29. PULANG

105 19 0
                                    

-HAPPY READING-

Matahari di pulau Kalimantan mulai meredup. Sinar jingganya tak menampakkan suasana romantis sama sekali. Sebaliknya, suasana tegang penuh amarah menyelimuti tiga Alexander bersaudara.

Sagara, Daren, dan Aidan berdiri di depan rumah yang mereka ketahui sebagai tempat Arion bersembunyi. Kemarahan memenuhi dada masing-masing. Daren melirik Sagara, berusaha menemukan ketenangan di mata kakaknya yang selalu menjadi panutan. Namun, kali ini, dalam sorot mata Sagara hanya terlihat amarah yang meluap-luap. Kemarahannya harus segera dilampiaskan.

"Nggak ada penjaga sama sekali." ucap Aidan. Sesuai dengan ucapan Ayana, Arion begitu percaya diri hingga dia tak menyiapkan penjagaan apapun. Arion sangat yakin jejaknya tak akan terlacak.

"Jangan ceroboh. Kita harus ati-ati." ucap Daren, menatap serius ke arah Aidan. Dia tahu adiknya itu tak memiliki banyak kesabaran. Tetapi kalau sampai mereka tidak hati-hati, Yara bisa saja terluka.

Pintu depan terbuka lebar, seakan mengundang mereka untuk masuk. "Arion terlalu percaya diri." gumam Daren.

"Gimana kalau dia nyakitin Yara?" Aidan bertanya, dengan nada khawatir yang tak bisa disembunyikannya. Dia sudah melihat cukup banyak kekejaman selama hidupnya. Tetapi dia tak bisa membayangkan hal itu terjadi pada adik kembarnya.

"Dia tidak akan berani." jawab Sagara, merapatkan genggaman pada pegangan pintu.

Ketiga pria itu melangkah ke dalam rumah. Pintu kayu berderit pelan saat mereka masuk. Suasana di dalam terasa sunyi. Hampir sunyi. Mereka bisa mendengar suara-suara yang teredam dari arah lantai dua. Daren dan Aidan mengikuti langkah Sagara dengan hati-hati, telinga mereka terfokus pada suara-suara yang mungkin terdengar.

Saat mereka mencapai tangga, mereka bertiga mendengar suara yang tak akan pernah mereka lupakan. Suara teriakan Yara tiba-tiba memecah keheningan. Suara itu nyaring dan penuh kepiluan, membuat jantung mereka berdegup kencang. Sagara merasakan kemarahannya memuncak mendengar teriakan Yara.

"Yara!" gumam Aidan, suaranya penuh dengan kegelisahan.

Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, ketiganya berlari menaiki tangga menuju sumber suara. Semakin dekat mereka, semakin jelas teriakan Yara terdengar. Mereka seakan bisa merasakan ketakutan dan rasa sakit yang Yara rasakan.

Akhirnya, mereka sampai di depan sebuah kamar yang pintunya tertutup. Sayup sayup mereka mendengar tangisan Yara yang meminta ampun. Hati mereka teriris mendengarnya.

Sagara tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan satu tendangan keras, pintu itu terbuka lebar. Dan pemandangan yang mereka lihat membuat jantung mereka berhenti sejenak.

Di atas tempat tidur, Yara terbaring dengan ekspresi ketakutan dan kesakitan. Arion, dengan tubuh besar dan kekuatanya, sedang menindihnya, wajahnya penuh dengan nafsu dan kebencian. Sagara merasakan darahnya mendidih saat melihat adegan mengerikan itu.

"Bajingan!" teriak Aidan, dan seolah tidak memikirkan risiko, dia berlari menuju Arion, mendorongnya hingga terjatuh ke lantai. Pukulan demi pukulan langsung dilayangkan Aidan ke wajah Arion, tak peduli pada konsekuensinya.

"Yara!" Sagara bergegas ke arah adiknya, menutupi tubuhnya dengan jasnya yang tampak menenggelamkan tubuh mungil Yara. Dia tidak bisa membayangkan rasa sakit yang dialami Yara. Dia segera memeluk adik perempuannya itu. Yara meremas erat jas Sagara yang kini menutupi tubuhnya. Sagara bisa merasakan tubuh Yara gemetar hebat. Tangis Yara pecah tak terbendung. Sagara tak peduli apa yanh dilakukan Aidan pada Arion. Bahkan jika Aidan menghabisi Arion sekalipun. Baginya yang terpenting saat ini adalah Yara telah kembali ke pelukannya.

Princess In DistressWhere stories live. Discover now