Astaga aku payah banget bikin judul chapter *facepalm* Biarin lah yaa..
Eniwey... Double upload guys. Gantinya kemarin nggak upload. Luv :*
=========
-HAPPY READING-
Lorong rumah sakit itu masih ramai dengan para perawat dan orang-orang berlalu lalang, masing-masing sibuk dengan kegiatan mereka sendiri. Beberapa perawat tampak mengobrol santai, berbagi tawa di tengah kesibukan mereka, sementara yang lain tampak sibuk bertanya dan menjawab tentang keadaan pasien. Namun, bagi Sagara, Daren, dan Aidan, lorong yang sama ini terasa sangat sunyi. Di antara hiruk-pikuk yang mengelilingi mereka, ketiga bersaudara itu terjebak dalam keheningan yang penuh dengan ketegangan dan kegelisahan.
Beberapa jam yang lalu, dokter spesialis obgyn rumah sakit itu menjelaskan kondisi Yara pada mereka. Kandungan Yara tidak dapat dilanjutkan, dan dia harus segera menjalani prosedur kuretase. Setelah Yara menjalani serangkaian tes, Sagara menandatangani berkas yang diperlukan untuk menjalankan prosedur itu. Kini, dia dan kedua adik lelakinya duduk menunggu di ruang tunggu, menunggu dengan perasaan campur aduk yang tidak bisa mereka ungkapkan.
Semua ini terjadi begitu cepat dan tak terduga. Mereka merasa pilu dengan nasib sial yang menimpa Yara. Di usianya yang masih muda, Yara harus merasakan luka yang begitu mendalam dan menyakitkan. Di sisi lain, kemarahan juga memenuhi hati mereka, kemarahan yang ditujukan kepada Arion.
"Apa sekarang aku boleh ngabisin Arion?" Aidan tiba-tiba memecah keheningan, suaranya penuh rasa dendam.
Sagara menggelengkan kepalanya. "Menghabisi seseorang tidak semudah yang kamu dengar atau lihat di film. Setelah kamu menghabisi seseorang, kamu akan terus dihantui oleh bayangan orang yang kau habisi." Suaranya tegas, tetapi ada nada lembut di dalamnya. "Kamu masih sangat muda, Aidan. Aku tidak akan membiarkanmu menghabisi siapapun. Aku tidak ingin kamu memiliki pengalaman traumatis itu."
Aidan merasa kesal mendengar jawaban kakaknya. "Tapi aku yang paling berhak ngabisin Arion!" serunya, ekspresi wajahnya menunjukkan kemarahan yang mendalam. "Dia yang bikin Yara kayak gini."
Daren, yang sejak tadi mendengarkan, berusaha menenangkan suasana. "Kalau ada orang yang paling berhak nentuin takdir Arion, maka orang itu adalah Yara." Dia menatap Aidan. "Tetapi kita nggak akan membebani Yara dengan keputusan seberat itu. Dia udah cukup menderita."
Sagara menambahkan, "Yang seharusnya kita lakukan sekarang adalah fokus pada Yara. Kita harus ada di sampingnya saat dia terbangun nanti. Kita harus berjanji padanya bahwa tidak akan ada lagi satu hal pun di dunia ini yang akan menyakitinya."
Aidan termenung mendengar kata-kata kakak sulungnya. Kenangan tentang janji yang pernah dia ucapkan kepada Yara kembali terbayang dalam benaknya. Dia merasa gagal sebelumnya, dan rasa takut itu kini kembali menghantuinya. "Gimana kalau aku gagal lagi menuhin janjiku?" tanyanya, suaranya penuh keraguan.
Sagara menatap Aidan dengan tegas. "Satu hal yang aku kenal baik tentangmu adalah kamu tak pernah ingkar janji. Kamu selalu fokus pada tujuanmu dan akan melakukan apapun untuk mencapainya." Dia melanjutkan, "Aku yakin kamu tidak akan gagal menepati janjimu kali ini. Yara membutuhkanmu, Aidan."
Aidan merasakan semangatnya perlahan kembali setelah mendengar kata-kata Sagara. Dia memang selalu berusaha untuk tidak ingkar janji, meski terkadang beban itu terasa sangat berat. "Aku takut ngecewain Yara lagi." ucap Aidan dengan suara lirih.
Daren menghela nafasnya, menepuk punggung Aidan dengan lembut. "Nggak ada yang bilang bahwa nantinya hidup akan mudah. Tapi, kita punya satu sama lain sekarang. Kita akan saling mendukung satu sama lain."
YOU ARE READING
Princess In Distress
Chick-LitApa jadinya jika ternyata nama yang kita miliki selama ini ternyata bukanlah nama kita? Apa jadinya jika masa lalu kita yang kita tahu selama ini ternyata hanyalah sebuah kebohongan? Itulah yang Lili alami. Belasan tahun dia dibohongi oleh kedua ora...