. Apa ini hanya gayanya? Atau aku yang terlalu berharap?

Aku harus jujur, dua hari ini perasaanku kacau. Setelah putus dengan Dio, aku merasa lega. Aku pikir dengan berakhirnya hubungan itu, aku bisa lebih fokus pada diriku sendiri, pada tujuan-tujuanku di sekolah, dan tentu saja OSIS. 

Hubungan kami yang penuh drama membuatku jenuh. Dio dulu selalu menuntut, selalu membuatku merasa terbebani, selalu menghilang tanpa kabar, dan akhirnya aku memutuskan untuk berhenti karena tahu aku cuman salah satunya. 

Rasanya melegakan seperti bisa bernapas lagi setelah tenggelam terlalu lama. Tapi setelah hari kemarin... entah kenapa aku merasa seperti kembali tenggelam, dan itu karena Revan.

Tadi, saat kami duduk di taman, dia membuatku merasa nyaman, sesuatu yang nggak pernah kurasakan selama ini, bahkan dengan Dio. Biasanya, aku nggak suka bicara tentang hal-hal pribadiku, apalagi dengan seseorang yang baru kukenal. 

Tapi Revan... dia bisa membuatku merasa tenang. Seolah-olah apa yang aku katakan bukanlah beban. Dia mendengarkan tanpa menghakimi, dan caranya memandangku aku merasa ada sesuatu di balik matanya yang ingin aku tahu, tapi aku nggak bisa menjangkaunya.

Aku benci ini. Aku benci bagaimana aku bisa begitu cepat tertarik padanya. Aku nggak boleh seperti ini. Dia terlalu banyak bergaul dengan cewek lain. Hari ini, aku lihat dia menggoda adik kelas kami dan bahkan bercanda dengan Eli di kantin. 

Mereka tampak sangat akrab, dan jujur saja, itu menggangguku. Harusnya aku nggak merasa seperti ini. Aku bahkan baru mengenalnya dua hari! Tapi kenapa rasanya seperti aku sudah mengenalnya lebih lama? Seperti ada sesuatu yang menarikku padanya, sesuatu yang aku nggak bisa tolak.

Dia beda dengan Dio. Dio selalu ingin mendominasi, mengatur apa yang harus kulakukan, sementara Revan... dia seperti angin. Bebas, tak bisa dipegang, dan terus bergerak, menyentuh siapa pun yang dia mau. 

Diary : Called Love? (DelGit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang