Gita melangkah masuk ke kamarnya, menyandarkan tubuhnya di pintu yang baru saja dia tutup perlahan. Dia memandangi sekeliling kamarnya yang hening, hanya ditemani suara detik jam dinding yang nyaris tak terdengar. Pandangannya beralih ke jam dinding.
23 : 34
Sudah hampir tengah malam, dan rasa lelah yang menumpuk di tubuhnya terasa semakin berat. Tapi, pikirannya yang sibuk tak kunjung tenang.
Meski seluruh tubuhnya memohon istirahat, ada keinginan kuat yang muncul dari dalam dirinya dia ingin menuliskan semuanya. Semua yang terjadi hari ini. Semua yang tak mampu dia ungkapkan dengan kata-kata di hadapan orang lain. Dia melangkah ke samping tempat tidur, membuka laci kecil dan menarik keluar diary yang sudah setia menemaninya sejak lama. Buku itu, tempat dia biasa mencurahkan setiap perasaan yang tak pernah terucap.
Gita duduk di tepi tempat tidur, meletakkan diary di pangkuannya dan membuka halaman yang masih kosong. Jari-jarinya meluncur perlahan di atas permukaan kertas, sebelum dia mengambil pena dan mulai menulis.
'Dear diary...'
Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, mencoba mengingat dengan jelas setiap momen yang telah dia lalui hari ini. Hari yang tak terduga, penuh kejadian yang berhasil mengoyak perasaan dan pikirannya.
'Hari ini seharusnya hari yang biasa saja. Tapi ternyata tidak. Aku tak pernah menyangka bisa melewati hari dengan perasaan campur aduk seperti ini...'
Ingatannya melayang ke momen saat dia bertemu Revan di lapangan basket senyum jahilnya, ketenangan yang dia bawa, dan bagaimana dia membuatnya merasa gugup hanya dengan berada di dekatnya. Kelelahan fisik dari hari yang sibuk tidak mampu mengalahkan riuh perasaan yang dia rasakan sepanjang hari.
'Aku masih tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Awalnya, aku hanya ingin menjauh dari Revan. Aku tahu dia punya banyak perhatian dari cewek-cewek lain di sekolah. Itu sebabnya aku selalu menjaga jarak. Tapi, kenapa aku malah merasa semakin dekat dengannya? Kenapa jantungku selalu berdebar setiap kali dia mendekat? Bahkan hari ini, saat aku harus makan malam bersamanya itu... ah, kenapa aku malah merasa terjebak dalam permainan ini?'
Gita terhenti sejenak. Pikirannya kembali ke momen sore tadi, ketika dia harus terlibat dalam taruhan bodoh antara Revan dan Dion. Satu bagian dari dirinya merasa itu tidak adil sebuah permainan yang memaksa dirinya terlibat, padahal dia tidak menginginkannya. Namun, ada bagian lain dari dirinya yang lebih membingungkan. Rasa kesalnya tidak sebesar yang dia bayangkan. Sebaliknya, ada perasaan aneh saat melihat Revan maju membelanya di hadapan Dion.
'Aku benar-benar tidak mengerti. Awalnya aku merasa yakin bahwa aku harus menjaga jarak dari Revan. Aku tidak mau terjebak dalam kedekatan yang mungkin hanya sementara. Apalagi dengan caranya yang selalu ramah dan dekat dengan banyak cewek di sekolah, aku tidak mau menjadi salah satu di antaranya. Tapi hari ini...'
Pena Gita berhenti menulis sesaat, pikirannya mulai berkelana. Bayangan tentang Revan di rumahnya tadi sore kembali muncul tatapannya yang tenang saat dia berbicara dengan Trisha, caranya tersenyum ketika dia berinteraksi dengan ibunya. Semua itu berbeda dari apa yang biasa dia lihat di sekolah. Revan yang biasa dia lihat adalah sosok yang penuh canda dan tawa di tengah teman-teman, tapi di rumahnya tadi, dia melihat sisi lain, sisi yang lebih hangat, lebih perhatian.
'Sikapnya di rumah tadi... aku tidak bisa menghilangkan bayangan itu dari pikiranku. Mungkin aku terlalu berlebihan, tapi ada sesuatu dalam caranya berbicara dengan keluargaku yang membuatku merasa... lebih dekat dengannya. Seolah-olah, untuk pertama kalinya, aku melihat Revan yang sebenarnya. Bukan Revan yang selalu dikelilingi cewek-cewek di sekolah, tapi Revan yang tenang, sederhana, dan hangat. Kenapa aku merasa begini?'
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary : Called Love? (DelGit)
Fanfiction[Hanya Fiksi, Jangan Dibawa Ke Real Life] Revan Fidella Angkasa, cowok populer dan jago basket di sekolah, selalu dikelilingi banyak teman. Sikapnya yang ramah sering membuat cewek-cewek salah paham, mengira dia memberi harapan lebih. Namun, di bali...