24. MURID BARU

77 11 1
                                    

-HAPPY READING-

Suara denting sendok dan garpu terdengar dari ruang makan keluarga Alexander pagi itu. Aidan duduk di ujung meja, menatap Yara yang sedang menyantap sarapannya dengan tenang. Di sebelahnya, Sagara menyeruput kopi sambil sesekali mengecek ponselnya. Hening pagi yang seharusnya damai mulai terusik saat Sagara meletakkan cangkir kopinya dan mengalihkan perhatian kepada Yara.

“Yara, hari ini Kakak akan mengantarmu ke sekolah.” kata Sagara tegas tanpa memberi ruang untuk perdebatan.

Aidan langsung menegakkan tubuhnya, seakan tersengat. “Apa? Kenapa Kakak yang anter Yara? Kan dia sekolah sama aku. Dia berangkat sama aku lah.” Suaranya gusar, menandakan dia memprotes keputusan Sagara yang dirasa seenaknya sendiri.

Sagara, seperti biasa, tidak menunjukkan emosi. Wajahnya tetap dingin, mata tajamnya hanya menatap Aidan sejenak sebelum kembali beralih ke Yara. “Aku ada urusan di sekitar sana, jadi sekalian mengantar Yara. Lagi pula, itu bukan masalah besar.”

Aidan mendengus keras, menaruh sendoknya dengan kasar hingga berbunyi nyaring di atas piring. “Bukan masalah besar buat Kakak. Aku sama Yara biasa berangkat sekolah bareng setiap hari. Itu waktu kami buat ngobrol. Kakak kenapa harus ganggu rutinitas kami?”

Sagara menatap Aidan. Daren dan Yara menghentikan aktivitas makan mereka. Mereka berdua tahu bahwa Aidan telah melewati batas. Sagara tak suka dipertanyakan keputusannya. Terlebih dengan cara yang sama sekali bar-bar seperti itu. “Kau mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya sederhana, Aidan. Sikapmu sangat tidak bisa ditoleransi. Aku tidak akan menggantikan posisimu sebagai kembaran Yara. Apa sulitnya membiarkan aku mengantar Yara?"

Aidan tak bisa menahan rasa kesalnya. “Bukan masalah kembar atau enggak, Kak. Kakak selalu ngerasa harus mengatur semuanya. Apa Kakak pikir aku nggak bisa jaga Yara? Kami saudara kembar, dan aku tahu cara jagain dia!”

Daren, yang duduk di dekat mereka, tahu bahwa situasi bisa semakin memanas jika dibiarkan. Dengan nada yang tenang, dia mencoba menengahi. “Aidan, kita semua mau yang terbaik buat Yara. Kak Sagara cuma mau
mastiin semuanya baik-baik aja.”

Aidan memutar matanya dengan frustrasi, sementara Sagara tetap tidak tergoyahkan. “Aku nggak bilang aku nggak mau yang terbaik,” gerutu Aidan. “Tapi kenapa harus sekarang, Kak? Selama ini aku yang selalu berangkat sama Yara. Itu waktu kami buat cerita-cerita.”

"Ada hal penting yang harus aku bicarakan dengan Yara. Tetapi seharusnya aku tidak perlu menjelaskan alasan ini. Seharusnya hal ini tak menjadi soal. Kau bisa marah, tapi ini tetap keputusan akhir." Sagara meletakkan cangkir kopinya dengan mantap di atas meja. “Yara akan berangkat denganku.”

Aidan memandang Sagara dengan tatapan penuh kekecewaan, berharap kakaknya bisa sedikit melunak. Namun, sayangnya, Sagara bukanlah orang yang mudah dibujuk. “Kakak selalu gitu. Selalu ngerasa paling bener dan nggak pernah mau dengerin orang lain.”

Aidan menggertakkan giginya, tangannya terkepal di atas meja. Apapun yang akan keluar dari mulutnya pasti tak akan ada gunanya. Keputusan final Sagara adalah bagai sabda. Tak ada yang bisa membantah. Maka Aidan memilih untuk pergi.

Daren menghela napas panjang, tahu bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan untuk meredakan situasi lebih jauh. Aidan sudah terlalu kesal untuk mendengarkan apa pun. “Aidan!” Daren mencoba memanggil, tapi Aidan sudah melangkah cepat meninggalkan ruang makan, wajahnya dipenuhi kekecewaan.

Yara, yang sejak tadi diam menyaksikan perdebatan di antara mereka, merasa tidak nyaman menjadi bahan perdebatan seperti itu. Dia tahu kedua kakaknya sama-sama ingin melakukan yang terbaik untuknya, tapi seringkali niat baik itu malah berujung pada perselisihan.

Princess In DistressWhere stories live. Discover now