1/1. Flasback 2014: Choi Soobin

10 1 5
                                    

Februari

Soobin masuk ke rumah dengan tubuh gemetar, napasnya terengah, dan wajahnya dipenuhi rasa takut. Baru saja ia mengalami malam yang akan menghantui hidupnya selamanya. Begitu sampai di kamarnya, ia langsung mengunci pintu dan terduduk di lantai, tubuhnya masih gemetar tak terkendali. Pikirannya kacau, dan kata-kata makian pada dirinya sendiri terus berputar di kepalanya.

“Bodoh! Bodoh! Kenapa aku begitu ceroboh?”

Soobin memukul kepalanya pelan, mencoba mengingat setiap detail peristiwa mengerikan yang baru saja terjadi. Ia ingat bagaimana mobilnya, yang melaju cukup kencang, tiba-tiba menabrak sesuatu—dua orang yang sedang berada di dalam mobil tua itu. Kecelakaan itu terjadi begitu cepat, dan dalam keadaan setengah mengantuk, Soobin kehilangan kendali dan tidak bisa menghindar.

Sekarang, semua rasa bersalah itu terasa seperti beban yang mencekiknya. Ia tahu, dua orang mungkin telah kehilangan nyawa karena kelalaiannya, dan yang lebih parah … ia melarikan diri.

Ia mendekap kedua tangannya, mencoba berpikir jernih. Masa depannya, cita-citanya untuk menjadi hakim, semuanya bisa berakhir karena peristiwa ini. Jika ia tertangkap, ia akan masuk penjara. Seluruh hidup dan impiannya akan hancur.

Pikiran itu membuatnya semakin panik, matanya mulai basah oleh air mata ketakutan. "Apa yang harus kulakukan?" desisnya pada dirinya sendiri, mencari jalan keluar dari kenyataan yang mulai terasa seperti jebakan tak berujung.

Soobin duduk di lantai kamar, tenggelam dalam ketakutan dan kebimbangan. Ia ingin mengakui semuanya—mengatakan yang sebenarnya kepada ayahnya. Lagipula, ayahnya adalah seorang politikus yang begitu dihormati, orang hebat dengan pengaruh yang kuat. Jika ada orang yang bisa membantunya keluar dari masalah ini, pastilah ayahnya.

Namun, keraguan seketika muncul, membuatnya kembali ragu. Bagaimana jika ada saksi yang melihat kejadian itu dan tidak bisa diajak bekerja sama? Bagaimana jika ada orang yang tahu dan memutuskan untuk melaporkan semuanya sebelum ayahnya bisa mengatur sesuatu?

Ia tahu betul bagaimana kasus tabrak lari bisa berakhir dengan hukuman berat, apalagi jika melibatkan kematian. Jika kasus ini terungkap, impiannya untuk menjadi hakim tak akan pernah terwujud. Seluruh hidupnya akan berubah dalam semalam, dan semua upaya yang telah ia lakukan akan sia-sia.

Keringat dingin mengalir di pelipisnya saat ia terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Membayangkan dirinya di dalam penjara, kehilangan semua yang ia perjuangkan, dan menjadi bahan pembicaraan orang banyak sebagai anak dari seorang politisi yang terlibat kasus tabrak lari, membuatnya merasa mual.

Soobin akhirnya duduk terdiam, kebingungan. Jika ia mengatakan yang sejujur-jujurnya pada ayahnya, masalah ini mungkin akan selesai … atau justru menjadi bencana yang lebih besar.

∘₊✧──────✧₊∘

Keesokan paginya, Soobin duduk di meja makan dengan pandangan kosong. Ia mengaduk-aduk makanannya tanpa semangat, nyaris tidak menyentuh apa pun di piringnya. Rasa gelisah yang ia rasakan semalam masih menghantuinya, membuat perutnya terasa mual setiap kali ia mencoba menelan sesuatu.

Ayahnya memperhatikan tingkah Soobin yang tak biasanya begitu murung. Tanpa menunggu lebih lama, ia bertanya dengan nada tegas namun penuh perhatian, “Soobin, ada apa denganmu? Kau terlihat tak bersemangat pagi ini.”

Sementara itu, ibunya hanya melirik sekilas, tampak acuh, lebih fokus pada majalah kecantikan yang sedang ia baca. Soobin merasakan tenggorokannya menegang, rasa takut dan bersalah berkecamuk di dadanya. Matanya mulai berkaca-kaca, dan akhirnya, ia mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

the blood between us, txtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang