Pagi itu, di rumah keluarga Arin, suasana dipenuhi keheningan yang terasa berat dan penuh duka. Lampu-lampu menyala redup, seakan enggan menyinari ruang tamu yang kini penuh dengan anggota keluarga dan kerabat yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Wajah-wajah murung dan air mata yang tertahan menghiasi setiap sudut ruangan, menambah kesan suram di dalam rumah yang biasanya dipenuhi canda dan tawa.
Ibunya duduk di pojok ruangan, pandangannya kosong menatap lantai, seolah mencari jawaban dari kehilangan yang menyesakkan dada. Beberapa kerabat mendekatinya, mencoba menawarkan penghiburan, tapi ia hanya mengangguk kecil tanpa benar-benar mendengarkan. Sejak kabar buruk itu datang, ia hampir tidak berbicara, seakan kata-kata pun tak mampu menggambarkan perasaannya.
Ayah Arin berdiri di dekat jendela, punggungnya membungkuk dengan lelah. Sesekali, ia menarik napas panjang, mencoba menahan tangis yang berkali-kali hampir pecah. Di tangannya, tergenggam erat sebuah foto Arin yang tersenyum cerah, memandang ke depan dengan mata yang penuh harapan dan kehidupan—kenangan yang sekarang hanya bisa ia simpan dalam hati.
Saudara-saudaranya duduk berdekatan, saling bergenggam tangan, mencari kekuatan satu sama lain untuk bertahan dalam situasi yang menyakitkan ini. Setiap orang di ruangan itu mencoba menghadapi rasa kehilangan dengan cara masing-masing, tapi satu hal yang sama: tak ada yang siap untuk mengucapkan selamat tinggal.
Kehilangan ini menghantam keluarga Arin dengan berat, menciptakan kehampaan yang tak bisa diisi, sebuah lubang di hati mereka yang tak akan pernah kembali utuh. Meskipun banyak kerabat dan teman yang datang untuk memberikan dukungan, perasaan kosong itu tetap tak tertahankan.
Ketika Beomgyu dan Kai melangkah masuk ke rumah keluarga Arin, mereka segera merasakan atmosfer duka yang pekat menyelimuti ruangan. Mereka datang untuk memberikan penghormatan dan dukungan, meski Soobin, teman mereka, diduga terlibat dalam tragedi ini. Namun, kehadiran mereka bukannya diterima dengan hangat, melainkan disambut dengan tatapan tajam dan dingin dari ibu Arin yang sedang duduk di sudut ruangan.
Sang ibu menoleh ke arah mereka, ekspresi wajahnya berubah seketika. Kekecewaan dan kemarahan terlihat jelas di matanya, seolah-olah kehadiran mereka mengingatkannya pada rasa sakit yang lebih dalam. Mereka adalah teman-teman Soobin, orang yang diduga sebagai penyebab kematian putranya.
Dengan suara rendah namun penuh kemarahan yang tertahan, ibu Arin bertanya, "Kenapa kalian ada di sini? Apakah kalian datang untuk melihat hasil dari perbuatan teman kalian?"
Beomgyu menelan ludah, kaget dan tak menyangka akan disambut dengan kebencian yang begitu intens. "Kami hanya ingin menyampaikan belasungkawa, Bu. Kami sangat menyesal atas apa yang terjadi pada Arin," ucapnya dengan nada hati-hati.
Kai berdiri di sampingnya, ikut menunduk dengan rasa bersalah yang dalam, meskipun mereka tidak terlibat. "Kami tahu ini sulit, Bu. Kami hanya ingin menunjukkan rasa hormat kami. Soobin … dia bukan orang seperti yang ibu pikirkan," tambahnya pelan, tapi ia segera menyadari bahwa kata-katanya malah memperburuk keadaan.
Ibu Arin menggeleng keras, airmatanya mengalir lagi, tetapi tatapannya tetap tajam. "Kalian masih membelanya? Putraku sudah tiada, dan kalian datang untuk berbicara baik tentang dia?" Nada suaranya bergetar penuh emosi.
Tak ingin memperkeruh suasana, Beomgyu hanya bisa mengangguk kecil, tanpa berusaha memberi penjelasan lebih lanjut. Bersama Kai, ia menundukkan kepala, menerima kemarahan ibu Arin tanpa berusaha membela diri lagi. Mereka tahu, apa pun yang mereka katakan tak akan menghapus duka keluarga Arin atau menghilangkan kecurigaan yang kini melekat pada Soobin.
Setelah beberapa saat dalam keheningan, mereka berdua akhirnya mundur, memilih untuk meninggalkan ruangan agar tak menambah beban keluarga itu.
Beomgyu dan Kai berjalan keluar rumah dengan langkah berat, suasana hati mereka tenggelam dalam rasa bersalah dan frustrasi. Kata-kata penuh kemarahan dari ibu Arin masih terngiang di kepala mereka, membuat mereka merasa semakin tak berdaya dalam situasi ini. Mereka hanya ingin memberikan penghormatan, namun kehadiran mereka malah memperburuk luka keluarga yang sudah terluka parah.
Setibanya di parkiran, Beomgyu membuka pintu mobil dan bersandar di sana, menunduk dengan tangan di saku, menatap aspal tanpa berkata apa-apa. Kai berdiri di sebelahnya, menatap langit yang gelap, seolah-olah berharap ada jawaban atau penghiburan di sana.
"Menurutmu … apa yang harus kita lakukan sekarang, Kai-ah?" Beomgyu bertanya akhirnya, suaranya pelan dan penuh kebingungan. "Aku benar-benar tidak tahu lagi cara membantu Akk Soobin tanpa menambah masalah buat orang lain."
Kai menghela napas panjang, masih menatap kosong ke depan. "Aku juga tidak tahu, Kak. Rasanya semua orang memandang Soobin sebagai pelakunya, bahkan sebelum ada bukti yang jelas." Kai mengepalkan tangannya, merasa marah tapi tak bisa melampiaskannya. "Tapi … aku jelas tidak percaya aku Soobin bisa melakukan itu."
Beomgyu mengangguk kecil, meski rasa frustasi jelas terlihat di wajahnya. "Aku juga. Tapi kita tidak punya bukti, tidak ada cara buat membuktikan kalau dia nggak bersalah."
Keduanya terdiam sejenak, terjebak dalam perasaan mereka sendiri. Siang semakin terik, dan udara terasa panas.
∘₊✧──────✧₊∘
Sesampainya di apartemen, Beomgyu dan Kai mendapati Taehyun sudah duduk di ruang tengah dengan ekspresi serius, pandangannya terpaku pada layar laptop. Tanpa basa-basi, Taehyun memanggil mereka.
"Kalian, kemarilah," perintahnya tegas.
Beomgyu dan Kai saling berpandangan sejenak, lalu mendekat dengan rasa penasaran. Beomgyu duduk di samping Taehyun, sementara Kai berdiri di belakang mereka, mengamati layar laptop yang menampilkan dokumen dan beberapa foto yang tampak familiar—foto orang-orang yang terkait dengan kasus Soobin.
"Apa maksudnya ini, Taehyun?" tanya Kai, tatapannya tajam memperhatikan layar.
Taehyun menarik napas panjang, lalu menjelaskan dengan nada pelan namun mantap. "Aku sudah mencari berbagai informasi selama beberapa hari terakhir. Jika kita ingin membantu Soobin, kita harus mengetahui dengan jelas siapa saja yang benar-benar terlibat dalam kasus ini. Aku merasa bahwa ini bukan sekadar tuduhan biasa; ada sesuatu yang lebih besar yang terjadi di balik layar."
Beomgyu mengerutkan kening, menatap Taehyun dengan penuh perhatian. "Maksudmu … ada pihak yang sengaja menjebak Kak Soobin?"
Taehyun mengangguk pelan. "Itu yang kurasakan. Ada beberapa bukti yang tidak konsisten. Karena itu, kita perlu menyelidiki ini lebih lanjut. Jika memang ada pihak yang mencoba menjebak Kak Soobin, kita harus tahu siapa mereka."
Kai menyimak dengan serius, kemudian bertanya, "Lalu, apa rencana selanjutnya?"
Taehyun menatap mereka berdua dengan sorot mata yang penuh tekad. "Kita akan menelusuri setiap detail yang mungkin terkait—mulai dari saksi, rekaman, atau siapa pun yang terlibat. Mungkin akan ada risiko, tapi jika kita sungguh-sungguh ingin menolong Kak Soobin, kita tak bisa hanya berdiam diri."
KAMU SEDANG MEMBACA
the blood between us, txt
Fanfiction"Semua yang kau sayangi, kau damba, akan aku buat tiada. Aku tidak akan berhenti sampai kau merasakan apa itu neraka dunia yang sesungguhnya." Dalam upaya mencari keadilan, rahasia kelam pun mulai tersibak-dan semua orang harus menghadapi bayang-bay...