Chapter 2.3

6 0 0
                                    

Welcome to my story

jika ada kesamaan dalam nama tokoh, atau kejadian tokoh Mohon maaf karena ini full dengan pemikiran kita dan sedikit kisah yang terjadi di kehidupan kita

Happy reading



Pagi itu, langit terlihat mendung, seolah-olah alam ikut merasakan kegelisahan yang dirasakan oleh Cleo, Hazel, dan Rara. Hari ini adalah hari pertama mereka kembali ke sekolah setelah Zia pergi tanpa jejak, dan ketiganya masih membawa beban berat di hati mereka—perasaan bersalah yang terus menghantui.

Di lorong sekolah, Rara berjalan paling depan, wajahnya tampak dingin dan tertutup. Ia bukan lagi gadis ceria yang selalu membawa tawa di antara mereka. Cleo, yang selalu jadi penengah, kini lebih banyak diam, menyusuri lantai dengan tatapan kosong. Hazel, yang biasanya ramai, terlihat menunduk, matanya merah seakan-akan habis menangis sepanjang malam.

Mereka tiba di kelas. Ada bangku kosong di pinggir kursi Hazel, tempat yang biasa ditempati Zia. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani duduk di dekat bangku itu, seolah bangku itu masih milik Zia—meski kenyataannya, Zia mungkin tidak akan pernah kembali.

Saat pelajaran dimulai, pikiran mereka terus melayang. Setiap sudut sekolah mengingatkan mereka pada Zia, lapangan tempat mereka pernah tertawa bersama, perpustakaan tempat Zia sering kali tenggelam dalam buku-buku walau hanya alasan Zia untuk bisa berduaan dengan Yohan, dan kantin di mana mereka biasa makan siang sambil bercanda. Tapi kini, setiap kenangan terasa pahit, terutama karena mereka tahu bahwa mereka belum sempat meminta maaf.

Di kantin, Cleo memecah keheningan yang menyesakkan. "Kita seharusnya bicara sama Zia waktu itu," bisiknya. Tangannya gemetar saat mengambil sendok. “gue ngerasa... semuanya salah karena gue.”

Rara menggeleng pelan. "Bukan hanya karena lo, Cleo. Kita semua sama bersalahnya."

Hazel terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang. "gue juga ngerasa bersalah. gue seharusnya bisa menenangkan diri waktu itu, tapi gue—." Matanya berkaca-kaca. "Sekarang... semuanya terlambat."

Mereka bertiga terdiam. Suara riuh kantin terasa jauh, seolah mereka berada dalam gelembung perasaan bersalah yang terus menekan dada mereka.

“menurut kalian Zia baik-baik aja di luar sana?” tanya Rara lirih, matanya menatap kosong ke arah luar jendela.

Cleo tidak menjawab, ia hanya menggigit bibirnya. Hazel menatap kedua sahabatnya. "Gue harap kita masih bisa ketemu sama Zia. Minta maaf, dan perbaiki semuanya."

Namun dalam hati mereka tahu, mencari Zia sekarang mungkin seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Tidak ada kabar sejak Zia pergi, dan perasaan tidak berdaya itu hanya membuat mereka semakin tenggelam dalam rasa bersalah.

Hari demi hari berlalu, namun bayangan Zia terus menghantui langkah mereka, seperti angin yang tak pernah terlihat namun selalu terasa.

Putus asa dengan semua itu, mereka bertiga memilih untuk berdamai dengan keadaan.

Namun, hubungan mereka seperti semakin memudar seperti coretan kapur di papan tulis yang perlahan-lahan dihapus. Yang ketiga mulai sibuk dengan dunia mereka masing-masing, seolah-olah rasa bersalah terhadap Zia telah menarik mereka ke arah yang berbeda.

Di ruang kelas, Hazel duduk di pojok, matanya diterangi pada layar ponselnya. Ia kini lebih sering sendiri, tenggelam dalam kesibukan media sosial dan tugas-tugas sekolah. Dulu, ia selalu menjadi pusat banyaknya topik pembicaraan mereka, yang penuh tawa dan cerita. Tapi sekarang, ia lebih suka membiarkan dunianya berjalan sendiri, tanpa terlalu mempedulikan kedua sahabatnya.

Behind The Door || On Going.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang