CHAPTER 19: Deep Down

17 6 0
                                    

Soobin menghela napas pelan, merapikan dokumen-dokumen di mejanya sebelum beranjak keluar. Hari ini sudah cukup melelahkan, dan dia tahu ketiga temannya sedang menunggunya di luar ruang sidang. Mereka selalu datang dengan alasan "kebetulan lewat" atau "sekadar mampir," tapi Soobin tahu sebenarnya mereka khawatir padanya.

Saat keluar dari ruangannya, dia melihat Taehyun, Beomgyu, dan Yeonjun sedang mengobrol sambil sesekali tertawa kecil. Suasana ringan itu membuatnya merasa sedikit lebih tenang.

Begitu melihat Soobin mendekat, Beomgyu langsung menyeringai lebar, melambai dengan gaya berlebihan. "Lama sekali! Kita sampai hampir tertidur menunggu Kak Soobin."

Soobin tersenyum tipis, menggelengkan kepala. "Santai saja, kalian bisa pulang kalau memang sudah bosan."

Yeonjun tertawa, menepuk bahu Soobin. "Kita hanya ingin mengajakmu makan siang bersama, Pak Hakim. Bukankah kurang seru kalau langsung pulang begitu saja?"

Taehyun mengangguk setuju. "Sudah lama sekali kita tidak menghabiskan waktu bersama, jadi ayo, sebelum kau menghilang lagi."

Mendengar candaan mereka, Soobin merasa sedikit beban yang selama ini menghimpit dadanya terangkat.

∘₊✧──────✧₊∘

Setelah makan siang berakhir dengan obrolan ringan yang sedikit menghangatkan suasana, Yeonjun dan Beomgyu harus segera kembali untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Keduanya berpamitan dengan senyum kecil, menepuk bahu Soobin dan Taehyun sebelum beranjak pergi.

"Jaga dirimu, Soobin," ucap Yeonjun sambil melirik Taehyun. "Taehyun, pastikan kau mengawasinya," candanya, mencoba meringankan suasana yang sempat terasa tegang.

Taehyun hanya tersenyum tipis, mengangguk. "Tentu saja, jangan khawatir."

Setelah mereka berdua pergi, Taehyun dan Soobin melangkah keluar dari restoran bersama. Jalanan di luar cukup lengang, dan angin siang yang sejuk menemani langkah mereka.

"Kau ingin langsung pulang, Kak?" tanya Taehyun sambil menatapnya dengan tatapan penuh perhatian.

Soobin mengangguk, tampak lelah namun lebih tenang. "Ya, sepertinya pulang adalah pilihan terbaik. Terima kasih telah menemani."

Taehyun mengangguk kecil, tetap mendampingi Soobin. Keduanya berjalan dalam keheningan yang tak canggung, menyusuri jalan pulang dengan perasaan yang jauh lebih ringan setelah sekian lama dihimpit oleh ketegangan dan kesedihan.

"Bagaimana rencanamu setelah ini, Kak?" tanya Taehyun, suaranya pelan tapi sarat akan kekhawatiran. Mereka berjalan menuju parkiran, langkahnya pelan, seolah tak ada yang benar-benar terburu-buru.

Soobin hanya menggeleng lemah. "Aku sudah tidak mampu memprediksi lagi, Taehyun,” jawabnya dengan nada lelah, matanya menerawang jauh.

Taehyun memperhatikan wajah Soobin, menangkap guratan kelelahan dan kepasrahan di sana. Soobin berhenti sejenak, menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Jika setelah ini yang mati pun aku … tidak apa."

Taehyun terdiam, terkejut mendengar kata-kata itu, tapi sebelum ia bisa membalas, Soobin melanjutkan dengan lirih, “Asal kalian tetap aman.”

Taehyun mengepalkan tangannya, berusaha menahan rasa perih yang muncul mendengar pernyataan Soobin.

∘₊✧──────✧₊∘

Mereka akhirnya tiba di apartemen Soobin, tempat yang telah mereka tempati bersama selama sebulan terakhir. Ya, apartemen ini adalah milik Soobin, namun menjadi tempat perlindungan sementara mereka setelah tragedi yang merenggut nyawa Kai. Sejak saat itu, tak ada yang berani kembali ke apartemen lama mereka; bayangan kejadian mengerikan itu masih terlalu segar, terlalu menyakitkan untuk dilupakan.

Setiap kali mereka mencoba membahas kemungkinan kembali ke sana, suasana akan berubah canggung dan berat, seolah luka itu terbuka kembali. Tak seorang pun dari mereka siap untuk kembali ke tempat itu. Jadi, apartemen Soobin menjadi tempat mereka berkumpul, mencoba menjalani hari-hari yang terasa berbeda dan penuh kewaspadaan.

Soobin membuka pintu dan masuk ke dalam, diikuti oleh Taehyun yang menghela napas, mencoba mengusir perasaan muram yang menemaninya sejak mereka berangkat dari makan siang tadi.

Mereka duduk berdua di ruang tamu dalam keheningan. Soobin, merasa penat setelah hari yang panjang, perlahan melonggarkan dasi merahnya dan menyandarkan tubuhnya pada sofa. Gerakan itu tampak lelah, seolah seluruh energi dalam dirinya telah terkuras habis. Ia mengibaskan rambutnya yang semula rapi, membiarkan surainya jatuh dengan alami, memberikan kesan yang lebih santai namun tak mengurangi ketampanannya.

Taehyun hanya memperhatikannya sejenak, melihat bagaimana Soobin yang biasanya terlihat tegar dan penuh wibawa, kini terlihat lelah dan rapuh. Keduanya tidak langsung berbicara, masing-masing tenggelam dalam pikiran, mencoba memahami arti dari semua kejadian yang telah mereka lalui.

Setelah beberapa saat, Soobin akhirnya membuka suara, suaranya tenang namun terdengar berat. "Taehyun … terkadang aku berpikir, kapan semua ini akan berakhir?"

Taehyun menatapnya, lalu mengangguk pelan, memahami rasa putus asa yang kini menguasai Soobin. Mereka duduk bersama di tengah keheningan itu, seolah-olah kata-kata pun tak cukup untuk mengungkapkan beban yang mereka rasakan.

Yang diajak bicara menarik napas dalam, mencoba mencari jawaban yang mungkin bisa sedikit meredakan kegelisahan Soobin, meskipun ia sendiri tak yakin dengan apa yang akan ia katakan.

"Aku pun tak tahu, Kak," jawab Taehyun pelan. "Tapi … aku rasa yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah bertahan dan tetap waspada. Kau masih punya aku, Beomgyu, dan Yeonjun. Kita akan menghadapi ini bersama." Soobin hanya mengangguk, pandangannya menerawang. Kata-kata Taehyun seharusnya membawa sedikit ketenangan, namun bayangan kehilangan yang ia alami selama ini terasa begitu besar, menghantui setiap langkahnya. Keheningan kembali menyelimuti mereka, namun kali ini terasa lebih tenang, seolah-olah keduanya saling berbagi kekuatan hanya dengan berada di sana, duduk bersama.

Beberapa saat kemudian, Soobin berkata, "Aku juga terkadang bertanya-tanya … apakah semua yang terjadi adalah balasan untuk sesuatu yang mungkin pernah aku lakukan." Dia menghela napas, menggenggam tangannya sendiri, tampak ragu namun juga ingin berbagi beban yang selama ini ia pendam.

Taehyun menatapnya, terdiam. Ada banyak yang ingin ia katakan, tapi akhirnya ia memilih untuk menaruh tangan di bahu Soobin, menepuknya perlahan. "Apa pun yang terjadi, Kak … kita akan menghadapi semuanya. Sama-sama."

Soobin menatap Taehyun dengan tatapan yang dalam, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang berat. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membuka suara, suaranya rendah namun terdengar mantap.

"Taehyun, aku ingin jujur padamu," katanya, tangan yang tadi menggenggam lututnya kini sedikit bergetar. Taehyun menatap Soobin, menangkap keraguan yang jarang ia lihat di mata sahabatnya ini. "Kak … apa yang ingin kau sampaikan?" tanyanya, suaranya pelan namun penuh perhatian.

Soobin menunduk sesaat, berusaha menyusun kata-kata. "Ada hal … yang mungkin kau tak pernah tahu tentangku. Sesuatu dari masa lalu yang selalu menghantui, dan … mungkin, ini semua yang sedang terjadi … mungkin ini adalah bayang-bayang dari itu."

Yang lebih muda terdiam, tak ingin menyela. Ia tahu Soobin butuh waktu untuk mengeluarkan apa pun yang ada dalam benaknya.

"Aku … pernah melakukan sesuatu yang sangat aku sesali," lanjut Soobin dengan suara serak, matanya terpejam sejenak seakan ingin menghindari tatapan Taehyun. "Mungkin … semua yang terjadi sekarang adalah akibat dari sesuatu yang aku coba lupakan. Dan aku takut … takut bahwa kalian semua akan menjadi korban dari apa yang telah aku lakukan."

Taehyun menarik napas dalam, lalu meremas bahu Soobin dengan lembut. "Apa pun itu, Kak, aku di sini mendengarkan. Dan kau tidak sendiri. Kalau ini semua ada kaitannya dengan masa lalumu, kita akan mencari tahu, sama-sama."

Soobin menatap Taehyun, mata mereka bertemu dalam kesepahaman yang tak perlu diucapkan. Dukungan Taehyun memberinya sedikit keberanian, seolah-olah untuk pertama kalinya, ia merasa tak perlu menanggung semua ini seorang diri.

the blood between us, txtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang