21. PERASAAN BERKECAMUK

103 16 3
                                    

- HAPPY READING-

Setelah bel pulang berbunyi, Yara dan Ghea berjalan beriringan menuju parkiran mobil. Di sekolah ini sebagian besar siswanya sudah mengendarai mobil mereka sendiri, termasuk Ghea. Mereka sempat saling melambaikan tangan sebelum akhirnya Yara dihampiri oleh Aidan. Wajahnya santai, rambutnya berantakan tak tersisir, namun tampak menawan.

"Seneng banget. Ngobrolin apa sama Ghea?" tanya Aidan sambil membukakan pintu mobil untuk Yara.

Yara masuk ke dalam mobil sambil tersenyum kecil. "Iya, emang seneng. Kita lagi ngobrolin kamu." Yara terkekeh. "Aku udah tukeran nomor Whatsapp sama Ghea. Kayaknya dia bakal jadi temen baikku." lanjutnya.

Aidan menaikkan alisnya, lalu tersenyum nakal. "Wah, kayaknya posisi aku bakal digantiin nih. Mulai ada saingan."

Yara tertawa pelan. "Emang kamu punya posisi di hatiku?" tanya Yara menggoda kembarnya. Aidan melayangkan pandangan tajam, membuat tawa Yara semakin kencang.

Aidan ikut tertawa, suara tawa mereka menyatu dengan suara deru knalpot mobil dan hiruk-pikuk siswa lain yang mulai pulang. Yara merasa lega. Di balik kegugupannya tadi pagi, hari pertamanya di sekolah ternyata berjalan lebih baik dari yang dia duga.

"Serius, aku seneng kamu nggak merasa tertekan atau canggung." kata Aidan dengan nada lebih serius begitu mereka mulai berkendara. "Tapi kalau ada yang berani macam-macam, terutama cowok-cowok itu, bilang ke aku ya."

Yara tahu Aidan benar-benar serius. Nada santainya mungkin tidak selalu menunjukkan betapa pedulinya dia, tapi sikapnya tidak pernah bohong.

"Tenang aja." kata Yara sambil tersenyum kecil. "Aku baik-baik aja."

===

Malam itu, setelah makan malam, Yara memilih untuk menghabiskan waktu di kamarnya. Dia duduk bersila di atas tempat tidur, tenggelam dalam dunia sihir Harry Potter. Cahaya kuning lampu meja membuat kamarnya terasa hangat dan nyaman. Buku itu adalah hadiah dari Daren, dan meskipun dia sudah membaca berkali-kali, kisah Harry dan Hogwarts selalu memberinya ketenangan. Terlebih kini buku yang dibacanya adalah miliknya sendiri.

Saat Yara sedang asyik membalik halaman, terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya. Sebelum dia sempat mempersilakan, pintu terbuka sedikit, dan Daren menyembulkan kepalanya.

"Kamu baca buku itu lagi?" tanya Daren sambil tersenyum geli. Dia melangkah masuk tanpa menunggu jawaban, lalu duduk di kursi di sudut kamar Yara.

"Kenapa? Nggak boleh?" Yara menatap Daren dengan ekspresi pura-pura serius.

Daren tertawa kecil. "Bukan gitu. Cuma heran aja, kamu nggak pernah bosan sama buku itu."

Yara tersenyum, menutup buku sebentar dan menepuk sampulnya dengan lembut. "Ini kan hadiah dari Kakak. Buku ini spesial."

Daren mengangguk puas, lalu bersandar di kursi sambil menatap Yara dengan penuh minat. "Gimana hari pertama sekolah kamu?"

Yara berpikir sejenak, lalu menjawab, "Baik kok. Aku udah dapat teman baru. Namanya Ghea. Dia anaknya asik."

"Bagus deh kalau gitu." kata Daren sambil tersenyum hangat. "Kakak tahu kamu bakal cepat beradaptasi di sekolah baru."

Yara hanya mengangguk. Meskipun dia tahu Daren mencoba menenangkannya, ada sesuatu di dalam dirinya yang masih terasa ganjil.

"Gimana perasaan kamu tinggal di sini?" Daren bertanya tiba-tiba, dengan nada hati-hati.

Pertanyaan itu membuat Yara terdiam sejenak. Dia menunduk, berpikir keras tentang jawabannya. Dalam hatinya, dia masih menyimpan ketakutan. Takut jika sewaktu-waktu mereka berubah pikiran dan memintanya pergi dari rumah ini. Meski semua orang di sini bersikap baik, dia belum sepenuhnya bisa merasa bahwa rumah ini adalah tempatnya.

Namun meskipun perasaannya berkecamuk, bukan itu yang dia katakan. Yara memilih untuk tersenyum dan berkata pelan, "Aku seneng banget bisa tinggal di sini."

Daren menatapnya sejenak, seolah mencoba membaca apa yang sebenarnya ada di balik kata-kata itu. Daren cukup jeli untuk tahu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh asik perempuannya. Namun dia tidak mendesak lebih jauh. Dia tahu bahwa beberapa hal butuh waktu. "Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan, kamu bisa cerita ke Kakak?" katanya lembut sebelum berdiri dan berjalan menuju pintu.

Yara mengangguk. "Iya, aku tahu."

Daren tersenyum, lalu menutup pintu dengan pelan. Begitu dia pergi, Yara berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya.

Di keheningan malam, Yara merasa pikirannya semakin bising. Ia memeluk buku Harry Potternya erat-erat, seperti mencari penghiburan di dalamnya. Pertanyaan-pertanyaan mulai memenuhi benaknya.

Apakah dia adalah anak yang tidak tahu diuntung?

Dia sudah menemukan keluarga kandungnya, sesuatu yang selalu dia harapkan selama ini. Bahkan lebih dari itu, dia mendapatkan tiga saudara laki-laki, Aidan, Daren, dan Sagara, yang jelas-jelas menyayanginya dan memperlakukannya dengan baik. Tapi mengapa semuanya masih terasa asing?

Setiap hari di rumah ini, Yara berusaha untuk merasa nyaman. Mereka memperlakukannya seolah dia adalah bagian dari mereka. Mereka memanggil namanya dengan hangat, mengajaknya dalam setiap aktivitas keluarga, dan memastikan dia tidak merasa sendirian.

Namun, di dalam hatinya, Yara masih merasa seperti orang asing. Seakan-akan dia sedang bermain peran dalam kehidupan orang lain, bukan kehidupannya sendiri. Seakan dia berada di tempat yang tidak seharusnya dia tempati.

Yara menarik napas dalam-dalam dan menutup matanya. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Kenapa dia masih meragukan kebahagiaan ini?

Malam semakin larut, tapi pikiran Yara tidak kunjung tenang. Dia tahu, keluarga barunya tidak pernah memperlakukannya dengan buruk. Bahkan sebaliknya, mereka selalu berusaha membuatnya merasa diterima dan nyaman.

Tapi ada ketakutan yang terus menghantui: Ketakutan bahwa semua ini bisa hilang sewaktu-waktu. Takut jika tiba-tiba mereka menyadari bahwa Yara tidak pantas ada di sini. Dia ingin merasa yakin, ingin percaya sepenuhnya bahwa dia adalah bagian dari keluarga ini. Tapi perasaan itu tidak mudah datang.

Yara akhirnya meletakkan bukunya di meja samping tempat tidur. Di luar langit semakin gelap, tapi dia tahu hari baru akan segera datang. Hari pertama di sekolah berjalan dengan baik, dan dia bersyukur untuk itu.

Yara menggulung selimut hingga menutupi tubuhnya, mencoba mencari kehangatan. Di tengah kebingungannya, dia sadar bahwa mungkin dia hanya butuh waktu. Waktu untuk benar-benar menerima bahwa dia tidak sendiri lagi, bahwa keluarga ini benar-benar menyayanginya, dan bahwa dia pantas menerima kasih sayang itu.

Pelan-pelan, Yara memejamkan matanya. Di tengah kekhawatirannya, dia tahu satu hal: Meskipun perjalanan ini tidak mudah, dia tidak sendirian. Ada Aidan, Daren, dan Sagara yang selalu ada di sisinya. Dan mungkin, suatu hari nanti, rumah ini tidak akan terasa asing lagi. Rumah ini akan benar-benar menjadi rumahnya.

Dengan pikiran itu, Yara akhirnya tertidur, membawa harapan kecil di dalam hatinya bahwa esok akan menjadi hari yang lebih baik.

-TO BE CONTINUED-

Princess In DistressWhere stories live. Discover now