Di pagi yang tenang itu, Soobin terbangun dengan rasa kantuk yang masih membayangi. Sinar matahari yang lembut menerobos jendela, tetapi hatinya terasa berat. Dia meraih ponselnya, berharap untuk melihat pesan-pesan hangat dari Arin yang baru saja merayakan harijadinya tadi malam bersamanya. Namun, begitu membuka aplikasi media sosial, jantungnya berdegup kencang.
Notifikasi yang masuk sangat banyak, jauh lebih banyak daripada biasanya. Feed-nya dipenuhi dengan berita dan komentar, setiap satu lebih mengejutkan dari yang lain. "Apa yang terjadi?" pikirnya, merasakan gelombang kecemasan merayap di dalam dirinya.
Setiap berita yang dia baca semakin membuatnya tertegun. Arin, selebgram yang dicintainya, ditemukan tewas dalam keadaan tragis. Keterkejutannya berganti dengan kepedihan yang mendalam. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tidak bisa ia percayai berita yang baru saja ia baca.
Dia bangkit dari kasur, berusaha meraih kekuatan untuk berdiri, tetapi kakinya terasa lemas. Tubuhnya limbung, seolah semua energi dalam dirinya menyusut seketika.
Dunia di sekelilingnya terasa berputar, dan kepedihan yang menggerogoti hatinya membuatnya hampir tak bisa berdiri. Setiap ingatan tentang Arin, tawa manisnya, dan momen-momen indah yang mereka habiskan bersama, kini hanya menyisakan luka yang dalam.
Telepon berdering tanpa henti, satu demi satu notifikasi masuk dengan cepat dari teman-teman Soobin. Suara dering itu semakin menyakitkan telinganya, seperti tamparan yang terus menerus. Masing-masing panggilan terasa seperti pengingat yang kejam akan kenyataan yang baru saja ia terima.
Dengan penuh emosi, Soobin mengangkat ponselnya, tetapi setiap kali melihat nama yang tertera di layar, dia hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Rasa sakitnya terlalu dalam, dan setiap kata yang mungkin keluar dari mulutnya hanya akan menjadi pengakuan atas kehilangan yang tak tertahankan.
Akhirnya, dalam keadaan putus asa, Soobin melempar ponselnya ke sudut kamar, suara dentuman kecil ketika perangkat itu jatuh di atas karpet. Dia tidak ingin mendengar suara-suara itu lagi, tidak ingin mendengar ucapan simpati atau pertanyaan yang tidak bisa ia jawab.
Air mata mengalir deras, seolah tak ada lagi batasan yang bisa menahan kesedihannya.
Suasana di dalam apartemen Soobin semakin sunyi setelah dia melempar ponselnya. Air mata yang mengalir membuatnya sulit melihat apa pun, dan dia hanya terdiam, terbungkus dalam kesedihan yang mendalam. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Tiba-tiba, suara ketukan keras bergema di pintu apartemennya. Suara itu seperti dentuman petir yang mengguncang keheningan, membuat jantungnya berdegup kencang. Soobin tetap diam, menahan tangisnya. Namun, ketukan itu semakin keras dan mendesak, seolah ingin merobek pintu itu menjadi dua.
"Polisi! Bukalah pintu!" suara tegas dari luar menembus kesedihan yang menyelimuti dirinya.
Sesuatu dalam diri Soobin terasa aneh. Kakinya terasa berat, dan pikirannya berkecamuk. Dia hanya bisa menatap pintu, tak berdaya. Dalam keadaan bingung, dia bertanya-tanya mengapa polisi datang. Hatinya bergetar, seolah merasakan ada yang tidak beres.
Ketukan itu semakin intens, dan Soobin merasa terjebak dalam ketidakpastian. Siapa yang mereka cari? pikirnya dalam kebingungan. Namun, saat pintu akhirnya dibuka, dua polisi berdiri di sana dengan ekspresi serius.
"Choi Soobin, kami harus berbicara dengan Anda," salah satu dari mereka mengucapkan dengan tegas. Dalam sekejap, mereka melangkah masuk, dan salah satu dari mereka mengulurkan tangan, menahan Soobin dengan cepat.
Seketika, semua kebingungan dan kesedihan yang mengendap di hatinya terlebur dalam ketakutan yang baru. "Apa yang terjadi?" Soobin berusaha bertanya, tetapi suaranya hanya terdengar lemah dan penuh keraguan.
KAMU SEDANG MEMBACA
the blood between us, txt
Fanfiction"Semua yang kau sayangi, kau damba, akan aku buat tiada. Aku tidak akan berhenti sampai kau merasakan apa itu neraka dunia yang sesungguhnya." Dalam upaya mencari keadilan, rahasia kelam pun mulai tersibak-dan semua orang harus menghadapi bayang-bay...