30. AWAL PEMBALASAN

102 19 0
                                    

-HAPPY READING-

Malam semakin larut, dan suasana di rumah Sagara terasa tenang. Ia mengamati adik perempuannya, Yara, yang sudah tertidur dengan damai. Pelukan Aidan di sampingnya membuat segalanya terasa lebih baik, seolah-olah cinta dan rasa saling melindungi itu mampu menutupi semua luka yang pernah mereka alami. Mungkin belum bisa mengobati, namun cukup untuk mengurangi rasa sakit mereka yang kembali terpisahkan kemarin.

Aidan tak beranjak dari sisi Yara sejak mereka tiba di rumah. Meski ada keinginan untuk menghibur Yara, Sagara dan Daren memahami bahwa Aidan membutuhkan momen ini untuk menyatukan kembali ikatan mereka.

“Aku takut kehilangan dia lagi, Kak.” ucap Aidan pelan, suaranya penuh emosi. “Aidan juga.” Daren bisa melihat pelukan erat Aidan menggambarkan kecemasannya. Ketakutan akan kehilangan Yara kembali.

Sagara mengangguk. “Kita semua merasa seperti itu, Daren. Tapi sekarang dia aman. Kita berhasil membawanya pulang.”

Daren berdiri di dekat jendela, menatap malam yang gelap. “Kita nggak bisa terus kayak gini. Kita harus selesain urusan kita sama Emanuel malem ini juga. Kalau nggak, semua ini bisa terulang lagi.”

Sagara merasakan dorongan kuat untuk segera menyelesaikan masalah itu. Ia tak ingin lagi menunda-nunda. Malam ini, ia memutuskan untuk mengakhiri semuanya.

Sagara mengangguk. “Kita selesaikan malam ini!” kata Sagara tegas. Tanpa membuang waktu, dia bergegas turun dan menelepon anak buahnya. Dia tidak bisa pergi ke rumah Emanuel berdua saja dengan Daren. Dia juga memerintahkan tim untuk memperketat penjagaan rumah selama mereka pergi.

Daren mengikuti langkah Sagara. “Terus gimana sama Tante Rosalinda dan Amora? Mereka nggak ada hubungannya dengan ini.” tanya Daren setelah mereka keluar dari rumah.

“Pertama-tama, kita perlu tahu seberapa jauh keterlibatan mereka. Itu penting.” jawab Sagara, dan Daren mengangguk, mengikuti ketegasan kakaknya. Mereka pun berangkat. Menembus malam dengan satu misi. Menyelesaikan kekacauan yang dimulai oleh Emanuel.

Dalam perjalanan ke kediaman Emanuel, Daren merasakan suasana di dalam mobil terasa tegang. Masing-masing dari mereka tampak merenungkan langkah yang akan mereka ambil selanjutnya. Dia mencuri pandang ke arah Sagara, melihat betapa seriusnya wajahnya. Dia tahu Sagara sudah siap untuk menghadapi apapun yang terjadi malam ini.

Tak butuh waktu lama untuk mereka tiba di rumah Emanuel. Saat itu sudah lewat tengah malam. Para penjaga yang berjaga terbangun oleh suara deru mesin mobil mereka. Langkah kaki mereka tegas dan tergesa-gesa. Para penjaga segera menghubungi Emanuel. Dalam hitungan menit, rumah tersebut dipenuhi oleh para anak buah Sagara, senjata terarah ke segala penjuru, dan wajah-wajah ketakutan terlihat jelas pada Rosalinda dan Amora yang terbangun karena suara ribut-ribut dari para penjaga dan anak buah Sagara.

Emanuel muncul dari ruangannya, matanya menatap tajam ke arah Sagara dan Daren. “Apa maksud kedatangan kalian di tengah malam begini?” tanyanya, berusaha untuk tetap tenang meskipun dalam hati ia merasakan ketegangan.

Sagara memandangnya dengan dingin. Kedua tangannya berada dalam saku celananya. Dia berdiri tepat di depan Emanuel yang masih kebingungan. “Ada dua skenario yang bisa terjadi malam ini. Pertama, kami mendapatkan apa yang kami inginkan dan pergi dengan tenang tanpa ada satu peluru pun yang terbuang. Atau skenario kedua, hal yang sama sekali berlawanan dengan skenario pertama.” Sagara hampir tak berkedip sama sekali menatap Emanuel. “Aku pribadi berharap skenario pertama yang terjadi. Kita tidak ingin ada yang terluka malam ini, bukan?” ucap Sagara dengan lantang dan tegas.

Mendengar kata-kata Sagara, Emanuel menyipitkan matanya, berusaha memahami arah pembicaraan Sagara. Dia sama sekali belum tahu apa yang telah terjadi hingga membuat Sagara mendatanginya dini hari begini. Dia melirik anak buah Sagara yang kini berhadapan dengan para penjaganya. Dia tahu dia akan kalah jika melawan. Maka dia melakukan hal yang paling mahir dia lakukan. Bernegosiasi. “Kenapa kamu tidak duduk dulu dan minta supaya anak buahmu menurunkan senjata mereka. Kita bisa bicarakan baik-baik apa yang kamu mau.” ucap Emanuel sembari tersenyum dan menunjuk ke arah sofa. Dia kemudian berbalik ke arah Rosalinda dan Amora. “Sayang tolong ambilkan whis-”

Princess In DistressWhere stories live. Discover now