Beberapa hari menjelang pertandingan, suasana di antara Revan dan Gita semakin terlihat berbeda. Meskipun Gita masih menjaga sikap tenangnya, ada sesuatu yang berubah. Setiap kali mereka berbicara, ada senyum kecil yang mulai muncul dari bibir Gita, sesuatu yang sebelumnya hampir mustahil dilihat. Bahkan, tanpa sadar, dia lebih sering melirik ke arah Revan, seolah mencari tahu apa yang sedang dipikirkannya.
Siang itu, Revan sedikit terlambat ke kantin. Biasanya dia selalu bersama rombongannya, tapi kali ini, setelah dipanggil Pak Andrea, ia datang sendiri. Di meja, teman-temannya sudah duduk dan mengobrol.
Ashel, yang duduk di dekat ujung meja, segera menggeser duduknya, memberikan ruang di sampingnya.
"Sini, Revan. Ada tempat buat lo" panggil Ashel sambil tersenyum manis.
Revan tersenyum sekilas, tapi bukannya mengambil tempat di samping Ashel, dia justru memilih kursi kosong di sebelah Gita, yang duduk di sisi meja lainnya. Mungkin karena jaraknya yang lebih dekat, atau mungkin dia lebih nyaman di samping Gita.
"Sorry, Ashel. Gue duduk sini aja, ya, lebih dekat" balas Revan.
Ashel langsung merasakan kekecewaan menusuk hatinya, meski dia berusaha keras menyembunyikannya di balik senyum tipis. Marsha, yang duduk tak jauh darinya, langsung menangkap perubahan ekspresi Ashel. Dengan pandangan penuh arti, Marsha memutuskan untuk mencoba memperbaiki suasana.
"Revan, duduk di sini aja, nemenin Ashel. Kan, biar dia nggak sendirian" ucap Marsha.
Namun, Revan hanya tertawa kecil dan menggeleng.
"Ah, makasih, Marsha. Tapi kursi di sini lebih dekat tadi, keburu capek jalan jauh lagi" katanya ringan.
Gita, yang sejak tadi diam, hanya melirik Revan. Tak ada senyum lebar atau tawa dari gadis itu, namun ada sesuatu yang berbeda. Kali ini, bibir Gita terlihat melengkung sedikit, memberikan senyum tipis yang hampir tak terlihat oleh yang lain. Hanya Revan yang menangkap perubahan kecil itu.
"Lo nggak suka duduk di sana?" tanya Gita dengan lembut, nyaris berbisik.
Revan menoleh, terkejut Gita berbicara padanya. Biasanya, Gita lebih sering dingin dan jarang memulai percakapan. Dia menggeleng pelan.
"Bukan gitu, cuma lebih dekat ke sini aja" jawab Revan.
Gita mengangguk, tanpa berkata apa-apa lagi. Namun, kehadiran senyum tipis di wajahnya membuat suasana di antara mereka terasa berbeda. Kedekatan itu semakin nyata, meski tanpa kata-kata.
Percakapan di meja kembali normal, dengan suara tawa dan candaan yang mengisi ruangan. Zean, Daniel, dan yang lainnya mulai membahas strategi pertandingan, sementara yang lain asyik dengan makanan mereka. Namun, mata Marsha sesekali melirik ke arah Ashel, yang semakin terlihat tak nyaman.
Di sisi lain, Gita yang duduk di samping Revan tampak sedikit canggung. Walaupun dia tak bicara banyak, senyum tipis mulai muncul di wajahnya setiap kali Revan melontarkan candaan ringan. Perubahan ini kecil, tapi jelas terlihat bagi mereka yang memperhatikannya.
Zean, yang duduk di seberang, tiba-tiba menawarkan.
"Van, nggak pesen apa-apa? Kita udah pada pesan, nih" tanya Zean.
Revan menggeleng santai, lalu tanpa peringatan, ia mengambil sendok nasi goreng dari piring Gita yang ada di depannya dan langsung menyantapnya. Tanpa minta izin, tanpa basa-basi.
"Gw ambil ini aja, deh" jawab Revan dengan tawa kecilnya.
Reaksi meja langsung terhenti sejenak. Semua mata menatap ke arah Revan dan Gita, terkejut dengan keberaniannya. Bahkan Gita sendiri tersentak, menatap piringnya seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
![](https://img.wattpad.com/cover/370649140-288-k262260.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary : Called Love? (DelGit)
Fanfiction[Hanya Fiksi, Jangan Dibawa Ke Real Life] Revan Fidella Angkasa, cowok populer dan jago basket di sekolah, selalu dikelilingi banyak teman. Sikapnya yang ramah sering membuat cewek-cewek salah paham, mengira dia memberi harapan lebih. Namun, di bali...