Pada sore harinya, Yeonjun mendapat panggilan mendesak dari atasannya. Meski ia masih terguncang dengan kejadian yang menimpa Kai, perintah dari atasannya jelas: ia harus kembali bekerja dan ikut menangani kasus yang melibatkan dirinya sendiri dan teman-temannya. Situasi ini rumit dan penuh tekanan, tetapi Yeonjun tak punya pilihan lain selain menerima tugas tersebut, meskipun hatinya merasa berat.
Sebagai bagian dari tim penyelidik, Yeonjun ditempatkan dalam tim baru yang akan fokus pada perkembangan kasus yang menimpa Kai. Ia bekerja sama dengan dua penyelidik berpengalaman lainnya: Lee Daehwi dan Ong Seong-wu, dua kolega yang dikenal cermat dan tegas dalam menangani kasus-kasus rumit. Meskipun mereka tidak sepenuhnya mengetahui detail kedekatan Yeonjun dengan korban, mereka memahami beban emosional yang dialami oleh Yeonjun.
Di sisi lain, teman lama Yeonjun, Jung Wooyoung, tetap ditugaskan pada kasus pembunuhan Arin yang hingga kini masih menyisakan banyak pertanyaan. Kasus kematian Arin kini tampak semakin terkait dengan tragedi yang menimpa Kai, menimbulkan dugaan bahwa pelaku yang sama mungkin terlibat dalam kedua kasus tersebut.
Di ruang penyelidikan, Daehwi membuka berkas kasus Kai, membaca informasi dasar yang telah dikumpulkan oleh tim forensik. Ia melirik Yeonjun sejenak, melihat ekspresi sahabatnya yang masih tampak terpukul. "Yeonjun, kami tahu ini berat untukmu," kata Daehwi dengan nada simpatik. "Tapi, kami membutuhkan perspektifmu. Kau mengenal para korban lebih baik daripada siapa pun di sini. Kalau ada yang aneh atau mencurigakan yang kau tahu, beri tahu kami."
Yeonjun mengangguk pelan, mencoba menenangkan perasaannya. "Aku akan memberikan informasi sebanyak mungkin, senior. Aku ingin menemukan pelaku secepatnya, tidak hanya untuk Kai, tapi juga untuk keselamatan teman-temanku yang lain."
Seong-wu, yang terkenal tegas dan tak banyak basa-basi, menatap berkas di tangannya lalu menambahkan, "Dari yang kami lihat, tampaknya ada pola yang mengaitkan kasus ini dengan pembunuhan Arin. Apakah menurutmu Kai mungkin terlibat atau tahu sesuatu tentang kasus Arin yang belum kita ketahui?"
Yeonjun terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Sejauh yang aku tahu, Kai sama sekali tidak ada hubungan dengan kasus Arin. Tapi ... setelah semua ini, aku mulai bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang kita lewatkan. Kedua kasus ini terasa terlalu dekat untuk dianggap kebetulan."
Sebelum meninggalkan ruang penyelidikan untuk memulai analisis awal, Yeonjun mengeluarkan secarik kertas dari sakunya, kertas yang tadi siang ditunjukkan oleh Soobin kepada dirinya dan teman-temannya.
Yeonjun menyerahkan kertas itu kepada Daehwi dan Seong-wu. "Ini ... ditemukan di apartemen Soobin tadi malam. Pesan ini ditinggalkan oleh seseorang yang masuk tanpa diketahui," jelasnya, suaranya terdengar tegang namun penuh keyakinan. "Aku yakin ini bukan sekadar ancaman biasa. Pesan ini muncul tepat sebelum pembunuhan Kai ... seolah-olah pelaku ingin memperingatkan kami."
Daehwi mengamati kertas itu dengan serius, menyipitkan mata seolah mencoba membaca makna di balik kata-kata singkat tersebut. "Jika ini ditinggalkan oleh pelaku, berarti dia mengawasi setiap gerakan kalian. Ini bukan ancaman acak-ada niat yang jelas di baliknya."
Seong-wu, yang sedari tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, menambahkan, "Pelaku berani meninggalkan pesan seperti ini, bisa jadi dia merasa yakin bahwa kita tidak akan menemukannya dengan mudah. Ada kemungkinan besar dia punya akses dekat ke kalian atau tahu pola kehidupan kalian."
Yabg lebih muda mengangguk, pikirannya mulai menelusuri kembali kejadian-kejadian yang baru saja dialaminya bersama teman-temannya. "Itulah yang aku khawatirkan. Jika pelaku mampu masuk ke apartemen Soobin tanpa jejak dan meninggalkan pesan ini, mungkin dia sudah dekat dengan kami jauh sebelum pembunuhan Kai."
Si rqmbut cokelat karamel, Lee Daehwi mengarahkan pandangannya kembali ke kertas itu. "Aku akan minta tim forensik memeriksa kertas ini. Siapa tahu ada sidik jari atau serat kain yang bisa mengarahkan kita pada pelaku."
Mata Seong-wu memperhatikan jawaban Yeonjun dengan alis yang sedikit terangkat, menyadari bahwa detail ini bisa jadi krusial. "Sebenarnya, kalian semua-kau, Taehyun, Beomgyu, dan Kai-mengetahui kode akses apartemen Soobin, 'kan?" tanyanya lagi, memastikan. Yeonjun mengangguk, meskipun merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. "Ya, kami semua mengetahui kode akses itu. Soobin mempercayai kami untuk masuk kapan saja, terutama jika ada keadaan darurat. Aku ... aku tahu ini terdengar buruk, tapi kami tidak pernah menggunakannya untuk hal lain selain kebutuhan mendesak."
Daehwi menatap kertas yang ditinggalkan di apartemen Soobin, lalu kembali pada Yeonjun dengan ekspresi serius. "Kalau begitu, kemungkinan besar pelaku adalah seseorang yang tahu tentang kedekatan kalian dan juga mengetahui kode akses itu. Jika pesan ini bisa ditinggalkan di apartemen Soobin tanpa hambatan, maka pelaku entah bagaimana berhasil mendapatkan informasi yang sangat dekat dengan kalian."
Lalu Seong-wu melanjutkan dengan nada pelan namun penuh keyakinan, "Yeonjun, ini hanya dugaan, tapi kita harus membuka semua kemungkinan. Jika ada seseorang di luar lingkaran kalian yang mengetahui kode akses apartemen Soobin, kita mungkin berurusan dengan sosok yang lebih berbahaya dari yang kita kira. Atau ... ada kemungkinan lain."
∘₊✧──────✧₊∘
"Bagaimana pembunuhanmu kali ini?" suara itu memecah keheningan malam di dalam ruangan gelap yang hanya diterangi lampu kecil. Di sekeliling mereka, dinding dipenuhi papan-papan yang penuh dengan potret, diagram, dan catatan. Setiap potret di papan itu adalah bagian dari rencana, target yang dipilih dengan hati-hati.
Pria yang ditanya itu menghela napas panjang, kemudian memijat keningnya dengan tangan, tampak lelah. "Sedikit tidak lancar," jawabnya datar, seolah-olah pembicaraan itu hanyalah obrolan biasa. Di luar, langit sudah gelap, menambah kesan menyeramkan di ruangan yang hanya diisi oleh mereka berdua.
"Kenapa?" tanya orang di sebelahnya, suaranya penuh rasa penasaran namun juga sedikit tidak sabar.
Pria itu terdiam sejenak, pandangannya tertuju pada salah satu potret di papan di hadapannya. Potret itu adalah foto teman yang selama ini mengenalnya, yang mempercayainya tanpa sedikit pun curiga. Dengan nada dingin bercampur getir, ia berkata, "Karena dia temanku."
Orang di sebelahnya tersenyum kecil, seolah tidak terpengaruh oleh kata-kata itu. "Teman?" tanyanya sambil terkekeh pelan. "Kau tak boleh membiarkan perasaanmu mengganggu rencana ini."
Pria itu menunduk, mencengkeram tangannya dengan kuat, menyadari bahwa dalam permainan ini, perasaan bukanlah sesuatu yang diperbolehkan. Ia tahu bahwa satu kesalahan kecil, satu jeda emosi, bisa merusak segalanya. Namun, kata-kata "temanku" bergema di pikirannya, menimbulkan rasa yang sulit ia definisikan.
makan tuh teori, aku akan rehat sampe tugasku selesai 👽
KAMU SEDANG MEMBACA
the blood between us, txt
Fanfiction"Semua yang kau sayangi, kau damba, akan aku buat tiada. Aku tidak akan berhenti sampai kau merasakan apa itu neraka dunia yang sesungguhnya." Dalam upaya mencari keadilan, rahasia kelam pun mulai tersibak-dan semua orang harus menghadapi bayang-bay...