2014
Malam itu, jalanan lengang dengan hanya sedikit cahaya dari lampu-lampu jalan yang berderet di sepanjang sisi. Soobin mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, mencoba mengusir penat setelah hari yang melelahkan. Namun, dalam sekejap, sebuah kejadian yang tak terduga mengubah hidupnya selamanya.
Tanpa sengaja, ia kehilangan kendali atas mobilnya di sebuah tikungan tajam. Sebelum ia sempat bereaksi, mobilnya sudah berbelok terlalu cepat, meluncur dengan arah yang tak terkendali hingga menabrak mobil lain yang datang dari arah berlawanan. Dentuman keras memecah keheningan malam, dua mobil itu saling menghantam hingga terdorong ke pinggir jalan.
Ketika Soobin sadar, pandangannya buram. Ia membuka pintu mobilnya yang penyok dan keluar, dengan tubuh gemetar menatap kendaraan lain yang tampak rusak parah di depannya. Di dalamnya, ada satu laki-laki tua dan satu laki-laki muda berusia sekitar 10 tahun yang tampak tak bergerak, wajah mereka pucat dan tubuh mereka terkulai. Napas Soobin tercekat, perasaan panik melandanya saat menyadari apa yang baru saja ia lakukan.
Sambil terengah-engah, ia mendekat dan mencoba memeriksa kondisi mereka. Namun, keduanya tampak tidak sadarkan diri, dan tubuh mereka tampak tak bernyawa. Dalam keputusasaan, Soobin melihat sekeliling, mencoba memastikan tidak ada yang menyaksikan insiden mengerikan ini. Di bawah tekanan yang begitu kuat, ia membuat keputusan yang akan menghantuinya sepanjang hidup-ia melarikan diri dari tempat kejadian, meninggalkan kedua korban di dalam mobil itu.
Soobin duduk termenung di kamar, pikiran dan hatinya terguncang setelah menerima pesan dari nomor tak dikenal itu. Kata-kata yang tertulis di layar ponselnya terasa seperti palu yang menghantam luka lama, membuka kembali kenangan yang sudah ia coba lupakan. Dan kini, ia mulai bertanya-tanya, sebuah pikiran yang terus menghantuinya: Apakah mungkin ini adalah perbuatan keluarga dari orang-orang yang ia tabrak malam itu?
Soobin menelan ludah, merasakan perasaan takut dan bersalah yang semakin dalam. Ia ingat bagaimana ia meninggalkan mereka begitu saja, tanpa pernah berani menengok ke belakang. Di satu sisi, ia berharap kejadian itu sudah terkubur dan tak lagi ada yang mengetahuinya. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa tindakan itu bukan tanpa konsekuensi.
∘₊✧──────✧₊∘
Di ruang kerjanya yang penuh dengan tumpukan berkas, Yeonjun berusaha keras melawan kantuk yang seolah tak kenal belas kasihan. Seharian ini ia membaca puluhan berkas yang diserahkan tim forensik, mencoba memahami setiap detail kecil yang mungkin bisa menghubungkan kematian Arin dan Kai. Berkas demi berkas, foto demi foto, semuanya berputar di kepalanya, namun tak satu pun memberikan jawaban pasti yang ia cari.
Meski sudah menenggak lima gelas kopi, kantuknya semakin berat. Matanya mulai terasa perih, dan kepalanya terasa semakin berat setiap kali ia mencoba berkonsentrasi. Namun, rasa lelah itu akhirnya mengambil alih, hingga tanpa sadar Yeonjun tertidur di atas meja kerjanya, dengan berkas-berkas yang masih terbuka di hadapannya.
Tubuhnya terasa lunglai, napasnya perlahan menjadi tenang, tenggelam dalam tidur yang datang begitu alami di tengah kesibukannya. Kantor yang sunyi hanya ditemani oleh deru pendingin ruangan, meninggalkan Yeonjun dalam keheningan malam.
Tidur Yeonjun tak berlangsung lama. Hanya beberapa menit berlalu sebelum suara ketukan di pintu membangunkannya dari lelapnya. Dengan mata masih setengah terbuka dan kepala yang terasa berat, ia mencoba mengumpulkan kesadaran. Di depan pintu, seorang kurir berdiri sambil membawa sebuah kotak paket kecil.
Yeonjun mengerjap, bingung. Ia tak ingat memesan apa pun. "Maaf, tapi... saya tidak memesan paket apa pun," ucapnya, suara masih serak akibat kantuk yang belum sepenuhnya hilang.
Namun, kurir itu hanya mengangguk sopan dan mengulurkan kotak tersebut. "Maaf, Pak, tapi paket ini terdaftar atas nama Anda. Mohon tanda tangannya," katanya sambil menyerahkan pena dan formulir penerimaan.
Dengan perasaan ragu, Yeonjun menandatangani penerimaan paket, lalu membawa kotak itu ke meja kerjanya. Kotak itu tidak terlalu besar, berbalut kertas cokelat biasa, tanpa tanda atau tulisan yang mencolok. Perasaan tak nyaman mulai menjalar di benaknya, namun rasa penasaran mengalahkan keraguannya.
Yeonjun menatap flashdisk berwarna hitam di dalam kotak dengan perasaan campur aduk-penasaran bercampur ketakutan yang samar. la tahu bahwa menonton isi flashdisk ini bisa membuka lebih banyak rahasia, namun bisa juga menghadirkan kengerian yang tak siap ia hadapi. Meski begitu, ia memasukkan flashdisk itu ke laptopnya, menguatkan diri untuk melihat apa yang ada di dalamnya.
Saat layar laptop menyala, folder di dalam flashdisk itu berisi sejumlah video dengan nama-nama yang sederhana, hanya berupa angka-angka tanpa keterangan. Tanpa berpikir panjang, ia membuka file pertama dan mulai memutar video.
Layar menampilkan rekaman yang kabur, namun dengan cukup jelas memperlihatkan sosok Arin. Di dalam video, Arin tampak terbaring, wajahnya terlihat lelah, ketakutan, dan tanpa daya. Suara pelaku tidak terdengar, hanya langkah-langkahnya yang mendekat ke arah kamera. Rekaman itu menampilkan detik-detik yang penuh ketegangan dan kengerian, menyingkap perlahan penderitaan yang dialami Arin hingga akhirnya nyawanya melayang.
Dengan napas yang mulai berat, Yeonjun membuka video berikutnya- video yang lebih panjang dan jauh lebih mengerikan. Rekaman itu memperlihatkan Kai, dan seketika, dada Yeonjun berdegup kencang. Dalam video tersebut, Kai terlihat terikat dan terluka parah, tubuhnya lemah dan tak berdaya. Pelaku mulai mendekatinya, tanpa belas kasihan, dengan ekspresi dingin dan tanpa emosi.
Bagian terburuk dari rekaman itu adalah saat pelaku memutuskan untuk memenggal kepala Kai. Tindakan itu berlangsung lambat, dan pelaku tampak mengalami kesulitan, berulang kali berhenti seolah-olah merasa lelah atau ragu, namun tetap melanjutkan dengan keganasan yang mengerikan. Suara yang terdengar di rekaman itu begitu memekakkan, hingga Yeonjun tak mampu menahan napasnya yang tertahan.
Yeonjun buru-buru mencabut flashdisk itu dari laptopnya, napasnya tersengal dan tubuhnya masih bergetar hebat setelah melihat kengerian yang tak pernah ia bayangkan. Isi video tersebut seolah masih terus berputar di kepalanya, menggambarkan detik-detik mengerikan yang dialami oleh Arin dan Kai.
Kepalanya mendadak terasa berat, pusing yang hebat menyerangnya, membuatnya hampir tak mampu menahan diri untuk tetap duduk tegak. Rasa mual menyeruak dari perutnya, seolah tubuhnya menolak keras apa yang baru saja ia lihat. Ia memijit pelipisnya dengan lemah, mencoba menenangkan diri meski rasa syok masih mengguncang batinnya.
Yeonjun menatap flashdisk hitam itu dengan perasaan takut dan jijik yang tak tertahankan. Siapa pun yang mengirim ini, jelas ingin menghancurkannya secara mental. Video-video tersebut bukan hanya ancaman, tapi juga pesan bahwa pelaku bisa melakukan kekejian itu tanpa sedikit pun ragu atau rasa belas kasih.
Dalam keheningan ruang kerjanya, Yeonjun merasakan ketakutan yang baru. Bukan hanya soal kehilangan teman-temannya, tapi juga menyadari bahwa orang yang mereka cari bukanlah pelaku biasa. Pelaku ini adalah sosok yang memiliki kebencian mendalam, yang tampaknya tak akan berhenti sebelum semua orang yang dekat dengannya merasakan penderitaan yang sama.
Dengan tangan yang masih bergetar, Yeonjun berusaha mengatur napasnya, mencoba berpikir jernih meskipun pikirannya dipenuhi dengan bayangan mengerikan yang baru saja ia tonton.
KAMU SEDANG MEMBACA
the blood between us, txt
Fanfiction"Semua yang kau sayangi, kau damba, akan aku buat tiada. Aku tidak akan berhenti sampai kau merasakan apa itu neraka dunia yang sesungguhnya." Dalam upaya mencari keadilan, rahasia kelam pun mulai tersibak-dan semua orang harus menghadapi bayang-bay...